Share

Virus Cinta

Marc dan Jason sudah hilang dari pandangan Zahra. Saat akan membayar makanan tersebut, ternyata sudah diselesaikan pembayarannya. Zahra mengucapkan terima kasih setelah itu keluar dari restoran tersebut. Sementara itu, Jason dan Marc berdebat di dalam mobil yang melaju.

“Kau ini bagaimana, Je. Aku masih ingin bersama Zahra.” Marc merajuk seperti anak-anak yang marah mainannya diambil.

“Marc, kau tidak berperasaan. Kontrak kita baru besok berjalan. Zahra mempunyai keluarga.” Marc bedecak. Dia tidak lagi mendebat sahabatnya itu. Dia memilih manyun dan melihat ke arah jendela. Sedangkan Jason kembali fokus menyetir. Lelaki berkebangsaan Prancis itu hanya menggeleng. Mereka sudah sampai di apartemen yang disewa Marc saat berada di Indonesia ini. Lelaki itu berjalan mendahului Jason. Dia masuk ke dalam apartemen setelah melalui lift. Jason sendiri santai berjalan ke arah hunian tersebut.

“Marc, kau lucu.” Jason menilai sahabatnya tersebut. Sedangkan Marc sendiri hanya menoleh saja mendengar pendapat Jason. Lelaki berambut cepak itu bersedekap dan menyandarkan tubuhnya di sebuah pintu kaca. Marc bangkit dari sofa tempat dia duduk dan berjalan ke arah balkon. Setelah membuka kunci pintu, membuka daun pintu dan berjalan sampai ke ujung balkon.

“Aku tidak tahu kenapa? Wanita itu terus mengganggu pikiranku. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi, Dude. Dia .... “ Marc melayangkan tangannya ke udara. Siang itu begitu terik hingga silau sang mentari menambah ganteng wajahnya yang penuh dengan keringat. Bulu-bulu halus yang seakan menghalangi laju keringatnya membuat efek mengesankan. Dia membuka satu kancing kemejanya paling atas. Dengan tangan sebelahnya menggulung kemejanya. Sedangkan jas semi casualnya sudah dia lemparkan di sofa tadi.

“Sepertinya kau sudah terkena virus.” Jason menepuk pundak sahabatnya itu. Marc menoleh ke arah Jason seraya menanyakan maksudnya.

“Virus? Maksud kamu?” Jason tertawa mendengar pertanyaan Marc.

“Virus jatuh cinta.” Marc mengepalkan tangan kanannya sedangkan tangan kiri mengurung kepalannya tersebut. Dengan gagah meletakkan tangan tersebut di depan mulutnya untuk menutupi rasa malunya. Mungkin sahabatnya itu benar. Dia telah jatuh cinta. Tapi sejak kapan dia percaya dengan cinta dan komitmen?

“Tapi hati-hati, Dude. Orang Indo beda dengan di Paris. Mereka menginginkan menikah untuk melanjutkan ke hubungan ranjang.” Marc berbalik agar berhadapan dengan sahabatnya tersebut.

“Benarkah? Sepertinya aku harus banyak belajar dari kamu, kamu memahami tentang karakter orang Indonesia sepertinya?” Marc antusias ingin mengetahui lebih jauh. Sepertinya Zahra sudah membuatnya gila.

“Tentu! Aku bolak-balik ke Indonesia selama ini. Kau aja yang nggak mau bisnis di sini. Orang-orang Indonesia itu sangat telaten dan kompeten.” Jason berjalan dan berhenti di samping Marc. Dia menyarungkan tangannya ke dalam saku celananya. Sedangkan Marc juga berbalik untuk melihat hiruk pikuk jalanan yang masih sibuk. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Matahari mulai bersemu jingga karena mulai senja. Lelaki dengan alis tegas dan iris coklat itu menatap sang mentari yang nampak akan masuk ke peraduannya. Marc masih setia memandang senja sampai menghilang. Sedangkan Jason masuk untuk membersihkan diri. Dia membiarkan sahabatnya itu termenung untuk merasakan artinya jatuh cinta. Suara gemericik air yang ditimbulkan oleh Jason karena menghidupkan shower tidak membangkitkan diri Marc untuk berlalu dari balkon tersebut. Sampai senja berganti kerlipan lampu. Jalanan juga semakin padat dengan mobil-mobil dan sorot lampunya.

***Meyyis***

Esok harinya Marc dan Jason menemui Zahra lagi. Hari ini adalah hari pertama di bulan Ramadan. Zahra berpuasa. Tentu saja Marc tidak tahu. Sedangkan Jason tahu karena beberapa kali saat Ramadan tiba lelaki berkulit putih itu pernah datang ke Indonesia. “Zahra kamu tidak pesan?” Marc menawarkan untuk pesan makanan.

“Saya minta maaf, Tuan Marc. Saya sedang puasa.” Marc mengerutkan keningnya.

“Puasa? Apa itu puasa?” Kali ini Jason yang bertanya.

“Jadi saya seorang Muslim. Setiap bulan Ramadan harus berpuasa. Puasa itu tidak makan dan minum .... “ Marc mendengarkan penuturan Zahra dengan seksama. Satu hal unik yang ditemukan dari wanita berpenutup kepala. Marc baru mendengar hal itu. Di negaranya tidak pernah ada berita seperti itu. Lebih tepatnya Marc tidak memperhatikannya. Lelaki itu semakin mengagumi wanita berparas cantik itu. Sedangkan Jason yang sudah mengetahuinya hanya diam tidak bereaksi yang berlebihan seperti halnya Marc.

“Oke aku mengerti. Bisakah kita bicara lebih santai?” Marc meminta agar Zahra tidak terlalu menggunakan bahasa yang formal.

“Oh, baiklah. Hanya saja, aku kurang begitu pintar dengan bahasa gaul di negara kalian.” Zahra berbicara jujur. Dia memang hanya mengetahui bahasa formal yang dipelajari dari saat kuliah dan beberapa saluran chanel pelatihan.

“Baiklah, aku akan menjadi pemandu bahasa untukmu. Apalagi pemandu hatimu. Aku lebih suka lagi.” Zahra mengerutkan kening. Lelaki bule itu sungguh berani. Namun memang sebuah resiko. Untung saja Marc dan Jason sopan. Biasanya mereka cenderung berbicara frontal.

“Ehem, ada maunya itu, Zahra. Jangan mau! Baiklah karena tidak jadi makan maka aku pamit ke bandara. Aku harus kembali ke Prancis malam ini juga.” Zahra mengangguk.

“Oh, jadi hanya Anda ah maksudku kamu yang harus saya temani?” Demikian Zahra mengulang kata-katanya. Masih terdengar kaku oleh Marc dan Jason. Namun tidak masalah. Setidaknya Zahra sudah mencoba.

“Baik-baik kalian, aku permisi.” Maka Justin beranjak dan meninggalkan meja itu. Marc membayar seluruh makanan bahkan sebelum tersaji. Dia mengajak Zahra keluar dari restoran tersebut.  Zahra merasa bingung tapi dia tidak berkomentar apa pun. Dia mengikuti lelaki itu saja dari belakang.

Setelah menyelesaikan pembayaran, Marc menuju ke tempat parkir. Dia memang membawa mobil mungkin untuk mempermudah mobilitas. Zahra berterima kasih ketika lelaki berperawakan tinggi itu membukakan pintu mobil untuknya. Ya, Marc memang sangat tinggi. Untuk ukuran orang Indonesia Zahra sudah termasuk tinggi. Dia memiliki ukuran tinggi badan seratus tujuh puluh lima. Sedangkan jika jalan berdampingan, Zahra hanya sepundaknya Marc kemungkinan lelaki itu bertinggi badan sekitar seratus delapan puluh limaan.

“Zahra, kamu bilang senja boleh bisa makan ‘kan? Ini sudah pukul lima. Berarti sebentar lagi?” Zahra tersenyum dan mengangguk.

“Oh, kenapa kita tidak menunggu saja tadi?” Marc menepuk keningnya. Entah mengapa dia begitu gugup hingga mengalami beku otak. Sama sekali tidak dapat berpikir jika di depan Zahra. Dia sendiri masih bingung. Sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya? Apa yang dimiliki wanita itu? 

“Saya harus buka di rumah, Marc. Sudah ditunggu.” Sejenak Marc membeku. Wanita ini sungguh hebat. Bahkan dia memikirkan perasaan keluarganya. Marc merasa ingin mengenal wanita itu lebih jauh. Kesan pertama begitu menggoda. Dengan awal mengenal yang namanya puasa. Berkali-kali lelaki itu melirik ke arahnya saat Zahra berjalan lebih dahulu keluar dari ruangan itu. Marc sedang menyelesaikan transaksi pembayaran makanan itu. Dia mengerutkan kening, ketika ada seorang laki-laki berpapasan dengan Zahra. Laki-laki itu terlihat mengenal Zahra tapi sepertinya terjadi ketegangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status