Ayo, Ra. Lawan aja! Jangan lupa tinggalkan jejak ya guys :)
Alvano menoleh cepat. “Apa?”“Aku butuh ruang. Aku butuh waktu buat ngerti semua ini. Buat maafin diriku sendiri. Aku tahu kamu cinta aku, Van. Tapi cinta kamu nggak bisa nyembuhin aku. Aku … aku harus nyembuhin diriku sendiri,” ungkap Isvara.Alvano terdiam.Kadang, mencintai artinya melepaskan genggaman. Bukan karena tidak mau bertahan, tapi karena tahu yang dicintai butuh bertarung sendirian, agar bisa kembali dengan utuh.“Kamu yakin?” tanya Alvano, yang hanya dijawab dengan anggukan kecil dari istrinya.Alvano akhirnya duduk kembali, pelan-pelan, satu tangan masih menggenggam tangan Isvara, dia berkata, “Kalau itu yang kamu mau, aku akan nunggu kamu sembuh. Serapuh apa pun kamu nanti … aku tetap akan pulang ke kamu.”__Lima hari berselang, akhirnya Isvara diperbolehkan untuk pulang. Namun, bukan pulang ke rumah, melainkan menuju pusat pemulihan trauma.Kamar rawat VIP yang sejak awal penuh isak dan ketegangan itu kini tampak sepi. Ranjang sudah dirapikan, infus dilepas, dan perb
Anita langsung menghampiri sisi ranjang. “Ra, jangan ngomong apa-apa dulu, kamu baru–”“Tapi aku bukan anak kecil lagi, Bu. Kalau memang kehadiranku jadi beban … aku bisa pergi. Aku bisa lepaskan semuanya,” potong Isvara pelan, sambil perlahan membuka mata. Dan air matanya jatuh. Satu. Dua. Lalu tak terbendung.“Aku gagal jaga anakku. Aku nggak tahu aku hamil, Bu. Aku nggak sadar. Aku bodoh. Dan kalau itu artinya aku nggak pantas jadi istri Alvano, aku akan mundur …,” lirih Isvara.Seketika, suasana kamar membeku. Baskara mengerutkan dahi. Bahkan Marina yang sedari tadi menyilangkan tangan di dada, tampak tersentak sedikit, walau cepat dia tutupi dengan raut kaku.Dan saat itulah suara berat terdengar dari ambang pintu.“Cukup.”Semua kepala menoleh bersamaan.Alvano berdiri di sana. Bahunya tegang. Napasnya tak beraturan. Sorot matanya penuh kemarahan, bukan karena Isvara, tapi karena semua orang di ruangan itu membiarkan istrinya bicara dalam keadaan setengah sadar.Pria itu melangk
Benar saja, berita itu meledak sebelum matahari benar-benar turun dari puncaknya.Nama Tara Adityawan menghiasi halaman utama hampir semua media daring hanya beberapa jam setelah instruksi Alvano diberikan. Kredibilitas Dewangga di dunia pers tak perlu diragukan. Begitu beritanya tayang, dampaknya menjalar cepat dan tak bisa dihentikan.Headline-nya tegas, dingin, dan tak bisa dibantah: [Putra Keluarga Adityawan Ditetapkan Sebagai Tersangka Percobaan Pembunuhan.]Tagar-tagar bermunculan. Wawancara lawas dikorek ulang. Bahkan aliran dana gelap yang selama ini menetes ke keluarga mereka ikut terangkat ke permukaan.Respons publik membludak, antara murka, puas, dan tidak percaya bahwa orang seperti Tara bisa menyentuh hukum.Pihak keluarga sempat mengeluarkan pernyataan bantahan. Namun seperti kata Alvano, setiap kata yang mereka ucapkan hanya memperpanjang umur berita itu.Kali ini, tidak ada yang bisa mereka beli. Tidak ada nama yang bisa menutup luka.__Sore menjelang.Suara langkah
Alvano menahan napas. Perlahan mengangguk, meski tenggorokannya terasa menyesak.“Dia kecil banget. Tapi rasanya kayak … setengah jiwaku ikut mati bareng dia,” gumam Isvara lirih.Alvano tidak sanggup menjawab. Dia tetap berdiri di tepi ranjang, kaku, seperti tidak tahu harus menyentuh dari mana. Lalu perlahan, pelan sekali, dia menarik tubuh perempuan itu ke pelukannya. Tidak tergesa. Tidak menuntut.Dan Isvara pun tenggelam di sana. Di dada suaminya. Dalam kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Dalam pelukan yang datang terlambat.Perempuan itu ingin marah. Namun, kepada siapa?Pada Tara yang membuat segalanya runtuh dan memicu badai?Pada Alvano yang sempat mengucap bahwa dia belum siap jadi ayah?Atau pada dirinya sendiri, karena terlalu sibuk sampai-sampai tidak sadar bahwa ada kehidupan yang tumbuh diam-diam di dalamnya?Isvara tidak tahu. Dia hanya tahu satu hal: rasanya sakit sekali. Lebih dari yang pernah dia bayangkan.“Aku bahkan nggak sadar aku telat datang bulan. Aku pikir it
Langit di luar jendela mulai terang, tapi ruangan itu tetap sunyi.Isvara membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau alkohol menyengat. Selimut rumah sakit terasa berat menutupi tubuhnya. Kepalanya nyeri, pandangannya buram, dan seluruh badannya seperti baru disatukan dari kepingan tubuh yang sempat hancur.Oh, tidak.Ruangan ini. Bau ini. Ketidakberdayaan ini.Rumah sakit. Ini tempat yang paling ingin dia hindari seumur hidupnya.Isvara menoleh pelan. Seluruh tubuhnya terasa seperti dihantam berkali-kali. Nyeri menyebar dari perut bawah, tapi perih di lengannya juga tak kalah menusuk. Perban di sana terasa lembap, denyutnya seperti mengingatkan luka yang belum pulih. Dia mencoba menarik napas, tapi setiap helaan seolah menyentuh rongga kosong di dalam tubuhnya.Di samping ranjang, Alvano duduk membungkuk. Wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Kemejanya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan bahu yang biasanya tegak dan percaya diri itu, kali ini nyaris tak bergerak. Terlalu diam unt
Alvano mengangkat kepala. Tidak langsung menangkap makna kata-kata itu.Janin?Kandungan?“Siapa yang hamil?” tanya Alvano pelan, nyaris seperti bukan berasal dari dirinya sendiri.“Istri Anda sedang hamil lima minggu. Kami mengetahuinya setelah melihat hasil USG cepat. Kandungannya masih sangat muda. Tapi trauma di bagian perut cukup parah. Ada jaringan yang luruh saat kami menghentikan pendarahan,” ungkap dokter dengan hati-hati.Alvano tidak bergerak. Seolah-olah otaknya berhenti mengirimkan perintah pada tubuhnya. Ruangan itu mendadak terasa terlalu dingin. Terlalu terang. Terlalu nyata.Dokter ini tidak sedang bercanda, ‘kan?Namun, sang dokter hanya menghela napas perlahan, lalu mengeluarkan selembar formulir dari clipboard yang dibawanya.“Kami perlu melakukan tindakan kuretase. Masih ada sisa jaringan dalam rahim yang harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Kami butuh tanda tangan persetujuan Bapak sekarang.”Di bagian atas kertas itu tertera jelas:Persetujuan Tindakan Medis