Tujuan Tara kira-kira apa nih?
Benar saja, berita itu meledak sebelum matahari benar-benar turun dari puncaknya.Nama Tara Adityawan menghiasi halaman utama hampir semua media daring hanya beberapa jam setelah instruksi Alvano diberikan. Kredibilitas Dewangga di dunia pers tak perlu diragukan. Begitu beritanya tayang, dampaknya menjalar cepat dan tak bisa dihentikan.Headline-nya tegas, dingin, dan tak bisa dibantah: [Putra Keluarga Adityawan Ditetapkan Sebagai Tersangka Percobaan Pembunuhan.]Tagar-tagar bermunculan. Wawancara lawas dikorek ulang. Bahkan aliran dana gelap yang selama ini menetes ke keluarga mereka ikut terangkat ke permukaan.Respons publik membludak, antara murka, puas, dan tidak percaya bahwa orang seperti Tara bisa menyentuh hukum.Pihak keluarga sempat mengeluarkan pernyataan bantahan. Namun seperti kata Alvano, setiap kata yang mereka ucapkan hanya memperpanjang umur berita itu.Kali ini, tidak ada yang bisa mereka beli. Tidak ada nama yang bisa menutup luka.__Sore menjelang.Suara langkah
Alvano menahan napas. Perlahan mengangguk, meski tenggorokannya terasa menyesak.“Dia kecil banget. Tapi rasanya kayak … setengah jiwaku ikut mati bareng dia,” gumam Isvara lirih.Alvano tidak sanggup menjawab. Dia tetap berdiri di tepi ranjang, kaku, seperti tidak tahu harus menyentuh dari mana. Lalu perlahan, pelan sekali, dia menarik tubuh perempuan itu ke pelukannya. Tidak tergesa. Tidak menuntut.Dan Isvara pun tenggelam di sana. Di dada suaminya. Dalam kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Dalam pelukan yang datang terlambat.Perempuan itu ingin marah. Namun, kepada siapa?Pada Tara yang membuat segalanya runtuh dan memicu badai?Pada Alvano yang sempat mengucap bahwa dia belum siap jadi ayah?Atau pada dirinya sendiri, karena terlalu sibuk sampai-sampai tidak sadar bahwa ada kehidupan yang tumbuh diam-diam di dalamnya?Isvara tidak tahu. Dia hanya tahu satu hal: rasanya sakit sekali. Lebih dari yang pernah dia bayangkan.“Aku bahkan nggak sadar aku telat datang bulan. Aku pikir i
Langit di luar jendela mulai terang, tapi ruangan itu tetap sunyi.Isvara membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau alkohol menyengat. Selimut rumah sakit terasa berat menutupi tubuhnya. Kepalanya nyeri, pandangannya buram, dan seluruh badannya seperti baru disatukan dari kepingan tubuh yang sempat hancur.Oh, tidak.Ruangan ini. Bau ini. Ketidakberdayaan ini.Rumah sakit. Ini tempat yang paling ingin dia hindari seumur hidupnya.Isvara menoleh pelan. Seluruh tubuhnya terasa seperti dihantam berkali-kali. Nyeri menyebar dari perut bawah, tapi perih di lengannya juga tak kalah menusuk. Perban di sana terasa lembap, denyutnya seperti mengingatkan luka yang belum pulih. Dia mencoba menarik napas, tapi setiap helaan seolah menyentuh rongga kosong di dalam tubuhnya.Di samping ranjang, Alvano duduk membungkuk. Wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Kemejanya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan bahu yang biasanya tegak dan percaya diri itu, kali ini nyaris tak bergerak. Terlalu diam un
Alvano mengangkat kepala. Tidak langsung menangkap makna kata-kata itu.Janin?Kandungan?“Siapa yang hamil?” tanya Alvano pelan, nyaris seperti bukan berasal dari dirinya sendiri.“Istri Anda sedang hamil lima minggu. Kami mengetahuinya setelah melihat hasil USG cepat. Kandungannya masih sangat muda. Tapi trauma di bagian perut cukup parah. Ada jaringan yang luruh saat kami menghentikan pendarahan,” ungkap dokter dengan hati-hati.Alvano tidak bergerak. Seolah-olah otaknya berhenti mengirimkan perintah pada tubuhnya. Ruangan itu mendadak terasa terlalu dingin. Terlalu terang. Terlalu nyata.Dokter ini tidak sedang bercanda, ‘kan?Namun, sang dokter hanya menghela napas perlahan, lalu mengeluarkan selembar formulir dari clipboard yang dibawanya.“Kami perlu melakukan tindakan kuretase. Masih ada sisa jaringan dalam rahim yang harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Kami butuh tanda tangan persetujuan Bapak sekarang.”Di bagian atas kertas itu tertera jelas:Persetujuan Tindakan Medi
Gelap. Bau darah. Napas tercekat. Ruangan itu kacau. Kardus berserakan. Kursi terbalik. Udara terasa pekat–seolah kemarahan masih menggantung di setiap sudutnya. “PAK! JANGAN!!” Jefri masuk dengan langkah terburu. Dadanya naik turun, tapi matanya langsung tertuju pada sosok Isvara yang tergeletak di lantai. Babak belur. Hampir tak bergerak. “Pak! Nona Isvara butuh Bapak sekarang! Dia bisa mati kalau kita terlambat!” seru Jefri lagi, nyaris histeris, mencoba menyadarkan Alvano yang sudah bersiap menghantam. Pipa di tangan Alvano berhenti di udara. Genggamannya gemetar. Napasnya berat. Namun, suara Jefri memecah kabut gelap yang menyelimuti pikirannya. Alvano berbalik. Dan dunia seakan berhenti ketika Alvano melihat tubuh istrinya terbaring. Wajahnya pucat, bibirnya sobek, tangannya masih terikat. “Ra ...,” suara lelaki itu akhirnya pecah. Alvano menjatuhkan pipa dan berlari ke sisi istrinya. Dia berlutut, mendekap wajah Isvara yang dingin dengan kedua tangan. “Cantik ... aku di
Itu menampar lebih keras dari tamparan manapun. Namun, tubuh Isvara tidak bereaksi. Dia hanya diam. Karena ... diam itu lebih aman. Diam itu bertahan.“Aku ... nggak ada hubungannya sama itu,” jawab Isvara jujur.“Ada!” Tara membentak lebih keras. “Dia lihat kamu keluar konser. Masuk hotel bareng suami kamu.”“Terus?”“Dia stres. Nggak makan. Nggak tidur. Terus anak kami mati!”Napas Isvara terhenti setengah jalan. Namun, dia tak berusaha mengisi paru-parunya. Mungkin karena tubuhnya tahu ... bahwa bernapas tidak akan membantu.“Kamu yang buat semua keputusan, Tara,” suara Isvara akhirnya keluar, pelan. “Kenapa sekarang kamu datang, dan nyalahin aku atas kehancuran yang kamu sendiri bangun?”“Karena sekarang aku udah nggak punya apa-apa!” Tara membanting kakinya ke lantai. Dentumannya membuat debu bergetar.“Maksud kamu apa?”“Setelah ninggalin kamu, keluargaku marah. Mereka tarik semuanya. Fasilitas, koneksi, uang. Semua!” Tatapan Tara buram. Pupus. Namun, masih membakar. Dan di sana