Terima kasih banyak ya buat input dari kalian, aku suka baca-bacain kok. Cuma kadang nggak sempet bales. Maaf ya, kalau aku masih banyak kekurangan. Semoga kalian tetap setia ikuti kisah Alvano sama Isvara :)
Kali ini, keheningannya seperti membentur dinding. Membekas.“Jangan pernah ngomong gitu,” suara Alvano terdengar rendah dan tajam. “Sekali aja kamu ngomong kayak gitu, Ra … aku bisa gila.”Isvara memejamkan mata. Di antara semua luka yang pernah singgah, suara itu adalah yang paling sulit dia tolak. Lembut, tapi menghantam.“Kita boleh berjarak hari ini. Tapi jangan pergi. Karena kamu itu rumah yang aku pilih. Dan kalau rumah itu hilang, aku nggak tahu mau pulang ke mana,” lanjut Alvano.Hening lagi. Namun kini, bukan karena saling menjauh, melainkan saling menahan. Supaya tidak runtuh bersamaan.“Ra,” suara Alvano terdengar seperti bisikan doa yang jatuh dari tenggorokan yang nyaris putus, “aku pengen kamu sembuh, bukan karena kamu harus siap punya anak. Tapi karena kamu sendiri layak buat tenang. Buat bahagia.”Isvara menutup mulutnya, menahan isak yang akhirnya pecah. Pelan, tapi nyata. Dia tahu, Alvano tidak sempurna. Namun sejak awal, yang dia butuhkan memang bukan kesempurnaan.
Isvara seperti dihempas oleh kata-kata yang tidak pernah dia siap dengarkan.Perutnya seolah diremas dari dalam. Mual datang tiba-tiba, menyusul rasa nyeri yang menusuk di dada. Cup kopi yang dia genggam terasa terlalu dingin. Terlalu berat.‘Jadi ... waktu itu dia pakai pengaman bukan karena belum cek genetik? Tapi karena memang dia nggak mau punya anak dari aku? Karena menurut dia, aku nggak sanggup?’ batin Isvara perih.Isvara tahu Alvano tidak sepenuhnya salah. Rasionalitasnya paham bahwa mungkin Alvano tidak benar-benar bermaksud menyakiti.Namun tetap saja, mengapa harus berkata seolah-olah dia … beban?Seolah-olah keberadaannya menjadi alasan seseorang mengurungkan niat untuk menjadi ayah?Tangannya jatuh perlahan dari pintu. Dia melangkah mundur tanpa suara, menjauh seperti pencuri yang tidak ingin ketahuan sedang menyelinap.“Nona, sudah bertemu Pak Al?” tanya Jefri saat melihat Isvara kembali.“B–belum. Nanti aja, deh. Kayaknya lagi ngobrol serius,” jawab Isvara buru-buru.J
Hari ini Isvara memutuskan untuk kembali bekerja.Meskipun tubuhnya belum benar-benar pulih, setidaknya mentalnya sudah cukup kuat untuk kembali berdiri di bawah sorotan publik. Dan kali ini, dia kembali ke tempat yang sama–Valora Group–bukan hanya sebagai salah satu anggota tim marketing, tapi sebagai istri dari CEO mereka.Mobil berhenti mulus di depan lobi utama. Pintu terbuka, dan Alvano langsung turun lebih dulu, lalu menoleh pada Isvara dan mengulurkan tangan. Di sisi lain, Jefri sudah menunggu dengan clipboard dan telinga yang terus menempel ke earpiece-nya.Mereka bertiga melangkah sejajar. Alvano di sisi kiri, Jefri di kanan, dan Isvara di tengah. Kombinasi yang cukup untuk membuat kepala para karyawan menoleh.Beberapa pura-pura membuka ponsel meski layarnya mati. Beberapa langsung berhenti di depan lift, padahal lift-nya belum sampai. Dan resepsionis sempat menoleh dua kali sebelum buru-buru kembali mengetik sesuatu yang jelas bukan pekerjaan penting.Bisik-bisik mulai terde
“Apa? Dalang dari semua ini ... Tara?” Alvano menoleh cepat ke arah jendela, seolah butuh jarak sejenak agar emosinya tidak meledak. Isvara yang tadinya duduk diam langsung menoleh. Keningnya berkerut. Dia tidak sepenuhnya mendengar isi pembicaraan, hanya satu hal yang berhasil ditangkap dengan jelas: nama Tara disebut.Entah kenapa, hanya mendengar nama itu saja, mual di perut Isvara kembali menggeliat, menyapu sisa tenang yang baru saja dia bangun. Dadanya sesak. Perutnya seperti ditusuk dari dalam. Dia buru-buru bangkit dan berlari ke kamar mandi.Suara muntah terdengar lagi dari balik pintu. Berat dan menyakitkan.Alvano ingin segera menyusul, tapi suara Jefri di telepon belum berhenti. Bukti-bukti terus mengalir. Nama demi nama disebut. Semua mengarah pada satu orang yang sama. Tara Adityawan.Saat panggilan akhirnya terputus, Alvano langsung berjalan cepat menuju kamar mandi. Pintu terbuka sedikit, cukup untuk melihat Isvara terduduk lemas di lantai, bersandar pada dinding din
Marina menoleh sedikit, tetap tersenyum. “Maaf, Opa. Tapi saya hanya meneruskan yang dulu diajarkan mendiang Oma. Saya punya tanggung jawab untuk menurunkannya juga pada menantu saya.”Sambil berkata demikian, Marina menunduk sopan pada ayah mertuanya, gerak tubuhnya tetap penuh hormat, tapi Isvara tahu, kalimatnya bukan untuk meminta izin. Itu penegasan.Isvara menunduk, merasakan tengkuknya mulai hangat. Namun, dia tidak bicara. Tangannya tetap bekerja, menyendok nasi, menyajikan semur lidah, dan meletakkannya ke atas piring Alvano dengan hati-hati. Isvara lalu duduk kembali, berusaha menjaga ekspresi setenang mungkin. Lalu melirik ke suaminya. “Kamu mau tambah–”Belum sempat kalimat itu selesai, suara halus tapi tegas dari seberang meja kembali memotong.“Isvara.”Dia menoleh cepat. Salah satu tante Alvano, yang berpakaian serba pastel dengan bros bermata zamrud di dadanya, menatap dengan senyum kecil.“Biasanya, kami memanggil suami dengan sapaan ‘Mas’, ‘Abang’, atau ... sesuatu y
“Siapa?” Alvano menegakkan duduknya, sepenuhnya terjaga sekarang. “Staf hotel. Yang mengantarkan pakaian malam itu ke kamar Bapak. Kami cocokkan dari sistem shift dan kamera pengawas internal. Dia sempat berhenti di luar kamar selama beberapa menit, lalu pergi ke koridor barat yang CCTV-nya kebetulan mati,” jelas Jefri.Isvara mendekat pelan, duduk kembali di sisi ranjang sambil mengamati wajah Alvano yang semakin serius.“Namanya?” tanya Alvano, tenang namun dingin. Ketegangan tampak jelas di garis rahangnya yang mengeras.“Bayu Ardiansyah. Anak magang bagian frontliner. Tapi sepertinya ini bukan inisiatif pribadi. Ada transaksi masuk ke rekeningnya dua hari lalu. Jumlahnya cukup besar,” sahut Jefri.Alvano memejamkan mata, menarik napas dalam. “Dari siapa?”“Kami belum bisa pastikan. Rekening pengirim pakai nama samaran. Transaksinya juga dilapisi dengan akun perantara. Tapi ... saya yakin ini bukan kerja satu orang, Pak. Terlalu rapi. Terlalu cepat menyebar.”Alvano membuka mata, k