Makasih banget loh buat kalian yang masih setia baca sampai bab ini, tolong jangan bosen ya :)
Isvara mengerjap pelan, matanya masih terasa berat ketika sinar matahari sore masuk lewat jendela balkon. Begitu benar-benar tersadar, dia mendapati dirinya sudah di kamar penthouse. Selimut menutupi setengah tubuhnya, posisi bantal rapi seperti baru saja dibenahi.“Loh, aku gimana bisa sampai sini?” gumamnya pelan.Keningnya berkerut. Apa Alvano yang menggendongnya naik? Pipi Isvara spontan menghangat membayangkan itu.Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Sepi. Tidak ada tanda-tanda Alvano di ruangan. Akhirnya, dia bangkit perlahan karena perutnya terasa keroncongan.Begitu menuruni tangga spiral menuju lantai bawah, aroma bawang tumis dan kaldu menyambutnya. Di dapur, Wati tampak sibuk memotong sayuran sambil sesekali mengecek panci di atas kompor.“Pas banget,” gumam Isvara, sambil menahan senyum.“Non!” Wati langsung menyapa dengan sumringah ketika melihat Nona mudanya turun dan berjalan menuju meja makan. “Aduh, Mbak kangen deh. Jangan kabur-kaburan lagi ya, Non.”Isvar
Tidak terasa, pelarian rasa honeymoon itu sudah berjalan genap dua minggu. Hari-hari di Jeju terasa ringan, meski diselingi beberapa kali perdebatan kecil. Isvara masih ingin memperpanjang liburan, sementara Alvano berkali-kali menekankan bahwa pekerjaannya menumpuk, dan tidak bisa terus ditunda. Akhirnya, mereka sepakat pulang hari ini, meski jelas Isvara yang paling berat melepas.Di bandara, suasana riuh oleh pengunjung yang lalu-lalang, koper yang bergeser di lantai, dan suara pengumuman yang bergema dari pengeras suara. Dari kejauhan, terlihat sosok Jefri yang sudah menunggu mereka, berdiri rapi dengan kemeja putih, tangan siap menyambut.“Mas, udah baikan sama Jefri?” bisik Isvara sambil menyeret kopernya dengan langkah yang agak terseok.Alvano sempat melirik istrinya, lalu menghela napas. Alih-alih menjawab, dia justru meraih gagang koper itu dengan mudah dari tangan Isvara. “Sini, biar aku bawain. Kamu beneran niat kabur, ya? Bawa baju segini banyak.” Omelannya terdengar leb
Setelah syuting selesai, Isvara masih belum berhenti senyum-senyum sendiri. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan kembali ke hotel, dia terus saja mengulang-ulang dengan wajah berbinar.“Mas, sumpah itu momen fangirl of the year. Aku nggak nyangka bisa sedekat itu sama San!”Alvano hanya fokus menyetir. Bibirnya melengkung tipis, tapi jelas sekali dia menahan kesal.“Serius aku seneng banget deh tadi! Besok kita ke sana lagi ya? Soalnya–”“Ra.” Suara rendah itu memotong, penuh peringatan.Isvara langsung menutup mulut, mengerti bahwa keinginannya kali ini akan menemui penolakan, meski pipinya masih memerah menahan geli. Dia melirik ke arah suaminya sekilas, lalu cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel padahal layar bahkan belum menyala. Jantungnya masih berdebar saking euforianya, tapi ada getaran lain yang tak kalah kuat, tatapan Alvano yang sedari tadi terasa menusuk.Mobil melaju menembus jalanan malam yang mulai sepi. Isvara menempelkan kepalanya ke kaca jendela, mencob
Pasangan itu akhirnya sampai di Jungmun Saekdal Beach. Angin laut langsung menyambut, membawa aroma asin dan debur ombak yang berkejaran. Di kejauhan, sudah terlihat kru yang sibuk menyiapkan kamera, lampu, dan properti untuk syuting MV idol yang ditunggu-tunggu Isvara.Isvara hampir melompat kegirangan, matanya berbinar. “Mas, itu mereka! Aku lihat–” suaranya tercekat, jari telunjuknya teracung.Alvano hanya menatap istrinya dengan senyum tipis. “Hm. Jadi segini semangatnya kamu kalau lihat cowok lain, ya?”Isvara menoleh cepat, wajahnya memerah, tapi terlalu antusias untuk berhenti. “Bukan cowok lain. Ini idol, beda kelas, Mas.”Isvara menarik lengan suaminya, hampir menyeretnya ke arah kerumunan penggemar lain yang sudah berkumpul di tepian. Membuat Alvano mendengus pelan, tapi tetap mengikuti langkah kecil itu. Tangannya otomatis menggenggam pinggang Isvara, seolah menandai bahwa perempuan di depannya tetap miliknya.“Kalau aku nggak salah, kamu kaburnya buat nenangin diri. Kok se
Isvara terdiam. Jantungnya seolah ikut merosot mendengar kata cerai. Dia tidak bisa berkata apa-apa untuk menanggapi kalimat tersebut, karena memang perceraian tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya. Yang dia butuhkan hanyalah jeda, bukan perpisahan.“Kamu pergi ke mana pun, aku bisa ngejar. Tapi kalau kamu pergi dari hidup aku, Ra … aku beneran nggak tahu gimana caranya buat nyusul kamu lagi,” ucap Alvano serius. Seolah setiap kata adalah pengakuan yang telanjang.Keheningan merayap di meja mereka. Hanya ada suara sendok garpu dari meja lain, samar bercampur dengan musik restoran yang mengalun lembut.Isvara menunduk, jemarinya meremas serbet di pangkuannya. Senyumnya tipis, tapi matanya berkaca-kaca. Dia tahu, di balik gurauan dan rayuan Alvano selama ini, ternyata ada rasa takut yang nyata.“Jadi kamu mau cerita apa?” tanya Alvano ketika makan siang mereka hampir habis.Isvara menggigit bibir, jemarinya sibuk meremas serbet. “Mas … jangan marah ya?”“Iya apa?”Isvara menghel
“Mas!” Isvara spontan mendorong dadanya sambil tertawa. “Apa? Aku cuma nyaranin,” jawab pria itu santai. “Nyaranin atau ngajak?” “Dua-duanya.” Tawa mereka menyatu dengan suara air yang beriak pelan. Isvara akhirnya pasrah kembali bersandar di pelukannya. Meski dia tahu, kalau Alvano sudah bilang ‘dua-duanya’, artinya hari ini belum benar-benar selesai. Beberapa saat mereka hanya diam, hanya ada suara napas dan riak kecil air di sekitar mereka. Sampai akhirnya Isvara bertanya pelan, hampir seperti gumaman, “Mas, kalau aku hamil, gimana?” “Gimana apanya?” Suara Alvano terdengar santai, dia menunduk sedikit untuk melihat wajah wanitanya. “Aku takut aku belum siap,” ucap Isvara lirih. Ada getar di ujung suaranya, seolah kalimat itu berat sekali untuk diucapkan. Alvano terdiam sejenak. Lalu tangannya yang sejak tadi melingkari pinggang Isvara bergeser perlahan, mengusap perut istrinya di bawah air. Gerakannya pelan, hati-hati, seakan menyampaikan jawaban lebih dulu lewat sentuhan.