Uhuy bayi kembar nih :)
Sepanjang perjalanan menuju ruang rawat istrinya, langkah Alvano lebih lambat dari biasanya. Ucapan dr. Lestari terus terngiang di kepalanya. Ternyata perjuangan menahan kebutuhan biologisnya selama trimester pertama tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan Isvara yang harus menahan mual, lelah, dan nyeri setiap hari demi dua nyawa kecil dalam rahimnya. Ada rasa malu sekaligus tekad baru dalam dirinya: dia ingin jadi sandaran, bukan beban.Akhirnya, Alvano membuka pintu kamar VIP dengan hati-hati. Cahaya lampu temaram menyambutnya, bersama sosok Isvara yang sudah setengah duduk di ranjang. Wajahnya masih pucat, pipinya belum kembali berwarna, tapi begitu melihat suaminya masuk, matanya berbinar kecil, seolah itu sudah cukup untuk membuat dunia terasa lebih ringan.“Mas, dari mana?” tanyanya lembut, suaranya masih serak tapi jelas lebih segar dari sebelumnya.Alvano menutup pintu, lalu mendekat. “Baru ngobrol sama dr. Lestari. Tidur kamu nyenyak?” tanyanya kemudian, dia meraih kursi
Brakk! Jefri langsung tersedak kopinya sampai nyaris keluar lewat hidung. Dia buru-buru menutup mulut dengan tangan. “Mas … maksudnya–”“Dewa! Jangan bilang kamu–”“Bukan kayak yang kalian pikir! Cuma … ya, semacam kecelakaan kecil,” kilah Dewangga cepat, kedua tangannya terangkat panik.“Dewa!” Suara Alvano meninggi, nyaris membentak. Untung saja dia masih sadar mereka sedang di kafetaria rumah sakit, sehingga nada tajam itu tertahan di tenggorokan.“Mas, sumpah aku nggak rencanain.” Napas Dewangga tersengal, matanya gelisah. “Waktu itu aku lagi di klub, terus lihat Aruna dipegang-pegang sama cowok lain. Aku mabuk, marah, dan akhirnya kelewatan.”Ya, seperti yang semua orang tahu, Aruna memang ratu klub sejak dulu.Jefri menunduk makin dalam, pura-pura sibuk mengaduk kopi, padahal telinganya panas seperti habis disetrika.“Memang kamu nggak pakai … itu?” Alvano sengaja menahan kata yang jelasnya, mengingat mereka ada di tempat umum.“Boro-boro, Mas. Namanya juga lagi mabuk, ya gas aj
Ratna menyalakan mesin USG, gel dingin kembali dioleskan ke perut Isvara. Isvara spontan menggenggam tangan Alvano lebih erat.“Relax ya, Bu. Kita cek perkembangan si kembar,” ujar Ratna lembut.Monitor menyala, menampilkan bayangan dua janin mungil yang bergerak samar. Detak jantung terdengar ritmis, memenuhi ruangan dengan bunyi yang membuat dada mereka bergetar.Alvano menunduk, matanya terpaku tanpa berkedip. “Itu … mereka makin jelas,” gumamnya lirih, seolah takut suaranya bisa merusak momen. Jemarinya refleks mengusap kepala Isvara.“Betul, Pak.” Ratna tersenyum sambil menunjuk layar. “Sekarang usia kandungannya masuk tujuh minggu lebih. Janin satu sudah 1,1 cm, janin dua sekitar 1,2 cm. Pertumbuhannya bagus, stabil, dan keduanya punya detak jantung yang kuat. Tidak ada tanda bahaya.”Isvara mengembuskan napas lega, matanya berkaca-kaca. “Mereka sehat ya, Dok?”“Sehat,” jawab Ratna mantap. “Tapi Ibu tetap harus banyak istirahat. Asupan makanan juga penting. Nanti saya atur vitam
“Pesta dengan perut hamil?” Isvara langsung mendengus. “Yang bener aja, Mas. Aku bisa pingsan sebelum naik pelaminan. Mending uangnya dipakai buat sesuatu yang lebih berguna nggak sih?”Alvano mengangguk pelan, seolah memang sudah menebak jawaban itu. “Oke. Kalau gitu buat usaha, gimana? Kamu ada rencana mau bikin apa? Biar aku modalin.”“Modalin? Gampang banget bilang mau modalin.” Isvara menyipitkan mata.Alvano hanya mengangkat bahu ringan. “Kalau buat kamu, gampang.”Isvara mendecak, tapi tidak bisa menahan senyum tipis.“Kamu mau bikin toko kue?” usul Alvano dengan nada main-main.Isvara langsung cemberut, mengingat satu kejadian. “Mas nggak inget aku pernah bikin cheesecake gosong?”Alvano terkekeh kecil. “Oke, skip! Kalau galeri? Kamu suka lukis, ‘kan?”“Kalau terapi seni sih iya, aku suka. Tapi kalau soal lukisan? Percayalah, Mas, lukisan aku lebih cocok dipajang di TK daripada di galeri,” sahut Isvara.Pria itu mengusap rambutnya lembut. “Ya udah, bukan toko kue, bukan galeri
Alvano menoleh. Sekejap wajahnya berubah kaku. Seorang perempuan berdiri tak jauh darinya, berbalut dress hitam sederhana, tapi elegan. Rambut panjangnya terurai rapi, bibirnya melengkung dalam senyum samar. Senyum yang dia kenal, senyum yang selalu menyimpan maksud tersembunyi.“Oh, Liv.” Alvano menyapanya datar, nyaris tanpa intonasi.Livia melangkah mendekat, tatapannya jatuh ke kantong belanjaan di tangan Alvano. “Habis beli apa?” tanyanya ringan, tapi nadanya jelas menyelipkan rasa ingin tahu.“Nggak mungkin habis beli obat di toko kue, ‘kan?” sahut Alvano dingin.Senyum miring muncul di bibir Livia. “Tumben kamu ke mall sendiri. Kamu, ‘kan biasanya selalu ditemani Jefri.”“Iya. Ini permintaan istriku sendiri. Dia lagi ngidam, minta dibeliin ini.” Suara Alvano terdengar tegas, sekaligus menjadi penegasan statusnya.“Ngidam? Isvara lagi hamil?” tanya Livia lalu mengangkat alis.“Hm.” Alvano mengangguk pendek, tanpa penjelasan lebih lanjut.“Selamat ya, Al.” Senyum Livia sekilas te
“Bukan masalah, Pak. Justru kabar baik. Lihat ini …” Sang dokter menunjuk layar, lalu memperbesar gambar. “Ada dua kantung janin. Selamat, sepertinya kalian akan jadi orang tua dari bayi kembar.”Isvara menutup mulutnya dengan tangan, matanya membesar, campuran syok dan bahagia. Sementara Alvano menatap layar itu tanpa berkedip, dadanya naik turun lebih cepat.Namun kegembiraan itu hanya sebentar. Begitu pemeriksaan selesai, Ratna kembali menoleh serius. “Tapi karena kondisi Ibu masih lemah dan tidak bisa menelan makanan, saya sarankan rawat inap dulu. Supaya cairan dan nutrisi tetap masuk,” ujarnya lembut tapi tegas.Isvara spontan menoleh pada suaminya, sementara Alvano hanya mengangguk cepat, seolah tak memberi ruang untuk tawar-menawar. “Kalau itu yang terbaik, Dok, langsung rawat inap saja.”Beberapa menit kemudian, seorang perawat datang untuk mengantar mereka. Alvano sendiri yang mendorong kursi roda Isvara menuju lantai VIP.Begitu pintu kamar rawat terbuka, aroma antiseptik be