Kira-kira Alvano akan menjelaskan bagaimana ya ke Mamanya?
“Jangan-jangan kamu …”Isvara sengaja menggantungkan kalimatnya. Matanya menatap pria di depannya tanpa berkedip, mencoba membaca bahasa tubuh Alvano.Alvano mengangkat alis, menunggu lanjutan kalimat itu sambil tetap memegang kantong kecil berisi permen kapas dengan gambar koala.“Jangan-jangan kamu … nyelidikin masa lalu aku, ya?” tuduh Isvara.“Siapa yang kamu suruh? Jefri?”Alvano mengerjapkan mata, sedikit lega, sedikit bingung, dan … sedikit terpojok.“Apa? Nggak, aku nggak nyelidikin kamu,” jawab Alvano cepat. “Aku nggak nyuruh siapa-siapa.”Isvara menyilangkan tangan di dada. “Terus kamu bisa tahu aku suka permen ini waktu kecil dari mana? Emangnya kamu paranormal?”Namun, alih-alih menjelaskan, Alvano perlahan meletakkan permen itu di meja.“Udah deh. Emang itu penting?” kata Alvano, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Yang penting sekarang … aku udah minta maaf dengan tulus. Dan kamu …” Alvano menatap Isvara, mata mereka bertemu, “kamu maafin aku, nggak?”Isvara tidak langs
Kali ini Alvano harus memutar otak—bukan untuk menyusun strategi bisnis, bukan juga untuk merancang alibi di hadapan orang tuanya. Kali ini, dia harus memikirkan satu hal yang jauh lebih sulit: bagaimana caranya meminta maaf ... kepada Isvara.Alvano duduk di ruang tengah, sendirian. Jas kerjanya sudah dilepas, dasi dilonggarkan, tapi ketegangannya belum juga hilang. Kedua tangan bertaut di pangkuan, memijit pelipis yang sejak tadi terasa berat.Isvara masih di luar, belum pulang. Atau lebih tepatnya—belum mau pulang. Dan Alvano tidak bisa menyalahkannya.Ciuman itu … kalau boleh mengulang waktu, Alvano akan memilih untuk mundur beberapa langkah, menutup mulutnya sendiri, atau kalau perlu—mengikat kedua tangannya ke belakang supaya tidak gegabah menyentuh Isvara.Dan kemudian … transfer lima puluh juta sebagai ‘kompensasi’?‘Brilian sekali. Pinter banget kamu,’ ejek Alvano dalam hati.Pria itu tidak tahu harus tertawa atau mengutuk diri sendiri.Itu refleks, cara paling cepat yang sela
Jefri berdiri kaku beberapa detik, sebelum akhirnya sadar bahwa ruangan itu sudah bukan tempatnya lagi. Udara tiba-tiba terasa lebih tipis, seolah tembok kantor pun ikut menahan napas.Tanpa sepatah kata pun, Jefri membungkuk sopan dan segera keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya.Alvano menghela napas. “Mam, duduk dulu.”Tanpa menunggu, Marina berjalan ke sofa tamu dan duduk dengan postur sempurna. Dagu terangkat, tangan bertaut di pangkuan.“Jelaskan,” ucap Marina. Bukan perintah. Lebih seperti ultimatum.Alvano beranjak dari kursi kerjanya, lalu berjalan mendekat. Langkahnya tampak mantap, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan beban yang menumpuk di balik raut tenangnya. Dia duduk di sofa seberang, menatap ibunya lurus-lurus.“Ada apa Mama tiba-tiba datang ke kantor?” tanya Alvano hati-hati.“Pertanyaannya salah,” sahut Marina cepat. “Yang benar: sejak kapan kamu menikah diam-diam dan tidak memberi tahu siapa pun?”Alvano terdiam. Dia menarik napas pendek.Dan ya—itul
Isvara mengusap wajahnya, entah untuk menghapus air mata atau rasa malu yang terlalu dalam untuk dijelaskan.Isvara masih belum habis pikir. Bagaimana bisa ... seseorang mencium bibirnya tanpa izin, lalu menyodorkan angka, seolah semua sudah lunas?Apa sesederhana itu cara Alvano melihatnya?Isvara bukan sekadar marah. Dia kecewa.Karena di pikiran wanita itu, bahkan orang asing pun tahu bahwa harga diri perempuan bukan sesuatu yang bisa dikompensasikan. Apalagi dengan uang!Dan yang membuatnya lebih perih lagi—bukan karena Alvano mencoba membayarnya. Namun, karena pria itu tidak sadar bahwa tindakannya salah sampai harus melakukan itu.Bagaimana bisa seseorang yang begitu cerdas ... justru begitu tumpul saat menyangkut perasaan orang lain?Isvara membalikkan badan, menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk. Namun, sebelum dia sempat melangkah ke arah pintu, Alvano bersuara lagi. Bukan perintah. Bukan pembelaan. Hanya ... permintaan.“Ajari aku.”Isvara berhenti. Bahunya mene
Tangan Isvara spontan naik, mendorong dada Alvano. Namun, sentuhan ragu itu justru membuat pria itu mencondongkan tubuh sedikit, ciumannya berubah. Lebih dalam. Lebih lama. Lebih membuat napas wanita itu tersengal karena panik yang naik ke dada.Apa yang pria ini lakukan?!“Cukup!” Suara Livia pecah antara marah, panik, dan histeris. Seolah-olah dia tidak benar-benar percaya pada apa yang sedang disaksikannya, atau tidak ingin mempercayainya.Alvano perlahan menjauh. Tangannya masih melayang di samping wajah Isvara seolah ingin memastikan wanita itu tetap tegak. Tatapannya tetap tertuju pada wajah Isvara—yang kini menunduk dalam diam. Wajahnya merah, bukan hanya karena malu, tapi juga campuran marah, kecewa, dan bingung.“Kalau kamu masih ragu,” ucap Alvano, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Livia, “itu urusan kamu. Tapi satu hal yang pasti, Isvara adalah istriku.”Sunyi.Bukan sunyi yang nyaman, tapi sunyi yang menegangkan. Yang membuat dada sesak.Livia menggertakkan giginya. Tatapan
Prang!Gelas itu jatuh, pecah menjadi kepingan tajam di lantai, sebagian mengarah ke kaki Isvara yang berdiri kaku seperti patung.Untuk sesaat, waktu seolah membeku.Alvano masih duduk, tapi matanya menusuk ke arah Livia—dingin dan tajam, seperti peringatan tidak bersuara. Isvara tidak mampu bergerak, hanya bisa menatap pantulan wajahnya sendiri di antara serpihan kaca—tegang, panik, dan sedikit takut.“Ya Tuhan,” gumam Isvara pelan.Aroma sup dan ayam goreng yang tadinya mengundang selera kini seolah menguap, digantikan ketegangan pekat di udara.Sementara itu, Livia berdiri seperti ratu yang baru saja menemukan rakyat jelatanya duduk di singgasana kerajaan.“Kamu … kenapa bisa ada di sini?!” tuding Livia tajam, sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah Isvara.Isvara belum sempat menjawab—kakinya tanpa sengaja bergerak, dan salah satu pecahan kaca kecil menembus kulitnya.“Ahh!” erang Isvara pelan.Seketika, kursi Alvano bergeser.Pria itu berdiri dan melangkah cepat, tanpa menoleh
Isvara menoleh pelan, ragu apakah dia benar-benar mendengar gumaman itu.“Kamu bilang apa barusan?” tanya Isvara, suaranya masih serak tapi mulai stabil.Alvano tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada laptop dan flashdisk yang kini ada di tangannya. Gerakannya sempat terhenti, seperti sedang menimbang apakah harus mengulang ucapannya atau mengelak.“Nggak apa-apa.” Jawaban Alvano singkat, nyaris tergesa. Pria itu langsung berbalik, lalu meletakkan laptop itu di pangkuan Isvara, diikuti flashdisk yang dia sisipkan di samping.“Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” lanjut pria itu. Lalu dia pergi begitu saja. Tanpa komentar tambahan. Tanpa menoleh lagi.Pintu tertutup pelan.Isvara hanya bisa menatap punggung Alvano sampai benar-benar menghilang di balik pintu. Dalam diam, pikirannya dipenuhi pertanyaan—semuanya tanpa jawaban yang pasti.Kenapa Alvano bersikap seperti itu?Kenapa pria itu bisa begitu sigap membawakan bubur, menyiapkan laptop, dan bahkan … menggertak akan menggendong ke
Jantung Isvara langsung berdegup cepat. Kantuk yang tadi masih menggantung di kelopak mata sontak lenyap. Rasa sakit kepala pun seolah tertahan di belakang gelombang panik yang tiba-tiba menyerbu."Apa lagi, sih ..." bisik Isvara cemas, buru-buru dia menekan tombol telepon ke nomor Monika.Nada sambung terdengar satu kali. Dua kali.Lalu suara Monika yang terdengar setengah meledak langsung menyambar dari seberang, “Kamu ke mana sih?! Nggak ada kabar, Bu Indri marah-marah tau! Kamu ‘kan ada presentasi sama Pak Dylan hari ini, Ra!”Isvara meremas selimutnya sambil menahan napas. “Aku sakit, Mon. Badanku demam. Ini juga baru bangun,” jawabnya pelan, suara serak dan hidung sedikit tersumbat membuatnya terdengar lebih meyakinkan.“Tapi kamu nggak bilang apa-apa dari semalam. Minimal kirim pesan atau kabarin aku dong, Ra. Sekarang aku yang jadi bulan-bulanan!” keluh Monika, suaranya terdengar setengah panik, seperti sedang berjalan cepat sambil tetap menahan ponsel di telinga.Isvara memeja
Tok. Tok. Tok.Suara ketukan terdengar lembut di pintu kamar Isvara, kali ini disusul suara pria yang terdengar sedikit tidak sabar.“Isvara?”Tak ada jawaban.Alvano berdiri di depan pintu dengan tangan masih menggantung, mengetuk dua kali lagi, kali ini agak lebih keras.“Isvara? Kamu nggak kerja hari ini?”Masih tidak ada sahutan. Bahkan tidak ada suara langkah kaki atau derit tempat tidur bergeser. Sunyi seperti kamar kosong.Alvano melirik sekilas ke jam di pergelangan tangan. Sudah lewat pukul delapan. Padahal biasanya, perempuan itu sudah keluar rumah sebelum matahari benar-benar naik. Teratur. Disiplin. Tidak seperti ini.‘Apa dia ketiduran? Atau... jangan-jangan dia pingsan?’ pikir Alvano, kali ini mulai cemas. Tanpa pikir panjang, pria itu berbalik dan melangkah cepat ke ruang kerja, membuka laci bawah tempat dia menyimpan kunci cadangan. Entah kenapa, ada dorongan tidak nyaman di dadanya. Cemas? Mungkin. Atau kesal karena repot? Bisa jadi.Dengan langkah tergesa dan sedikit