Kalau kalian suka cerita ini, jangan lupa kasih ulasan, like dan komen ya.. Makasih :)
“Takut, Mas. Aku tadi cuma gertak aja.” Isvara menunduk, suaranya kecil sekali, nyaris hilang.“Dengar baik-baik.” Alvano tiba-tiba meraih tangan istrinya, menarik Isvara turun hingga terduduk di pangkuannya. Genggamannya begitu kuat, seolah menegaskan satu hal: tidak ada ruang untuk lari. “Jangan pernah bilang pulang ke rumah Ibu lagi. Selama aku ada di sini, tempatmu cuma satu–di sisiku. Mau aku lagi marah, mau aku lagi sibuk, kamu tetap di sini. Jangan macam-macam!”Isvara membeku. Matanya berkaca-kaca, sementara jantungnya berdegup kencang. Dia sadar betul, barusan dia benar-benar membangunkan macan tidur.“Ra, kamu pikir aku marah cuma karena kamu pulang telat?” Suara Alvano berat, tajam. Rahangnya mengeras, jemarinya mengetuk meja kayu dengan ritme yang membuat udara di ruangan kian menegang. “Aku marah karena ponselmu mati. Aku telepon berkali-kali, nggak ada jawaban.”“Kan bisa hubungi Lita,” gumam Isvara lirih, berharap itu bisa meredakan amarah.“Bukan soal Lita! Aku maunya
“Apa?” sahut mereka hampir bersamaan, mata sama-sama membesar penuh rasa ingin tahu. “Sekarang gaya hidup Mbak Retha berubah drastis. Glamor banget. Pernah aku disuruh nganter barang ke apartemennya. Eh, ternyata dia udah pindah ke apartemen yang jauh lebih mewah. Dan waktu aku lihat di laci tempat penyimpanan kunci, ada dua kunci mobil sport di situ. Bukan tipe mobil yang biasa dia pakai dulu,” ungkap Mila, lalu menatap mereka satu per satu dengan dramatis. “Astaga, kalau gitu jelas dia punya sugar daddy lah. Nggak mungkin cuma dari gajinya,” sahut Rani, refleks menepuk meja. Membuat Isvara langsung berhenti mengunyah. “Eh, jangan asal ngomong gitu, Ran,” tegur Isvara. “Aku inget, dulu Mbak Retha juga pernah nuduh aku hal yang sama. Kalau ternyata salah, apa nggak sama aja kita kayak dia?” Meja mendadak hening. “Iya sih, Ra. Aku kebablasan ngomong. Maaf.” Rani menunduk, wajahnya sedikit salah tingkah. Mila buru-buru menengahi. “Yaudah, jangan pakai istilah itu deh. Tapi tetap a
“Lita, tolong kamu jelasin sama aku. Kenapa kamu mau jadi asisten aku? Nggak mungkin kamu nggak kenal aku, ‘kan?” suara Isvara terdengar tegas. Kini dia sudah bersandar di kursi penumpang belakang, tangan terlipat di dada, sorot matanya menatap tajam ke arah kursi depan.Lita yang memegang kemudi menelan ludah. Jemarinya mengencang di setir, sebelum akhirnya dia menjawab, “Saya memang kenal, Non Isvara. Dan justru itu alasannya. Saya mau minta maaf.”“Minta maaf buat apa?” sahut Isvara ketus.“Untuk masa lalu.” Lita melirik sebentar ke spion tengah, lalu kembali fokus ke jalan. Wajahnya serius, jauh dari senyum formal yang tadi dia tunjukkan di depan Alvano. “Saya tahu saya salah sudah ikut-ikutan bully Non waktu SMP. Saya tidak punya alasan untuk membenarkan. Saya hanya bisa bilang saya menyesal. Dan saya berharap, lewat kerja ini saya bisa perbaiki semuanya.”Isvara tercekat. Ingatan itu kembali begitu saja: saat dirinya dibilang gila, rambut ditarik sambil diteriaki kata-kata kejam,
“Mas! Kenapa dia yang jadi asisten aku?!” semprot Isvara begitu pintu kamar tertutup. Wajahnya memerah, jelas-jelas menuntut penjelasan.Alvano menoleh pelan, keningnya berkerut. “Memang apa yang salah?”“Maksud aku, dia siapa?” ralat Alvano cepat. “Aku cuma ambil dia dari yayasan. Dan kebetulan dia orang yang sesuai sama kriteria: mantan perawat gizi, bisa dampingin kamu, ngerti kesehatan.”“Tapi kenapa kamu nggak bilang dulu? Kenapa semua harus keputusan kamu? Kamu selalu begini! Bertindak sendirian, seolah aku ini cuma penumpang. Padahal kita ini tim. Kamu memang leader, tapi aku juga punya andil dalam hubungan ini. Bisa nggak sih sekali aja kamu diskusi dulu sama aku?!” cecar Isvara.Alvano terdiam. Kata-kata itu menohok. Dia tahu, selama ini dia memang terbiasa mengatur tanpa banyak bertanya, bahkan kepada istrinya. Perlahan, dia menghela napas, lalu mengakui, “Oke. Untuk yang satu ini, aku salah. Aku minta maaf, Ra.”Isvara masih menatapnya, penuh luka dan amarah.“Tapi,” Alvano
Tanpa sepatah kata pun, Alvano bangkit. Langkahnya tenang menuju meja rias. Isvara menelan ludah, matanya mengikuti setiap gerakan suaminya. Saat pria itu kembali dengan sebotol lotion beraroma lavender di tangan, napasnya langsung kacau.Alvano membuka tutup botol itu perlahan, lalu menunduk hingga wajahnya dekat sekali dengan istrinya. Senyum samar di bibirnya, tapi tatapannya terlalu dalam. “Kamu siap, Ra?” bisiknya rendah, nyaris seperti ajakan yang berbahaya.‘Ya Tuhan … jangan bilang dia serius!’ Wajah Isvara memanas seketika, tangannya refleks menutupi pipi. “Mas! Kamu … kamu jangan aneh-aneh ya!” serunya panik, nyaris meloncat dari kursi.Padahal wajar saja, pasangan suami istri tentu tidak tabu melakukan itu. Namun bagi Isvara, kedekatan seperti ini masih membuatnya gugup. Seakan setiap gerak Alvano selalu terasa baru dan membuat jantungnya berantakan.Alvano hanya terkekeh kecil, lalu menggandeng tangannya. Dengan santai dia menuntun Isvara ke ranjang. Semakin paniklah pere
Sepanjang perjalanan menuju ruang rawat istrinya, langkah Alvano lebih lambat dari biasanya. Ucapan dr. Lestari terus terngiang di kepalanya. Ternyata perjuangan menahan kebutuhan biologisnya selama trimester pertama tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan Isvara yang harus menahan mual, lelah, dan nyeri setiap hari demi dua nyawa kecil dalam rahimnya. Ada rasa malu sekaligus tekad baru dalam dirinya: dia ingin jadi sandaran, bukan beban.Akhirnya, Alvano membuka pintu kamar VIP dengan hati-hati. Cahaya lampu temaram menyambutnya, bersama sosok Isvara yang sudah setengah duduk di ranjang. Wajahnya masih pucat, pipinya belum kembali berwarna, tapi begitu melihat suaminya masuk, matanya berbinar kecil, seolah itu sudah cukup untuk membuat dunia terasa lebih ringan.“Mas, dari mana?” tanyanya lembut, suaranya masih serak tapi jelas lebih segar dari sebelumnya.Alvano menutup pintu, lalu mendekat. “Baru ngobrol sama dr. Lestari. Tidur kamu nyenyak?” tanyanya kemudian, dia meraih kursi d