Jangan lupa tinggalkan jejak ya guys :)
“Hey, Cantik. Kamu akhirnya bangun juga.”Suara Alvano terdengar terlalu lembut untuk menampung semua badai yang masih menggulung di dada istrinya.Isvara hanya mampu mengangguk pelan, sementara kepalanya terasa berdenyut seakan menolak untuk benar-benar kembali ke dunia nyata.Alvano duduk di sisi ranjang, satu tangannya bertumpu di kasur dekat pinggang Isvara. Wajahnya lelah, matanya sembab. Entah sejak kapan dia menatap istrinya seperti itu. Ini bukan ranjang rumah sakit. Mereka ada di kamar. Karena Alvano, dalam paniknya, memilih menggendong Isvara begitu saja, ketika perempuan itu mendadak ambruk tak sadarkan diri di ruang tamu.“Mana Mama?” Entah kenapa, justru itu yang pertama meluncur dari bibir Isvara.Alvano menghela napas, jemarinya meremas seprai. “Mama udah aku suruh pulang.”Hening lagi.Hanya suara detak jam dan napas mereka yang saling bersahutan dalam kamar. Sunyi ini bahkan terasa lebih mencekik daripada pertengkaran tajam di ruang tamu tadi.“Aku panggil dokter, ya
“Alvano! Mama hanya mau memastikan kamu tidak salah pilih. Kamu itu penerus keluarga Narendra. Perusahaan, reputasi, masa depan. Apa kamu mau semuanya runtuh hanya karena kamu memilih seorang perempuan yang bahkan tidak bisa memastikan dirinya sendiri tetap waras?” Nada marah Marina terdengar jelas sekali.Isvara menegang, matanya melebar sedikit. Alvano menoleh sekilas padanya, lalu kembali menatap ibunya.“Sakit mental itu sama aja kayak sakit flu, Mam,” ucap Alvano pelan, tapi tajamnya menusuk. “Sama-sama perlu diobati, sama-sama nggak bikin orangnya jadi lebih rendah dari siapa pun.”Isvara mendongak kaget, matanya melebar. Jadi Alvano sudah tahu tentang penyakitnya? Sejak kapan? Baru saja atau jauh sebelum ini?Marina menghela napas. Tangannya meremas jemari sendiri, lalu mencondongkan tubuh, menatap Isvara bagai hendak menelanjangi seluruh luka dalam pikirannya. “Mungkin bagi orang lain begitu, Van. Tapi tidak dengan keluarga kita. Kamu ingin istrimu ... menjadi sumber kelemahan
Isvara kini sudah tiba di garasi. Dia duduk diam beberapa saat di dalam mobil, meremas setir erat-erat. Rasanya seperti hendak masuk ke sebuah ruangan gelap tanpa tahu apa yang menunggunya.Dalam hati, perempuan itu hanya sempat berbisik pelan, semoga semua baik-baik saja. Terlebih Alvano masih di Jepang, baru pulang dua hari lagi. Mau tidak mau, kali ini dia harus menghadapi ibu mertuanya sendiri.Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Isvara keluar mobil dan melangkah menuju pintu depan.Begitu masuk, aroma teh melati langsung tercium. Pandangannya langsung jatuh pada sosok Marina yang duduk tegak di sofa ruang tamu. Elegan dengan blus krem mahal, jemarinya melingkar pada cangkir putih porselen.“Selamat malam, Mam,” sapa Isvara pelan. Dia mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku.Marina hanya menoleh sekilas. “Duduk,” ujarnya pendek, tanpa membalas sapaan.Isvara menurut. Dia duduk di ujung sofa seberang, menata tangannya rapi di atas paha. Namun, kalau dilihat lebih dekat, uj
Seminggu berikutnya berjalan aneh. Cepat sekaligus lambat.Cepat, karena pekerjaan Isvara semakin banyak sejak Andre keluar, atau lebih tepatnya dipecat. Berkas menumpuk, revisi strategi tidak berhenti datang, deadline bergulir tanpa ampun. Kadang dia hanya sempat meneguk kopi yang sudah dingin sambil menatap angka-angka kabur di layar laptop.Namun juga lambat, karena setiap menit terasa kosong. Rumah yang sama, tapi sunyi. Tidak ada Alvano yang menunggu di ruang makan atau duduk di ruang kerja, menatapnya dari balik laptop dengan senyum tipis itu.Ah, Isvara jadi semakin rindu dengan pria menyebalkan itu.Hari ini Isvara baru saja rampung meeting dengan vendor packaging di kantor klien. Rasanya lega sekali saat melangkah keluar ruang presentasi, meski kaki pegal luar biasa. Setidaknya, proyek Tenka mulai menampakkan wujud.Perempuan itu berjalan menuju basement parkir sambil memijat tengkuk. Setelah menaruh tas di kursi penumpang, Isvara duduk diam di balik kemudi. Lalu perhatiannya
“Emang nggak boleh kakak ketemu adiknya?” Kali ini, Isvara yang melempar balik pertanyaan.Alvano menaikkan satu alis. “Boleh, dong. Tapi tumben banget. Masa dia ngajak ketemu cuma buat ngobrol random di parkiran? Ada masalah, ‘kan?”Isvara menghela napas pendek. “Hm.”“Hm yang berarti iya, atau hm yang berarti kamu lagi nyari jawaban supaya aku nggak makin curiga?” Pria itu menyipitkan mata. “Mending kamu ngomong, atau aku yang cari tahu sendiri?”Oke. Sifat dominan CEO satu ini memang tidak pernah libur, bahkan saat video call larut malam begini. Isvara menunduk, menimbang kata-kata. Dia khawatir Alvano akan salah paham, mengira dirinya memanfaatkan hubungan mereka. Bukankah banyak istri di luar sana yang merasa sungkan membawa masalah keluarga ke suaminya?“Dia ... mau pinjam uang,” akhirnya Isvara mengaku, suaranya pelan.“Buat apa?” Alvano menatap istrinya lama.“Dia ditipu WO,” jawab Isvara, suara mengecil mirip anak sekolah yang baru ketahuan mencontek.“Hah?” Alvano mengernyi
Dua hari.Tepat dua hari sejak Alvano tidak membalas satu pun pesan dari Isvara.Kini, Isvara berada di kamarnya. Duduk di ujung ranjang dengan ponsel terus dalam genggaman.Bukan tanpa usaha. Dia sudah berulang kali mengirim chat, menelepon, menunggu centang dua.Semuanya nihil. Tidak ada tanda Alvano mau menjawab.Apa sebenarnya yang terjadi?Apa mungkin ... Livia sudah menjalankan ancamannya?Dengan perasaan cemas yang makin menyesak, Isvara akhirnya mengetik lagi.[Van, aku ada salah apa? Kenapa kamu diem aja? Atau lagi sibuk banget ya?]Pesan itu terkirim, tapi lagi-lagi tak berbalas.Isvara menunduk, memejamkan mata. Mencoba menahan agar kepalanya tidak penuh dengan pikiran buruk.Sampai akhirnya, Isvara memutuskan menelepon Jefri.Setidaknya kalau bukan Alvano, mungkin asistennya bisa memberi sedikit kejelasan.Tidak butuh lama, telepon langsung diangkat. “Selamat malam, Nona.” Suara Jefri di ujung sana terdengar ramah seperti biasa.Isvara menelan ludah. “Mas Jefri ... maaf ga