Share

Bab 4: Rahasia

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-04-30 14:41:12

Isvara menunduk. Matanya kini tertuju pada cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya.

Kemudian, Isvara diam sebentar. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya, dan akhirnya dia putuskan untuk mengatakannya juga.

“Aku tahu kamu nggak minta apa-apa,” ucap wanita itu pelan. “Tapi, aku juga nggak bisa duduk diam begitu saja. Kamu sudah menolongku. Aku nggak mau kelihatan seperti orang yang cuma numpang hidup.”

Tatapannya masih mengarah ke cangkir, tapi suaranya mantap. “Aku tetap akan bantu urus rumah. Masak, beresin ruang kerja, apa pun yang bisa aku lakukan. Itu bukan soal uang, cuma ... aku butuh merasa aku juga berkontribusi.”

Alvano tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap wanita di hadapannya beberapa detik sebelum kembali pada sarapannya.

Isvara mengerti. Itu bukan persetujuan, tapi juga bukan penolakan.

Setelah selesai sarapan dan membereskan piring di depannya, Isvara berdiri sambil merapikan tas kerjanya.

“Aku berangkat kerja dulu,” ucap wanita itu sambil meraih tas kerja yang dia letakkan di dekat meja.

Alvano yang masih duduk sambil menyeruput kopi Tarakhirnya, hanya mengangguk pelan. “Kamu nggak perlu lapor atau minta izin, Isvara. Jalani aja seperti biasa. Aku nggak akan ikut campur urusan kamu, dan kamu juga nggak perlu perlu ikut campur urusanku.”

Isvara menoleh sejenak, mengamati wajah pria itu. Kalimatnya terdengar datar, tapi tak ada kesan dingin. Hanya penegasan akan jarak yang sejak awal memang mereka sepakati.

Bukankah di kontrak sudah jelas? Mereka setuju untuk menjalani hidup masing-masing, tanpa campur tangan satu sama lain.

Namun tetap saja, menurut Isvara, memberi tahu keberangkatannya ke kantor bukan soal izin. Lebih kepada bentuk kesopanan.

“Aku tahu. Walaupun kita menikah bukan karena cinta, aku tetap mau menghargai kamu sebagai suami.” Kata-kata itu keluar tanpa ragu dari bibir Isvara.

Alvano tidak langsung membalas. Hanya menatap punggung Isvara yang perlahan menjauh.

Setelah keluar dari rumah, Isvara berjalan kaki menuju halte terdekat. Udara pagi masih sejuk, menyapu pelan wajahnya. Hari ini, dia memutuskan pergi ke kantor naik bus. Seperti yang biasa dia lakukan ketika masih tinggal di rumah orang tuanya.

--

Siang itu, Isvara tengah berjalan menuju ruang meeting. Namun, langkahnya terhenti ketika melewati studio pemotretan produk untuk pemasaran. Dari dalam ruangan itu, terdengar suara keributan. Perdebatan sengit antara seorang pria dan seorang wanita.

Tanpa berniat menguping, Isvara berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. Saat mengintip ke dalam, matanya sontak membelalak.

Tara. Dan ... Livia? Bukankah dia adik dari bosnya?

"Aku nggak akan biarkan kamu menggugurkan anak kita, Liv!" suara Tara meninggi, napasnya memburu. "Kamu bisa marah, tapi ini anak kita. Kamu tidak bisa ambil keputusan sepihak."

Livia berdiri dengan rahang mengeras dan tangan terkepal. Wajahnya penuh kemarahan.

Isvara tercekat. Jadi, wanita yang dihamili Tara dan alasan dia meninggalkannya di hari pernikahan adalah Livia? Adik dari bosnya?

Tanpa sadar, map yang sedari tadi digenggam jatuh ke lantai. Suaranya cukup keras untuk menarik perhatian keduanya.

Tara langsung menoleh.

“Isvara, kamu …” kata Tara cepat, panik.

Isvara langsung memungut beberapa map yang jatuh dan bersiap untuk meninggalkan kedua orang itu. Namun, Tara lebih dulu menghalanginya.

“Telingaku masih cukup waras untuk dengar obrolan kalian,” jawab Isvara tanpa menatap Tara.

Tiba-tiba, Tara berubah ekspresi, kali ini jauh lebih tenang. Dan bahkan, ada senyuman sinis di wajahnya. “Bagus kalau kamu sadar diri. Toh, aku nggak akan mau hidup sama manusia kolot seperti kamu.”

Mendengar itu, Isvara menggertakkan giginya, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Suaranya tenang, tapi dingin. “Terserah kamu, Tara. Aku nggak peduli lagi.”

Pandangan Isvara beralih ke arah Livia yang sedang berdiri di belakang Tara. Entah kenapa, dia seolah baru saja mendapat keberanian ekstra untuk berhadapan dengan adik bosnya sendiri.

“Jangan sampai anakmu tumbuh tanpa sosok orang tua yang lengkap, terlebih itu anak hasil hubungan gelap di luar pernikahan.” Sejenak Isvara menatap Tara kembali dengan senyum sinisnya.

Livia yang sejak tadi diam, akhirnya melangkah maju. Wajahnya merah karena amarah. “Kamu bilang apa tadi?”

Plak!

Atau … seharusnya begitu.

Sebelum tangan Livia mendarat di wajah Isvara, sebuah tangan lain muncul dan menangkapnya lebih dulu. Tegas. Menahan gerakan itu tanpa ragu.

Alvano.

Livia sontak terdiam. Matanya membulat, tubuhnya membeku saat menyadari siapa yang kini berdiri di depannya.

Alvano menatap Livia dalam diam. Matanya tajam, ekspresinya datar. Beberapa detik berlalu, sebelum akhirnya pria itu bicara dengan pelan, tapi dingin.

“Sepertinya, keputusanku untuk membatalkan pernikahan kita memang tepat.”

Mendengar itu, Isvara membeku. Jadi, Livia adik dari bosnya ini sebenarnya adalah calon istri Alvano?

Livia yang mendengar itu langsung terkejut. “Al, maksud kamu apa? Kita akan tetap menikah, ‘kan?”

“Kamu pikir aku mau menikahi perempuan yang sudah hamil anak orang lain?” Alvano menatap Livia dengan dingin.

“Ini cuma salah paham, Al. Aku nggak hamil, nggak ada yang hamil di sini!” Livia masih bersikeras.

“Liv, kamu …”

“Al, aku benar-benar nggak hamil. Dia cuma bohong supaya aku nggak jadi menikah sama kamu,” potong Livia sambil terus memohon pada Alvano. Dia tidak akan membiarkan Tara bicara banyak hal di hadapan Alvano.

Alvano masih menatap Livia dengan sorot mata gelap. Tak ada sedikit pun perubahan emosi di wajahnya, seolah permohonan Livia hanya angin lalu.

Tara membuka mulut, hendak bicara, tapi Alvano mengangkat tangan, menghentikannya.

"Aku nggak peduli." Suara Alvano tenang, tapi justru ketenangan itulah yang membuat suasana terasa menakutkan. "Aku hanya nggak mau berurusan dengan orang yang bahkan nggak bisa menjaga komitmen."

Livia menggigit bibir bawahnya, wajahnya memucat.

“Al, dengarkan aku dulu—”

“Cukup, Livia,” potong Alvano. Nadanya tak mengeras, namun cukup untuk memotong napas siapa pun yang mendengarnya. “Kamu sudah membuat pilihanmu. Sekarang, aku membuat pilihanku.”

Mendengar ucapan Alvano, Isvara tanpa sadar meremas map di tangannya.

Apakah semua ini akan menyeretnya juga?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 137: Tokyo Banana

    “Emang nggak boleh kakak ketemu adiknya?” Kali ini, Isvara yang melempar balik pertanyaan.Alvano menaikkan satu alis. “Boleh, dong. Tapi tumben banget. Masa dia ngajak ketemu cuma buat ngobrol random di parkiran? Ada masalah, ‘kan?”Isvara menghela napas pendek. “Hm.”“Hm yang berarti iya, atau hm yang berarti kamu lagi nyari jawaban supaya aku nggak makin curiga?” Pria itu menyipitkan mata. “Mending kamu ngomong, atau aku yang cari tahu sendiri?”Oke. Sifat dominan CEO satu ini memang tidak pernah libur, bahkan saat video call larut malam begini. Isvara menunduk, menimbang kata-kata. Dia khawatir Alvano akan salah paham, mengira dirinya memanfaatkan hubungan mereka. Bukankah banyak istri di luar sana yang merasa sungkan membawa masalah keluarga ke suaminya?“Dia ... mau pinjam uang,” akhirnya Isvara mengaku, suaranya pelan.“Buat apa?” Alvano menatap istrinya lama.“Dia ditipu WO,” jawab Isvara, suara mengecil mirip anak sekolah yang baru ketahuan mencontek.“Hah?” Alvano mengernyi

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 136: Marah Dua Hari

    Dua hari.Tepat dua hari sejak Alvano tidak membalas satu pun pesan dari Isvara.Kini, Isvara berada di kamarnya. Duduk di ujung ranjang dengan ponsel terus dalam genggaman.Bukan tanpa usaha. Dia sudah berulang kali mengirim chat, menelepon, menunggu centang dua.Semuanya nihil. Tidak ada tanda Alvano mau menjawab.Apa sebenarnya yang terjadi?Apa mungkin ... Livia sudah menjalankan ancamannya?Dengan perasaan cemas yang makin menyesak, Isvara akhirnya mengetik lagi.[Van, aku ada salah apa? Kenapa kamu diem aja? Atau lagi sibuk banget ya?]Pesan itu terkirim, tapi lagi-lagi tak berbalas.Isvara menunduk, memejamkan mata. Mencoba menahan agar kepalanya tidak penuh dengan pikiran buruk.Sampai akhirnya, Isvara memutuskan menelepon Jefri.Setidaknya kalau bukan Alvano, mungkin asistennya bisa memberi sedikit kejelasan.Tidak butuh lama, telepon langsung diangkat. “Selamat malam, Nona.” Suara Jefri di ujung sana terdengar ramah seperti biasa.Isvara menelan ludah. “Mas Jefri ... maaf ga

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 135: Dalang

    Tepat pukul delapan pagi, semua staf sudah berkumpul di ruang rapat virtual. Monitor besar menyala, memperlihatkan wajah-wajah serius dari tim yang tersebar di berbagai divisi.Isvara duduk tegak di depan laptopnya, mengenakan blazer krem pucat. Poni depannya masih agak basah, menunjukkan betapa tergesa-gesanya pagi ini. Namun, bukan hanya Isvara yang terlihat tegang. Semua orang di ruangan itu tampak menahan napas, seakan tahu bahwa pagi ini akan menjadi panjang.Rapat kali ini berbeda. Bukan hanya tim marketing yang hadir, tapi juga tim IT dan bahkan perwakilan HRD. Dan yang paling menonjol, wajah Alvano muncul sebagai host utama di layar, sorot matanya tajam, rahangnya tampak mengeras menahan emosi.“Sudah lengkap semua?” tanya Alvano dari speaker, dingin, tegas.“Sudah, Pak,” sahut Retha cepat.“Kalau begitu, kita mulai,” ujar Alvano. Nadanya datar, tapi tekanan di tiap katanya cukup membuat satu ruangan diam membatu. “Jefri, lanjut.”Jefri menelan ludah sebelum menekan tombol di

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 134: Hari Sial

    Isvara memejamkan mata, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat.Sudah berapa hal yang harus Isvara hadapi hari ini?Konfrontasi dengan Livia, ancaman tersembunyi, kebohongan kecil untuk menjaga hati Alvano, dan sekarang … Aksara?Ini hari sial, atau bagaimana?Atau memang beginilah hidup Isvara sekarang? Rangkaian ujian tanpa ujung, yang memaksanya terus berjalan meski kakinya sudah terasa remuk.Dengan jemari yang sedikit gemetar, wanita itu mengetik balasan.[Aku lagi di Café Siena, abis janjian sama temen. Ada apa?]Balasan dari Aksara datang secepat kilat. Benar-benar khas, gaya mendesak seorang adik yang selalu saja tidak pernah sabaran.[Kebetulan aku deket situ. Aku nyusul ke sana.]Isvara menghela napas panjang. Rasanya tidak ada ruang sedikit pun untuk menolak atau menunda siapa pun malam ini. Padahal dalam hati, dia ingin sekali meminta dunia memberinya jeda barang lima menit saja untuk diam.[Oke, aku tunggu di parkiran.]Sekitar tujuh menit kemudian, motor biru yang begitu

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 133: Satu Minggu

    Satu minggu. Tujuh hari. Seratus enam puluh delapan jam. Untuk memutuskan apakah Isvara akan melepas semua ini demi menyelamatkan harga dirinya, atau mempertahankan rumah tangga yang mungkin akan hancur lebih besar lagi kalau rahasia itu terbongkar. Namun, sejak kapan hidup Isvara semudah memilih A atau B? Kini Isvara hanya bisa duduk di dalam mobilnya. Tangan di atas kemudi, tapi tidak bergerak. Mesin belum dinyalakan. Lampu jalan mulai menyala di luar sana, membiaskan bayangan ke kaca depan, tapi Isvara tidak melihat apa pun selain bayangan dirinya sendiri. Isvara memejamkan mata, menekan kening ke sandaran kursi. Helaan napasnya terdengar panjang, putus-putus. Apa yang harus perempuan itu lakukan? Apa dia benar-benar tega meninggalkan Alvano hanya karena ancaman seorang wanita yang bahkan pernah meninggalkan pria itu dulu? Tangannya terangkat pelan, menekan dada sendiri. Rasanya sesak. Dadanya berdebar kencang, bukan karena cinta, tapi karena takut. Hingga tiba-tiba layar p

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 132: Konfrontasi Livia

    [Kita janjian di Café Siena. Jam 6. Kamu jangan telat.]Isvara melihat pesan yang Livia kirimkan padanya setelah makan siang tadi. Pesan singkat, padat, tanpa basa-basi. Namun, cukup untuk membuat perutnya mual sejak siang.Dan kini, pukul enam sore, Isvara melangkah masuk ke Café Siena.Bahunya dia tegakkan, dagunya terangkat sedikit, bukan karena ingin terlihat sombong, tapi karena Isvara tahu siapa yang akan dia hadapi. Langkahnya pelan tapi mantap, seolah menahan degup jantung yang sejak tadi bekerja terlalu keras.Pandangannya langsung tertumbuk pada sosok yang sudah duduk menunggu di sudut dekat jendela.Wanita itu, dengan dress hitam ketat membungkus tubuh semampainya, lipstick merah tua membingkai senyum tipis yang lebih sering jadi pisau. Satu kakinya disilangkan tinggi-tinggi, jemarinya memainkan sedotan iced coffee tanpa benar-benar minum. Tatapannya kosong ke luar jendela, tapi senyum kecil itu muncul begitu melihat Isvara datang.Isvara mendekat, menarik kursi tanpa basa-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status