Share

Bab 5: Siapa Pria Ini?

Author: Duvessa
last update Huling Na-update: 2025-04-30 14:43:04

“Jadi, Livia yang jadi calon istrimu itu, memang Livia adik dari Pak Dylan?”

Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Isvara, yang kini duduk di ruang tengah, berhadapan dengan Alvano.

Di sana, Alvano tengah sibuk menatap tablet di tangannya. Setelah kejadian di kantor Isvara tadi siang, mereka memilih menyelesaikan pekerjaan masing-masing sebelum pulang. Tentu saja mereka tidak pulang bersama. Alvano dengan mobilnya, sementara Isvara naik bus seperti biasa. Tidak mungkin juga mereka pulang bersama, ‘kan?

Alvano menoleh, mengangkat wajahnya sebentar, lalu mengangguk singkat. Pria itu tidak mengucap sepatah kata pun, tapi anggukan itu cukup menjawab semua yang belum terucap sejak insiden di studio siang tadi.

Isvara menatap pria di depannya beberapa saat, lalu menunduk. Entah perasaan apa yang muncul lebih dulu. Lega karena akhirnya tahu, atau justru sesak karena semua keterkaitan itu terlalu rumit untuk diurai.

Melihat Isvara terdiam, Alvano akhirnya memutuskan untuk memecah keheningan.

“Jadi, pria itu mantan calon suamimu?” tanya Alvano datar.

Isvara mengangkat wajah, lalu mengangguk. “Iya. Dia pria yang meninggalkanku tepat di hari pernikahan. Dan sekarang … aku baru tahu siapa wanita yang dia hamili.”

Betapa ironis. Mereka berdua gagal menikah dengan pasangan pilihan masing-masing, justru karena calon mereka saling terikat satu sama lain.

Sunyi mendesak di antara mereka.

Alvano hanya menatap wanita di hadapannya. Pandangannya tenang, seolah sedang membaca isi hati Isvara.

Saat mata mereka bersitatap, sesuatu dalam dada Isvara terasa mengganggu. Dia buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerang.

Kenapa pria itu harus menatapnya seperti itu?

Di antara rasa canggung yang masih merayap, Isvara akhirnya membuka suara, nyaris berbisik, “A-anu, boleh aku minta satu hal?”

“Hm?”

“Untuk sementara … bisakah kita merahasiakan pernikahan ini dari tempat kerjaku?”

Alvano sedikit mengernyit. “Kenapa?” Nadanya terdengar penasaran, bukan menolak. Baginya, tidak ada alasan untuk menyembunyikan hal semacam itu.

Isvara menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma ... merasa nggak nyaman. Orang-orang mungkin masih mengira Livia calon istrimu. Kalau tahu aku menikah denganmu, mereka bisa salah paham. Bisa jadi bahan omongan.”

“Apalagi ... kakaknya Livia itu bosku. Kalau sampai Pak Dylan tahu aku menikah denganmu, aku takut dia pikir aku punya tujuan lain. Aku nggak mau dinilai macam-macam. Aku juga nggak mau kehilangan pekerjaanku hanya karena kesalahpahaman.” Isvara menunduk sedikit. Ucapannya terputus, tapi cukup jelas.

Tentu saja wanita itu takut kehilangan pekerjaannya. Pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan. Tidak ada jaminan. Tidak ada masa depan yang pasti. Kalau sampai pekerjaannya hilang hanya karena statusnya sebagai ‘istri kontrak’ Alvano … apa lagi yang bisa dia andalkan untuk menghidupi dirinya sendiri?

Namun, alih-alih menunjukkan keberatan atau mengajukan syarat, Alvano justru mengangguk pelan. “Oke, aku setuju.”

Isvara menoleh, nyaris tak percaya. Pria ini setuju begitu saja? Tanpa pertanyaan? Tanpa klarifikasi?

"Ngomong-ngomong, kamu kerja di bagian apa di Dermavia Labs?" tanya Alvano mendadak. Terdengar datar, tapi sorot matanya terlalu serius untuk sekadar basa-basi.

"Staf marketing," jawab Isvara, setengah ragu.

"Berarti kamu cukup tahu soal strategi dan pergerakan produk mereka, ‘kan?" Alvano bersandar santai ke sandaran kursi, memperhatikan Isvara dengan tenang.

Isvara sempat mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dia tahu. Selama empat tahun bekerja di Dermavia Labs, dia ikut terlibat dalam banyak kampanye pemasaran. Memang hanya staf biasa, tapi cukup sering hadir dalam rapat-rapat lintas tim. Informasi seperti itu sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.

"Tentu saja. Memangnya kenapa?" tanya Isvara heran.

"Waktu itu kamu bilang mau balas budi, ‘kan?" Alvano menyilangkan tangan di depan dada, pandangannya lurus, tak sedikit pun bergeser dari wajah Isvara.

Isvara mengangguk pelan. Hatinya mulai terasa tidak enak.

Kenapa pria ini tiba-tiba membahas soal balas budi? Padahal baru saja bertanya tentang pekerjaannya.

Apa sebenarnya yang Alvano inginkan darinya?

Namun, Isvara hanya diam, menunggu kelanjutannya.

"Kalau kamu memang serius ingin balas budi," kali ini Alvano mencondongkan tubuh ke depan, "aku mau minta bantuan kecil."

"Bantuan apa?" tanya Isvara hati-hati, rasa waspada mulai tumbuh dalam dirinya.

"Aku butuh kamu untuk mencari beberapa informasi pemasaran," ucap Alvano, suaranya tetap tenang, seolah-olah permintaan itu adalah hal yang biasa.

Isvara membeku. Tatapannya terpaku pada pria di depannya.

Mencari informasi pemasaran?

"Kenapa ... kenapa kamu butuh informasi itu?" tanya Isvara, berusaha menjaga suaranya tetap netral.

Alvano diam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan perlahan, dia mencondongkan tubuh lebih dekat.

"Aku cuma mau tahu produk apa yang sedang mereka kembangkan," kata Alvano santai, seolah itu bukan sesuatu yang serius. Padahal bagi Isvara, itu terdengar sama saja dengan mengkhianati perusahaan tempatnya bekerja.

Isvara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelombang emosi yang bergejolak.

"Kalau kamu menyuruhku memata-matai kantorku sendiri ..." Isvara menarik napas dalam. "Maaf, aku nggak bisa," tegasnya.

Seulas senyum tipis muncul di sudut bibir Alvano, seperti sudah menduga jawaban itu. Namun, pria itu belum menyerah.

"Kamu tahu," kata Alvano pelan, "banyak ide besar di Dermavia itu bukan murni milik mereka. Mereka menjiplak konsep yang sebenarnya adalah hak milik perusahaan kami. Tanpa izin. Tanpa etik. Aku cuma ingin tahu kebenarannya. Bukan untuk menjatuhkan siapa pun."

Isvara terdiam. Otaknya bekerja keras mencerna kata-kata itu.

Perusahaan kami?

"Maaf ... memangnya kamu dari perusahaan mana?" tanya Isvara hati-hati, berusaha menahan kegugupan.

Alvano menatapnya singkat sebelum menjawab, "Valora Group."

Isvara langsung terdiam. Napasnya sempat tertahan sejenak.

Valora Group?

Valora Group adalah perusahaan raksasa. Pemimpin industri kecantikan terbesar di negeri ini, dengan jaringan bisnis yang menjangkau sampai mancanegara. Nama yang dia dengar hampir setiap hari di dunia marketing.

Pantas saja pria itu punya rumah mewah, mobil mahal, terlihat rapi dan teratur. Namun … Valora Group?

Isvara menelan ludahnya diam-diam.

‘Pasti dia punya jabatan tinggi,’ pikir Isvara.

Namun, Isvara memilih tidak terlalu memikirkannya. Lagi pula, untuk apa dia tahu lebih jauh soal hidup pria itu?

Toh, mereka hanya pasangan kontrak, ‘kan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
nu bogana isvaraaaa
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
persaingan tak sehat nih di perusahaan kamu . ternyata ide nya mencuri dari perusahaan lain
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 331: Program

    “Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 330: Mungkin

    Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 329: Punya Adik?

    Isvara masih ingat betul, waktu itu Adisty bilang usia kandungannya baru lima minggu. Dan kini, tahu-tahu sudah melahirkan saja. Waktu memang berjalan seperti tergesa-gesa, terutama ketika hidup mulai terasa tenang.“Mommy, Lingga punya adik, ya?” tanya Avanira. Rambut panjangnya yang mulai menyentuh punggung diikat dua, dan hari ini dia sudah siap dengan kaus bergambar bunga serta celana pendek favoritnya.Sudah lama Avanira tidak membawa boneka dari Renjiro yang dulu ke mana-mana menemaninya. Gadis kecil itu bilang bahwa dia akan segera masuk SD, dan malu kalau masih membawa boneka ke mana-mana.“Iya, Princess. Nanti setelah sarapan kita ke rumah Aunty Adisty, ya? Kita lihat dedek bayinya.” Isvara menyodorkan roti ke arah putrinya, lalu ke arah Avanil yang sedang meneguk susu dengan khusyuk seperti sedang rapat penting.“Yeay!” seru Avanira girang.“Mommy, kita ke sananya jalan kaki aja, ya?” sahut Avanil cepat, suaranya penuh semangat. “Aku mau sambil bawa bola, terus biar bisa nend

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 328: Monster Kecil

    Bibir Alvano menuruni wajah Isvara, mengecup kening, pipi, hingga akhirnya menemukan bibir itu lagi. Ciuman mereka panas tapi manis, dalam tapi penuh kasih. Setiap geseran tubuh terasa seperti puisi yang ditulis dengan napas, lambat, berat, dan menggetarkan.Tangan kanan Alvano menahan paha istrinya, menjaga ritme mereka tetap seimbang. Sementara tangan kirinya menjelajahi lekuk tubuh yang sudah dia hafal tapi tak pernah dia bosan jelajahi. Dia menelusuri punggung, sisi pinggang, hingga perut yang pernah menyimpan luka dan keajaiban sekaligus.“Ra …” bisiknya di sela helaan napas, “Kamu tahu nggak, ini tempat paling aman buatku.”Isvara menatapnya dari bawah, matanya berkaca, senyumnya tipis namun penuh cinta. Tak ada kata yang bisa dia balas selain genggaman tangannya di pipi Alvano, lembut tapi menggetarkan.Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya puncak nirwana itu datang. Sebuah ledakan lembut yang membuat napas mereka berhenti bersamaan. Isvara merintih, sementara Alvano hanya b

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 327: Boleh?

    Alvano memutar keran shower, dan suara air yang jatuh dari atas terdengar menenangkan di antara desah napas mereka. Dia menoleh, menatap Isvara yang perlahan menanggalkan kain terakhir yang menempel di tubuhnya.Air mulai mengalir dari kepala mereka, menuruni bahu, menurunkan suhu tegang yang sejak tadi menggantung di udara.“Aku bantu bersihin jahitannya, boleh?” tanya Alvano meminta izin.Isvara sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. Ada sesuatu di tatapan suaminya, bukan keinginan yang tergesa, melainkan rasa hormat yang membuatnya merasa aman, seolah seluruh dirinya diterima tanpa syarat.Alvano mengambil handuk kecil, lalu menyapukannya perlahan di kulit perut Isvara. Gerakannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah yang disentuhnya bukan luka, melainkan sesuatu yang suci. Saat tangannya berhenti di dekat bekas sayatan operasi yang sudah menutup sempurna, dia menunduk.“Nggak nyeri?” tanya Alvano rendah.Isvara menggeleng. “Udah nggak. Cuma kadang masih takut aja.”Alvano tida

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 326: Sepasang Kekasih

    “Untuk aktivitas suami istri, sekarang sudah boleh dilakukan, asal tidak berlebihan dan tetap perhatikan kondisi luka, ya.”Kalimat dari dokter Ratna itu terdengar biasa saja di ruang praktik. Tapi di telinga Alvano? Itu seperti pengumuman pembebasan setelah dua bulan masa tahanan suci. Senyum menahan diri di wajahnya nyaris berubah jadi sorak sorai kalau saja dia tidak sedang duduk di hadapan sang dokter.Begitu keluar dari ruang praktik, Alvano masih menahan senyum di wajahnya. “Kamu dengar sendiri, ‘kan?”Isvara melirik geli, tahu betul arah pikirannya. “Mas, tolong jaga ekspresinya. Kita masih di rumah sakit.”“Ekspresi bahagia dilarang, ya? Soalnya dokter barusan nyelametin pernikahan kita,” balas Alvano santai.Mereka berjalan beriringan menuju area parkir.Dari luar, mungkin orang akan mengira keduanya sepasang kekasih yang baru saja resmi jadian.Isvara mengenakan dress bermotif bunga lembut yang bergoyang pelan tertiup angin sore. Sementara Alvano tampil sederhana dengan kaus

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status