“Jadi, Livia yang jadi calon istrimu itu, memang Livia adik dari Pak Dylan?”
Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Isvara, yang kini duduk di ruang tengah, berhadapan dengan Alvano.
Di sana, Alvano tengah sibuk menatap tablet di tangannya. Setelah kejadian di kantor Isvara tadi siang, mereka memilih menyelesaikan pekerjaan masing-masing sebelum pulang. Tentu saja mereka tidak pulang bersama. Alvano dengan mobilnya, sementara Isvara naik bus seperti biasa. Tidak mungkin juga mereka pulang bersama, ‘kan?
Alvano menoleh, mengangkat wajahnya sebentar, lalu mengangguk singkat. Pria itu tidak mengucap sepatah kata pun, tapi anggukan itu cukup menjawab semua yang belum terucap sejak insiden di studio siang tadi.
Isvara menatap pria di depannya beberapa saat, lalu menunduk. Entah perasaan apa yang muncul lebih dulu. Lega karena akhirnya tahu, atau justru sesak karena semua keterkaitan itu terlalu rumit untuk diurai.
Melihat Isvara terdiam, Alvano akhirnya memutuskan untuk memecah keheningan.
“Jadi, pria itu mantan calon suamimu?” tanya Alvano datar.
Isvara mengangkat wajah, lalu mengangguk. “Iya. Dia pria yang meninggalkanku tepat di hari pernikahan. Dan sekarang … aku baru tahu siapa wanita yang dia hamili.”
Betapa ironis. Mereka berdua gagal menikah dengan pasangan pilihan masing-masing, justru karena calon mereka saling terikat satu sama lain.
Sunyi mendesak di antara mereka.
Alvano hanya menatap wanita di hadapannya. Pandangannya tenang, seolah sedang membaca isi hati Isvara.
Saat mata mereka bersitatap, sesuatu dalam dada Isvara terasa mengganggu. Dia buru-buru memalingkan wajah, menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerang.
Kenapa pria itu harus menatapnya seperti itu?
Di antara rasa canggung yang masih merayap, Isvara akhirnya membuka suara, nyaris berbisik, “A-anu, boleh aku minta satu hal?”
“Hm?”
“Untuk sementara … bisakah kita merahasiakan pernikahan ini dari tempat kerjaku?”
Alvano sedikit mengernyit. “Kenapa?” Nadanya terdengar penasaran, bukan menolak. Baginya, tidak ada alasan untuk menyembunyikan hal semacam itu.
Isvara menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma ... merasa nggak nyaman. Orang-orang mungkin masih mengira Livia calon istrimu. Kalau tahu aku menikah denganmu, mereka bisa salah paham. Bisa jadi bahan omongan.”
“Apalagi ... kakaknya Livia itu bosku. Kalau sampai Pak Dylan tahu aku menikah denganmu, aku takut dia pikir aku punya tujuan lain. Aku nggak mau dinilai macam-macam. Aku juga nggak mau kehilangan pekerjaanku hanya karena kesalahpahaman.” Isvara menunduk sedikit. Ucapannya terputus, tapi cukup jelas.
Tentu saja wanita itu takut kehilangan pekerjaannya. Pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan. Tidak ada jaminan. Tidak ada masa depan yang pasti. Kalau sampai pekerjaannya hilang hanya karena statusnya sebagai ‘istri kontrak’ Alvano … apa lagi yang bisa dia andalkan untuk menghidupi dirinya sendiri?
Namun, alih-alih menunjukkan keberatan atau mengajukan syarat, Alvano justru mengangguk pelan. “Oke, aku setuju.”
Isvara menoleh, nyaris tak percaya. Pria ini setuju begitu saja? Tanpa pertanyaan? Tanpa klarifikasi?
"Ngomong-ngomong, kamu kerja di bagian apa di Dermavia Labs?" tanya Alvano mendadak. Terdengar datar, tapi sorot matanya terlalu serius untuk sekadar basa-basi.
"Staf marketing," jawab Isvara, setengah ragu.
"Berarti kamu cukup tahu soal strategi dan pergerakan produk mereka, ‘kan?" Alvano bersandar santai ke sandaran kursi, memperhatikan Isvara dengan tenang.
Isvara sempat mengerutkan dahi. Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dia tahu. Selama empat tahun bekerja di Dermavia Labs, dia ikut terlibat dalam banyak kampanye pemasaran. Memang hanya staf biasa, tapi cukup sering hadir dalam rapat-rapat lintas tim. Informasi seperti itu sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.
"Tentu saja. Memangnya kenapa?" tanya Isvara heran.
"Waktu itu kamu bilang mau balas budi, ‘kan?" Alvano menyilangkan tangan di depan dada, pandangannya lurus, tak sedikit pun bergeser dari wajah Isvara.
Isvara mengangguk pelan. Hatinya mulai terasa tidak enak.
Kenapa pria ini tiba-tiba membahas soal balas budi? Padahal baru saja bertanya tentang pekerjaannya.
Apa sebenarnya yang Alvano inginkan darinya?
Namun, Isvara hanya diam, menunggu kelanjutannya.
"Kalau kamu memang serius ingin balas budi," kali ini Alvano mencondongkan tubuh ke depan, "aku mau minta bantuan kecil."
"Bantuan apa?" tanya Isvara hati-hati, rasa waspada mulai tumbuh dalam dirinya.
"Aku butuh kamu untuk mencari beberapa informasi pemasaran," ucap Alvano, suaranya tetap tenang, seolah-olah permintaan itu adalah hal yang biasa.
Isvara membeku. Tatapannya terpaku pada pria di depannya.
Mencari informasi pemasaran?
"Kenapa ... kenapa kamu butuh informasi itu?" tanya Isvara, berusaha menjaga suaranya tetap netral.
Alvano diam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan perlahan, dia mencondongkan tubuh lebih dekat.
"Aku cuma mau tahu produk apa yang sedang mereka kembangkan," kata Alvano santai, seolah itu bukan sesuatu yang serius. Padahal bagi Isvara, itu terdengar sama saja dengan mengkhianati perusahaan tempatnya bekerja.
Isvara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelombang emosi yang bergejolak.
"Kalau kamu menyuruhku memata-matai kantorku sendiri ..." Isvara menarik napas dalam. "Maaf, aku nggak bisa," tegasnya.
Seulas senyum tipis muncul di sudut bibir Alvano, seperti sudah menduga jawaban itu. Namun, pria itu belum menyerah.
"Kamu tahu," kata Alvano pelan, "banyak ide besar di Dermavia itu bukan murni milik mereka. Mereka menjiplak konsep yang sebenarnya adalah hak milik perusahaan kami. Tanpa izin. Tanpa etik. Aku cuma ingin tahu kebenarannya. Bukan untuk menjatuhkan siapa pun."
Isvara terdiam. Otaknya bekerja keras mencerna kata-kata itu.
Perusahaan kami?
"Maaf ... memangnya kamu dari perusahaan mana?" tanya Isvara hati-hati, berusaha menahan kegugupan.
Alvano menatapnya singkat sebelum menjawab, "Valora Group."
Isvara langsung terdiam. Napasnya sempat tertahan sejenak.
Valora Group?
Valora Group adalah perusahaan raksasa. Pemimpin industri kecantikan terbesar di negeri ini, dengan jaringan bisnis yang menjangkau sampai mancanegara. Nama yang dia dengar hampir setiap hari di dunia marketing.
Pantas saja pria itu punya rumah mewah, mobil mahal, terlihat rapi dan teratur. Namun … Valora Group?
Isvara menelan ludahnya diam-diam.
‘Pasti dia punya jabatan tinggi,’ pikir Isvara.
Namun, Isvara memilih tidak terlalu memikirkannya. Lagi pula, untuk apa dia tahu lebih jauh soal hidup pria itu?
Toh, mereka hanya pasangan kontrak, ‘kan?
“Emang nggak boleh kakak ketemu adiknya?” Kali ini, Isvara yang melempar balik pertanyaan.Alvano menaikkan satu alis. “Boleh, dong. Tapi tumben banget. Masa dia ngajak ketemu cuma buat ngobrol random di parkiran? Ada masalah, ‘kan?”Isvara menghela napas pendek. “Hm.”“Hm yang berarti iya, atau hm yang berarti kamu lagi nyari jawaban supaya aku nggak makin curiga?” Pria itu menyipitkan mata. “Mending kamu ngomong, atau aku yang cari tahu sendiri?”Oke. Sifat dominan CEO satu ini memang tidak pernah libur, bahkan saat video call larut malam begini. Isvara menunduk, menimbang kata-kata. Dia khawatir Alvano akan salah paham, mengira dirinya memanfaatkan hubungan mereka. Bukankah banyak istri di luar sana yang merasa sungkan membawa masalah keluarga ke suaminya?“Dia ... mau pinjam uang,” akhirnya Isvara mengaku, suaranya pelan.“Buat apa?” Alvano menatap istrinya lama.“Dia ditipu WO,” jawab Isvara, suara mengecil mirip anak sekolah yang baru ketahuan mencontek.“Hah?” Alvano mengernyi
Dua hari.Tepat dua hari sejak Alvano tidak membalas satu pun pesan dari Isvara.Kini, Isvara berada di kamarnya. Duduk di ujung ranjang dengan ponsel terus dalam genggaman.Bukan tanpa usaha. Dia sudah berulang kali mengirim chat, menelepon, menunggu centang dua.Semuanya nihil. Tidak ada tanda Alvano mau menjawab.Apa sebenarnya yang terjadi?Apa mungkin ... Livia sudah menjalankan ancamannya?Dengan perasaan cemas yang makin menyesak, Isvara akhirnya mengetik lagi.[Van, aku ada salah apa? Kenapa kamu diem aja? Atau lagi sibuk banget ya?]Pesan itu terkirim, tapi lagi-lagi tak berbalas.Isvara menunduk, memejamkan mata. Mencoba menahan agar kepalanya tidak penuh dengan pikiran buruk.Sampai akhirnya, Isvara memutuskan menelepon Jefri.Setidaknya kalau bukan Alvano, mungkin asistennya bisa memberi sedikit kejelasan.Tidak butuh lama, telepon langsung diangkat. “Selamat malam, Nona.” Suara Jefri di ujung sana terdengar ramah seperti biasa.Isvara menelan ludah. “Mas Jefri ... maaf ga
Tepat pukul delapan pagi, semua staf sudah berkumpul di ruang rapat virtual. Monitor besar menyala, memperlihatkan wajah-wajah serius dari tim yang tersebar di berbagai divisi.Isvara duduk tegak di depan laptopnya, mengenakan blazer krem pucat. Poni depannya masih agak basah, menunjukkan betapa tergesa-gesanya pagi ini. Namun, bukan hanya Isvara yang terlihat tegang. Semua orang di ruangan itu tampak menahan napas, seakan tahu bahwa pagi ini akan menjadi panjang.Rapat kali ini berbeda. Bukan hanya tim marketing yang hadir, tapi juga tim IT dan bahkan perwakilan HRD. Dan yang paling menonjol, wajah Alvano muncul sebagai host utama di layar, sorot matanya tajam, rahangnya tampak mengeras menahan emosi.“Sudah lengkap semua?” tanya Alvano dari speaker, dingin, tegas.“Sudah, Pak,” sahut Retha cepat.“Kalau begitu, kita mulai,” ujar Alvano. Nadanya datar, tapi tekanan di tiap katanya cukup membuat satu ruangan diam membatu. “Jefri, lanjut.”Jefri menelan ludah sebelum menekan tombol di
Isvara memejamkan mata, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat.Sudah berapa hal yang harus Isvara hadapi hari ini?Konfrontasi dengan Livia, ancaman tersembunyi, kebohongan kecil untuk menjaga hati Alvano, dan sekarang … Aksara?Ini hari sial, atau bagaimana?Atau memang beginilah hidup Isvara sekarang? Rangkaian ujian tanpa ujung, yang memaksanya terus berjalan meski kakinya sudah terasa remuk.Dengan jemari yang sedikit gemetar, wanita itu mengetik balasan.[Aku lagi di Café Siena, abis janjian sama temen. Ada apa?]Balasan dari Aksara datang secepat kilat. Benar-benar khas, gaya mendesak seorang adik yang selalu saja tidak pernah sabaran.[Kebetulan aku deket situ. Aku nyusul ke sana.]Isvara menghela napas panjang. Rasanya tidak ada ruang sedikit pun untuk menolak atau menunda siapa pun malam ini. Padahal dalam hati, dia ingin sekali meminta dunia memberinya jeda barang lima menit saja untuk diam.[Oke, aku tunggu di parkiran.]Sekitar tujuh menit kemudian, motor biru yang begitu
Satu minggu. Tujuh hari. Seratus enam puluh delapan jam. Untuk memutuskan apakah Isvara akan melepas semua ini demi menyelamatkan harga dirinya, atau mempertahankan rumah tangga yang mungkin akan hancur lebih besar lagi kalau rahasia itu terbongkar. Namun, sejak kapan hidup Isvara semudah memilih A atau B? Kini Isvara hanya bisa duduk di dalam mobilnya. Tangan di atas kemudi, tapi tidak bergerak. Mesin belum dinyalakan. Lampu jalan mulai menyala di luar sana, membiaskan bayangan ke kaca depan, tapi Isvara tidak melihat apa pun selain bayangan dirinya sendiri. Isvara memejamkan mata, menekan kening ke sandaran kursi. Helaan napasnya terdengar panjang, putus-putus. Apa yang harus perempuan itu lakukan? Apa dia benar-benar tega meninggalkan Alvano hanya karena ancaman seorang wanita yang bahkan pernah meninggalkan pria itu dulu? Tangannya terangkat pelan, menekan dada sendiri. Rasanya sesak. Dadanya berdebar kencang, bukan karena cinta, tapi karena takut. Hingga tiba-tiba layar p
[Kita janjian di Café Siena. Jam 6. Kamu jangan telat.]Isvara melihat pesan yang Livia kirimkan padanya setelah makan siang tadi. Pesan singkat, padat, tanpa basa-basi. Namun, cukup untuk membuat perutnya mual sejak siang.Dan kini, pukul enam sore, Isvara melangkah masuk ke Café Siena.Bahunya dia tegakkan, dagunya terangkat sedikit, bukan karena ingin terlihat sombong, tapi karena Isvara tahu siapa yang akan dia hadapi. Langkahnya pelan tapi mantap, seolah menahan degup jantung yang sejak tadi bekerja terlalu keras.Pandangannya langsung tertumbuk pada sosok yang sudah duduk menunggu di sudut dekat jendela.Wanita itu, dengan dress hitam ketat membungkus tubuh semampainya, lipstick merah tua membingkai senyum tipis yang lebih sering jadi pisau. Satu kakinya disilangkan tinggi-tinggi, jemarinya memainkan sedotan iced coffee tanpa benar-benar minum. Tatapannya kosong ke luar jendela, tapi senyum kecil itu muncul begitu melihat Isvara datang.Isvara mendekat, menarik kursi tanpa basa-b