"Maaf, hari ini terlalu banyak pekerjaan," kata Alvano singkat.
Isvara mengangguk pelan, berusaha menanggapi. Namun, pikirannya terlalu sibuk memperhatikan sekitar. Saat melangkah keluar dari mobil dan mengikuti Alvano menuju pintu masuk, matanya terus menelusuri setiap sudut rumah itu. Dinding-dindingnya mulus, bersih tanpa banyak ornamen. Namun, setiap detail, mulai dari gagang pintu, taman kecil di samping teras, hingga lampu gantung di dalam, semuanya terkesan mahal. Begitu pintu rumah terbuka, Isvara hampir menahan napas. Interiornya luas, lega, dan tetap bergaya minimalis. Lantai marmer mengkilap, sofa abu-abu besar di ruang tamu, dan rak buku tinggi dengan koleksi yang tampaknya benar-benar dibaca, bukan sekadar pajangan. Tak ada kemewahan berlebihan seperti emas-emas mencolok, namun justru itu yang membuat rumah ini terasa berkelas. Isvara berdiri kaku di depan pintu, merasa seolah baru saja melangkah ke dunia lain. Dalam hatinya, suara kecil berbisik getir, ‘Ternyata pria yang aku tarik asal-asalan buat nikah ini … orang kaya, ya.’ Dia tersenyum tipis, setengah tak percaya, juga merasa bodoh. "Masuklah," kata Alvano, membuyarkan lamunannya. Nada suaranya lebih lembut, seolah sadar betapa canggung situasi ini. Isvara melangkah masuk, membiarkan dirinya ditelan oleh kehangatan rumah asing itu. Tidak satu pun dari mereka yang membuka suara. Isvara menunduk, sementara Alvano hanya diam dengan tatapan mengarah ke dinding, seolah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya yang ruwet. Sejenak Alvano mengalihkan pandangannya pada Isvara. Entah apa yang dipikirkan, sorot matanya menunjukkan seperti sedang mencocokkan sesuatu, kemudian menggeleng pelan. Beberapa detik berlalu, akhirnya Alvano berdiri dan berjalan menuju tangga. “Aku tunjukkan kamarmu,” ucap pria itu singkat. Isvara mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah pria itu dalam diam. Langkah mereka menggema pelan di lantai marmer, melewati lukisan-lukisan besar dan deretan foto keluarga yang tergantung rapi di dinding. Semua barang di sini tampak berkelas. Setibanya di depan sebuah pintu berwarna putih gading, Alvano membukanya dan mempersilakan Isvara masuk. Kamarnya luas, nyaris dua kali ukuran kamar milik Isvara di rumah orang tuanya. Tempat tidur besar dengan seprai putih bersih mendominasi ruangan, disandingkan lemari pakaian tinggi dan jendela besar dengan tirai tebal berwarna kelabu. “Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja ke Mbak Wati. Kamarnya di belakang dapur,” kata Alvano datar, tanpa menoleh. Isvara hanya mengangguk lagi. Saat suara langkah kaki Alvano menjauh, dia baru perlahan-lahan meletakkan tas dan kopernya di kursi dekat jendela. Saat duduk di tepi kasur, Isvara mengusap wajahnya yang sudah mulai terasa panas. Ada perasaan ganjil yang menggelayut di dadanya. Bukan hanya gugup, tapi juga penyesalan yang samar-samar mulai muncul ke permukaan. Seketika dadanya terasa berat. Apa yang sedang dia lakukan? Tangannya mengepal tanpa sadar. Tadi pagi dia masih duduk di KUA dengan perasaan panik dan marah karena Tara tidak muncul. Lalu, semuanya berubah begitu cepat. Keputusan impulsif yang saat itu terasa logis, kini perlahan kehilangan bentuknya. Bagaimana mungkin dia bisa cocok tinggal di rumah sebesar ini? Bersama pria yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik, dari dunia yang sepenuhnya asing baginya? Isvara menarik napas panjang. Ada rasa malu yang mengendap di dada. Mungkin dia terlalu naif, terlalu cepat menarik Alvano ke dalam kekacauan hidupnya, hanya karena sama-sama dikhianati. Namun saat itu, dia tidak tahu kalau perbedaan di antara mereka akan terasa sejauh ini. Isvara menatap pintu yang kini tertutup rapat. Baru beberapa jam menikah, dan segalanya sudah terasa salah. Ketukan pelan di pintu membuat Isvara tersentak. Dia buru-buru mengusap wajah, merapikan duduknya seolah takut ketahuan sedang tenggelam dalam kekalutan sendiri. Pintu terbuka tanpa suara. Alvano berdiri di ambang pintu, wajahnya tetap datar seperti biasa. "Aku mau bahas sesuatu. Ikut aku ke ruang kerja," ucap pria itu singkat. Lagi-lagi, Isvara hanya bisa mengangguk. Dia bangkit dan tentu saja mengikuti pria itu. Ketika sampai di ujung lorong sebelah kiri, Alvano membuka pintu ruang kerja yang temaram namun tertata rapi. Rak buku tinggi menjulang, meja kerja besar dengan tumpukan dokumen rapi, dan sebuah sofa mengisi sisi ruangan yang lain. “Duduklah,” ujar Alvano, mengambil map coklat dari atas meja dan duduk di kursi seberang wanita itu. Isvara menuruti. Hatinya mulai berdebar, takut kalau-kalau akan ada klausul rumit yang tidak bisa dia penuhi. “Ini kontraknya,” ucap Alvano sambil membuka map di hadapannya dengan tenang, seolah yang mereka bicarakan hanyalah urusan bisnis biasa. Pria itu menyodorkan selembar dokumen dan sebuah pena ke arah Isvara. Isvara menerimanya dan mulai membaca cepat. Matanya menyapu baris demi baris dengan cermat. Isinya tidak rumit, bahkan terkesan ... adil. Tidak ada larangan keras, tidak ada ancaman. Intinya, mereka sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Pernikahan ini bersifat sementara, dan akan berakhir dalam satu tahun. Tidak ada keterikatan, tidak ada tuntutan. Isvara menelan ludah pelan. Ada kelegaan yang perlahan merayap di dada. Setidaknya, semuanya tidak seburuk yang dia bayangkan. Setidaknya, Alvano masih memberinya ruang untuk bernapas. “Satu tahun?” gumam Isvara pelan. Alvano mengangguk sekali. Tegas dan singkat, seperti biasa. “Tandatangani kalau kamu setuju.” Isvara terdiam sesaat, menatap lembaran kertas di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengambil pena dan menandatangani dokumen di tempat yang sudah ditandai. Tangannya sedikit gemetar, tapi satu tarikan napas cukup untuk menuntaskannya. Alvano mengambil kembali dokumen itu, menandatanganinya tanpa ragu, lalu menyelipkannya kembali ke dalam map. Pria itu berdiri sejenak, lalu mengambil map dari meja dan kembali duduk di balik kursi kerjanya. “Kamu bisa kembali ke kamar,” ucap pria itu tanpa menoleh. Isvara tidak langsung bergerak. Matanya masih tertuju pada pria itu, seseorang yang kini sah menjadi suaminya, tetapi terasa begitu jauh. Seolah percakapan barusan hanya urusan bisnis biasa. Tak ada pertanyaan. Tak ada penjelasan. Hanya satu kontrak, satu tahun. “Baik,” ucap wanita itu pelan sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan itu. ___ Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi ketika aroma roti panggang dan kopi hangat memenuhi ruang makan rumah Alvano. Suasananya tenang. Hanya denting sendok yang sesekali menyentuh piring menjadi latar dari percakapan yang masih terasa canggung. Isvara duduk berseberangan dengan Alvano. Pandangannya sempat tertahan pada pria itu. Rambutnya masih sedikit acak, basah sisa mandi. Kemeja putih yang digulung hingga siku membuatnya tampak santai, tapi tetap rapi. Dan … entah kenapa, terlihat lebih menarik? Isvara cepat-cepat menunduk, meneguk air putih yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan. Kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang? “Aku pikir … aku bisa bantu urus rumah,” ucap Isvara akhirnya, berusaha terdengar biasa. “Dan juga, soal kebutuhan rumah tangga, aku bisa ikut tanggung. Meskipun tidak banyak, tapi aku tetap ingin—” “Nggak usah,” potong Alvano tanpa mengangkat wajah dari piringnya. “Rumah ini sudah diurus asisten. Kamu tidak perlu repot atau keluar uang buat hal-hal begitu.” “Aku nggak enak,” gumam Isvara kemudian, lebih lirih. “Kamu sudah banyak menolongku. Dan aku, nggak bisa hanya duduk diam dan membiarkan semua ini terjadi tanpa berbuat apa-apa.” Alvano akhirnya menatapnya. Tatapan itu membuat Isvara seketika lupa napasnya sendiri. Mata pria itu tajam, tapi tidak menakutkan. Tenang, tapi tidak dingin. Seolah bicara dengan bahasa yang tidak perlu diucapkan. “Kamu di sini bukan untuk bayar utang, Isvara.”Retha tampak terkejut. “Tapi, Pak—”“Kenapa? Kamu tidak terima?” potong Alvano, tatapannya tajam.Jelas Retha tidak terima. Harusnya bawahannya yang mengerjakan semua ini. Kenapa justru dia yang diminta untuk merevisi semuanya?!Namun, tentu saja Retha tidak berani berkomentar. Dia tahu betul sifat bosnya—sekali memberi perintah, tidak ada yang bisa menyanggahnya.“T-tidak, Pak. Saya akan revisi secepatnya.”Alvano kembali menatap layar tablet di depannya. “Kita lanjut.”Rapat berlanjut seperti biasa, tapi energi dalam ruangan sudah berubah. Beberapa orang tampak lebih berhati-hati saat menyampaikan pendapat. Yang lain sibuk mencatat poin penting, tidak ingin terlihat lengah. Sementara Isvara hanya duduk diam, sesekali menatap layar laptop, sesekali mencuri pandang ke arah pria di ujung meja.Tidak ada satu pun yang menyinggung kembali soal insiden tadi.Hingga akhirnya, Alvano menutup sesi dengan singkat.“Baik. Meeting cukup sampai sini. Semua tolong kirim update sebelum jam lima.”
Selama ini, Isvara terlalu sibuk menjaga jarak. Terlalu sibuk menata ulang hidupnya yang tiba-tiba berubah drastis, sampai-sampai lupa bertanya siapa sebenarnya orang yang kini jadi suaminya. Bahkan setelah tinggal satu atap, percakapan mereka nyaris tidak pernah menyentuh hal-hal pribadi. “Aku kira kamu …” Isvara menggigit bibir bawahnya. “Iya, aku kira kamu orang kaya biasa.”Alih-alih menjawab, Alvano hanya tersenyum tipis.Isvara menghela napas panjang. “Aku kaget, Van. Gimana aku nggak kaget, kamu itu—bosku sekarang. Bahkan turun langsung ke proyekku.”Van?Panggilan itu menggema di kepala Alvano. Baru pertama kali Isvara memanggilnya begitu. Hanya keluarganya yang biasa memakai panggilan itu. Selama ini, tak ada satu pun orang luar yang menyebutnya begitu—termasuk kolega, bahkan Livia dulu pun tidak.Isvara seolah tak sadar telah mengucapkannya. Namun bagi Alvano, panggilan itu terasa ... berbeda. Ada jarak yang mulai bergeser.“Aku tahu ini mungkin bikin kamu nggak nyaman,” uj
“Nggak mungkin,” gumam Isvara tanpa sadar.“Apa?” tanya Citra, tidak begitu jelas mendengar gumaman Isvara.“Oh, nggak apa-apa,” jawab Isvara cepat. “Aku soalnya baru pertama kali lihat CEO kita. Kirain tadi salah satu brand director atau apa.”Beruntung suara Isvara tetap stabil, padahal jantungnya berdentum tak karuan. Kepalanya mendadak penuh pertanyaan.Kenapa Alvano tidak bilang?Apa dia sengaja menyembunyikannya?Atau … memang Isvara yang terlalu polos karena tidak pernah bertanya?Lift berdenting. Pintu terbuka. Mereka melangkah keluar, kembali menuju area kerja masing-masing.“Kalian tahu nggak?” Andre ikut bersuara. “Mulai besok Pak Al bakal turun langsung buat handle proyek Valora X Tenka.”Citra mengangkat alis. “Serius? CEO turun langsung ke proyek kita?”“Iya,” Andre mengangguk antusias. “Katanya proyek ini besar dan strategis banget. Jadi beliau mau lihat langsung progress-nya. HR udah konfirmasi tadi pagi.”Langkah Isvara refleks melambat.Langsung memimpin proyek?Itu b
Kalau sudah cukup personel, mengapa Isvara diterima bekerja di tempat ini?Isvara diam. Tidak tahu apakah perlu menjawab atau cukup tersenyum sopan.Andre, laki-laki satu-satunya di ruangan itu cepat-cepat menyahut, mencoba mencairkan suasana, “Mungkin kerjaannya nambah, Mbak. Tenka ‘kan rewel katanya. Lima kepala aja kadang ngos-ngosan.”“Bukan soal jumlah kepala,” timpal Retha. Kali ini pandangannya mengarah langsung ke Isvara. “Tapi biasanya, penambahan personel itu melalui diskusi tim. Dan aku pribadi ... nggak diajak bicara soal ini.”Isvara kembali diam. Ada rasa tidak nyaman merayap di tengkuknya. Namun, dia tetap berusaha tersenyum.“Maaf, saya juga belum banyak tahu soal pengaturannya,” ucap Isvara pelan. “Saya hanya mengikuti instruksi HR untuk hadir hari ini.”Retha tidak menjawab, hanya kembali menunduk ke layar laptop.Lalu terdengar suara gesekan kursi. Seorang perempuan berkacamata dengan wajah teduh berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Isvara.“Hai, aku Citra. C
Setelah melewati tahap wawancara dan tes masuk, Isvara akhirnya mendapat email panggilan untuk tanda tangan kontrak. Hari ini, dia resmi mulai bekerja di Valora Group.Dua hari.Hanya butuh dua hari dari kirim CV sampai diterima kerja.Sesingkat itu?Isvara bukannya tidak curiga. Dia paham betul, proses seleksi dalam dunia kerja biasanya memakan waktu. Apalagi untuk perusahaan sebesar Valora. Dalam hati kecilnya, dia tahu kemungkinan besar ada ‘dorongan dari atas’. Dan siapa lagi kalau bukan Alvano?Namun, Isvara memilih tidak membahasnya—bahkan kepada dirinya sendiri. Dia tidak ingin hari pertamanya diwarnai prasangka atau keraguan. Jika memang ada campur tangan Alvano, maka itu urusan lain. Sekarang, dia hanya ingin fokus bekerja.Berdiri di depan gedung Valora Group yang menjulang di tengah distrik bisnis ibu kota, Isvara menarik napas dalam. Bangunan kaca setinggi belasan lantai itu terlihat modern dan megah, seperti lambang prestise yang selama ini hanya dia lihat dari kejauhan.L
“Kamu serius?” Mata Isvara langsung berbinar. Mungkin ini bisa jadi jalan keluar agar dia tidak terlalu lama menganggur. Tinggal di rumah saja benar-benar bukan gaya hidup wanita itu.Sejak SMA, Isvara terbiasa sibuk. Kuliah sambil kerja part time, lalu setelah lulus langsung bekerja di Dermavia tanpa jeda. Berhenti tiba-tiba seperti sekarang membuatnya merasa kosong, dan sedikit kehilangan arah.“Serius,” jawab Alvano. “Kirim aja. Aku bantu terusin ke bagian yang relevan.”“Oke … makasih.” Isvara mengangguk pelan, masih setengah tidak percaya. Alvano kembali menyesap kopi hitamnya, lalu mengangguk singkat. “Jangan lupa, CV yang bener, ya. Jangan format ala kadarnya.”Isvara menyipit. “Maksudnya?”“Ya siapa tahu kamu biasa nulis CV pakai Comic Sans dan kasih background pink,” jawab Alvano sambil tersenyum.“Please, aku nganggur, bukan nggak punya selera,” balas Isvara, menggeleng. Namun, sudut bibirnya terangkat sedikit. Akhirnya, dia merasa napasnya tidak terlalu berat pagi ini.Alva