Share

Bab 3: Kontrak Sementara

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-04-30 14:39:59

"Maaf, hari ini terlalu banyak pekerjaan," kata Alvano singkat.

Isvara mengangguk pelan, berusaha menanggapi. Namun, pikirannya terlalu sibuk memperhatikan sekitar.

Saat melangkah keluar dari mobil dan mengikuti Alvano menuju pintu masuk, matanya terus menelusuri setiap sudut rumah itu. Dinding-dindingnya mulus, bersih tanpa banyak ornamen.

Namun, setiap detail, mulai dari gagang pintu, taman kecil di samping teras, hingga lampu gantung di dalam, semuanya terkesan mahal.

Begitu pintu rumah terbuka, Isvara hampir menahan napas.

Interiornya luas, lega, dan tetap bergaya minimalis. Lantai marmer mengkilap, sofa abu-abu besar di ruang tamu, dan rak buku tinggi dengan koleksi yang tampaknya benar-benar dibaca, bukan sekadar pajangan.

Tak ada kemewahan berlebihan seperti emas-emas mencolok, namun justru itu yang membuat rumah ini terasa berkelas.

Isvara berdiri kaku di depan pintu, merasa seolah baru saja melangkah ke dunia lain.

Dalam hatinya, suara kecil berbisik getir, ‘Ternyata pria yang aku tarik asal-asalan buat nikah ini … orang kaya, ya.’

Dia tersenyum tipis, setengah tak percaya, juga merasa bodoh.

"Masuklah," kata Alvano, membuyarkan lamunannya.

Nada suaranya lebih lembut, seolah sadar betapa canggung situasi ini.

Isvara melangkah masuk, membiarkan dirinya ditelan oleh kehangatan rumah asing itu.

Tidak satu pun dari mereka yang membuka suara. Isvara menunduk, sementara Alvano hanya diam dengan tatapan mengarah ke dinding, seolah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya yang ruwet.

Sejenak Alvano mengalihkan pandangannya pada Isvara. Entah apa yang dipikirkan, sorot matanya menunjukkan seperti sedang mencocokkan sesuatu, kemudian menggeleng pelan.

Beberapa detik berlalu, akhirnya Alvano berdiri dan berjalan menuju tangga.

“Aku tunjukkan kamarmu,” ucap pria itu singkat.

Isvara mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah pria itu dalam diam. Langkah mereka menggema pelan di lantai marmer, melewati lukisan-lukisan besar dan deretan foto keluarga yang tergantung rapi di dinding. Semua barang di sini tampak berkelas.

Setibanya di depan sebuah pintu berwarna putih gading, Alvano membukanya dan mempersilakan Isvara masuk. Kamarnya luas, nyaris dua kali ukuran kamar milik Isvara di rumah orang tuanya. Tempat tidur besar dengan seprai putih bersih mendominasi ruangan, disandingkan lemari pakaian tinggi dan jendela besar dengan tirai tebal berwarna kelabu.

“Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja ke Mbak Wati. Kamarnya di belakang dapur,” kata Alvano datar, tanpa menoleh.

Isvara hanya mengangguk lagi. Saat suara langkah kaki Alvano menjauh, dia baru perlahan-lahan meletakkan tas dan kopernya di kursi dekat jendela.

Saat duduk di tepi kasur, Isvara mengusap wajahnya yang sudah mulai terasa panas. Ada perasaan ganjil yang menggelayut di dadanya. Bukan hanya gugup, tapi juga penyesalan yang samar-samar mulai muncul ke permukaan.

Seketika dadanya terasa berat.

Apa yang sedang dia lakukan?

Tangannya mengepal tanpa sadar. Tadi pagi dia masih duduk di KUA dengan perasaan panik dan marah karena Tara tidak muncul. Lalu, semuanya berubah begitu cepat. Keputusan impulsif yang saat itu terasa logis, kini perlahan kehilangan bentuknya.

Bagaimana mungkin dia bisa cocok tinggal di rumah sebesar ini? Bersama pria yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik, dari dunia yang sepenuhnya asing baginya?

Isvara menarik napas panjang. Ada rasa malu yang mengendap di dada. Mungkin dia terlalu naif, terlalu cepat menarik Alvano ke dalam kekacauan hidupnya, hanya karena sama-sama dikhianati. Namun saat itu, dia tidak tahu kalau perbedaan di antara mereka akan terasa sejauh ini.

Isvara menatap pintu yang kini tertutup rapat.

Baru beberapa jam menikah, dan segalanya sudah terasa salah.

Ketukan pelan di pintu membuat Isvara tersentak. Dia buru-buru mengusap wajah, merapikan duduknya seolah takut ketahuan sedang tenggelam dalam kekalutan sendiri.

Pintu terbuka tanpa suara. Alvano berdiri di ambang pintu, wajahnya tetap datar seperti biasa.

"Aku mau bahas sesuatu. Ikut aku ke ruang kerja," ucap pria itu singkat.

Lagi-lagi, Isvara hanya bisa mengangguk. Dia bangkit dan tentu saja mengikuti pria itu. Ketika sampai di ujung lorong sebelah kiri, Alvano membuka pintu ruang kerja yang temaram namun tertata rapi. Rak buku tinggi menjulang, meja kerja besar dengan tumpukan dokumen rapi, dan sebuah sofa mengisi sisi ruangan yang lain.

“Duduklah,” ujar Alvano, mengambil map coklat dari atas meja dan duduk di kursi seberang wanita itu.

Isvara menuruti. Hatinya mulai berdebar, takut kalau-kalau akan ada klausul rumit yang tidak bisa dia penuhi.

“Ini kontraknya,” ucap Alvano sambil membuka map di hadapannya dengan tenang, seolah yang mereka bicarakan hanyalah urusan bisnis biasa. Pria itu menyodorkan selembar dokumen dan sebuah pena ke arah Isvara.

Isvara menerimanya dan mulai membaca cepat. Matanya menyapu baris demi baris dengan cermat. Isinya tidak rumit, bahkan terkesan ... adil. Tidak ada larangan keras, tidak ada ancaman, tidak ada sentuhan. Intinya, mereka sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Pernikahan ini bersifat sementara, dan akan berakhir dalam satu tahun. Tidak ada keterikatan, tidak ada tuntutan.

Isvara menelan ludah pelan. Ada kelegaan yang perlahan merayap di dada. Setidaknya, semuanya tidak seburuk yang dia bayangkan. Setidaknya, Alvano masih memberinya ruang untuk bernapas.

“Satu tahun?” gumam Isvara pelan.

Alvano mengangguk sekali. Tegas dan singkat, seperti biasa.

“Tandatangani kalau kamu setuju.”

Isvara terdiam sesaat, menatap lembaran kertas di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengambil pena dan menandatangani dokumen di tempat yang sudah ditandai. Tangannya sedikit gemetar, tapi satu tarikan napas cukup untuk menuntaskannya.

Alvano mengambil kembali dokumen itu, menandatanganinya tanpa ragu, lalu menyelipkannya kembali ke dalam map.

Pria itu berdiri sejenak, lalu mengambil map dari meja dan kembali duduk di balik kursi kerjanya.

“Kamu bisa kembali ke kamar,” ucap pria itu tanpa menoleh.

Isvara tidak langsung bergerak. Matanya masih tertuju pada pria itu, seseorang yang kini sah menjadi suaminya, tetapi terasa begitu jauh. Seolah percakapan barusan hanya urusan bisnis biasa.

Tak ada pertanyaan. Tak ada penjelasan.

Hanya satu kontrak, satu tahun.

“Baik,” ucap wanita itu pelan sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan itu.

___

Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi ketika aroma roti panggang dan kopi hangat memenuhi ruang makan rumah Alvano. Suasananya tenang. Hanya denting sendok yang sesekali menyentuh piring menjadi latar dari percakapan yang masih terasa canggung.

Isvara duduk berseberangan dengan Alvano. Pandangannya sempat tertahan pada pria itu. Rambutnya masih sedikit acak, basah sisa mandi. Kemeja putih yang digulung hingga siku membuatnya tampak santai, tapi tetap rapi. Dan … entah kenapa, terlihat lebih menarik?

Isvara cepat-cepat menunduk, meneguk air putih yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan. Kenapa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang?

“Aku pikir … aku bisa bantu urus rumah,” ucap Isvara akhirnya, berusaha terdengar biasa. “Dan juga, soal kebutuhan rumah tangga, aku bisa ikut tanggung. Meskipun tidak banyak, tapi aku tetap ingin—”

“Nggak usah,” potong Alvano tanpa mengangkat wajah dari piringnya. “Rumah ini sudah diurus asisten. Kamu tidak perlu repot atau keluar uang buat hal-hal begitu.”

“Aku nggak enak,” gumam Isvara kemudian, lebih lirih. “Kamu sudah banyak menolongku. Dan aku, nggak bisa hanya duduk diam dan membiarkan semua ini terjadi tanpa berbuat apa-apa.”

Alvano akhirnya menatapnya. Tatapan itu membuat Isvara seketika lupa napasnya sendiri. Mata pria itu tajam, tapi tidak menakutkan. Tenang, tapi tidak dingin. Seolah bicara dengan bahasa yang tidak perlu diucapkan.

“Kamu di sini bukan untuk bayar utang, Isvara.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
akhirnya tanda tangan kontrak setahun
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 331: Program

    “Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 330: Mungkin

    Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 329: Punya Adik?

    Isvara masih ingat betul, waktu itu Adisty bilang usia kandungannya baru lima minggu. Dan kini, tahu-tahu sudah melahirkan saja. Waktu memang berjalan seperti tergesa-gesa, terutama ketika hidup mulai terasa tenang.“Mommy, Lingga punya adik, ya?” tanya Avanira. Rambut panjangnya yang mulai menyentuh punggung diikat dua, dan hari ini dia sudah siap dengan kaus bergambar bunga serta celana pendek favoritnya.Sudah lama Avanira tidak membawa boneka dari Renjiro yang dulu ke mana-mana menemaninya. Gadis kecil itu bilang bahwa dia akan segera masuk SD, dan malu kalau masih membawa boneka ke mana-mana.“Iya, Princess. Nanti setelah sarapan kita ke rumah Aunty Adisty, ya? Kita lihat dedek bayinya.” Isvara menyodorkan roti ke arah putrinya, lalu ke arah Avanil yang sedang meneguk susu dengan khusyuk seperti sedang rapat penting.“Yeay!” seru Avanira girang.“Mommy, kita ke sananya jalan kaki aja, ya?” sahut Avanil cepat, suaranya penuh semangat. “Aku mau sambil bawa bola, terus biar bisa nend

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 328: Monster Kecil

    Bibir Alvano menuruni wajah Isvara, mengecup kening, pipi, hingga akhirnya menemukan bibir itu lagi. Ciuman mereka panas tapi manis, dalam tapi penuh kasih. Setiap geseran tubuh terasa seperti puisi yang ditulis dengan napas, lambat, berat, dan menggetarkan.Tangan kanan Alvano menahan paha istrinya, menjaga ritme mereka tetap seimbang. Sementara tangan kirinya menjelajahi lekuk tubuh yang sudah dia hafal tapi tak pernah dia bosan jelajahi. Dia menelusuri punggung, sisi pinggang, hingga perut yang pernah menyimpan luka dan keajaiban sekaligus.“Ra …” bisiknya di sela helaan napas, “Kamu tahu nggak, ini tempat paling aman buatku.”Isvara menatapnya dari bawah, matanya berkaca, senyumnya tipis namun penuh cinta. Tak ada kata yang bisa dia balas selain genggaman tangannya di pipi Alvano, lembut tapi menggetarkan.Menit demi menit berlalu, sampai akhirnya puncak nirwana itu datang. Sebuah ledakan lembut yang membuat napas mereka berhenti bersamaan. Isvara merintih, sementara Alvano hanya b

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 327: Boleh?

    Alvano memutar keran shower, dan suara air yang jatuh dari atas terdengar menenangkan di antara desah napas mereka. Dia menoleh, menatap Isvara yang perlahan menanggalkan kain terakhir yang menempel di tubuhnya.Air mulai mengalir dari kepala mereka, menuruni bahu, menurunkan suhu tegang yang sejak tadi menggantung di udara.“Aku bantu bersihin jahitannya, boleh?” tanya Alvano meminta izin.Isvara sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk kecil. Ada sesuatu di tatapan suaminya, bukan keinginan yang tergesa, melainkan rasa hormat yang membuatnya merasa aman, seolah seluruh dirinya diterima tanpa syarat.Alvano mengambil handuk kecil, lalu menyapukannya perlahan di kulit perut Isvara. Gerakannya lembut, penuh kehati-hatian, seolah yang disentuhnya bukan luka, melainkan sesuatu yang suci. Saat tangannya berhenti di dekat bekas sayatan operasi yang sudah menutup sempurna, dia menunduk.“Nggak nyeri?” tanya Alvano rendah.Isvara menggeleng. “Udah nggak. Cuma kadang masih takut aja.”Alvano tida

  • Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan   Bab 326: Sepasang Kekasih

    “Untuk aktivitas suami istri, sekarang sudah boleh dilakukan, asal tidak berlebihan dan tetap perhatikan kondisi luka, ya.”Kalimat dari dokter Ratna itu terdengar biasa saja di ruang praktik. Tapi di telinga Alvano? Itu seperti pengumuman pembebasan setelah dua bulan masa tahanan suci. Senyum menahan diri di wajahnya nyaris berubah jadi sorak sorai kalau saja dia tidak sedang duduk di hadapan sang dokter.Begitu keluar dari ruang praktik, Alvano masih menahan senyum di wajahnya. “Kamu dengar sendiri, ‘kan?”Isvara melirik geli, tahu betul arah pikirannya. “Mas, tolong jaga ekspresinya. Kita masih di rumah sakit.”“Ekspresi bahagia dilarang, ya? Soalnya dokter barusan nyelametin pernikahan kita,” balas Alvano santai.Mereka berjalan beriringan menuju area parkir.Dari luar, mungkin orang akan mengira keduanya sepasang kekasih yang baru saja resmi jadian.Isvara mengenakan dress bermotif bunga lembut yang bergoyang pelan tertiup angin sore. Sementara Alvano tampil sederhana dengan kaus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status