Jangan lupa kasih ulasan ya guys :)
[Kamu di mana? Tumben nggak ngabarin aku.]Pesan itu masuk ketika Isvara baru saja melangkah keluar dari kafe, beberapa menit setelah berpamitan dengan Renjiro. Angin sore menyapa lembut wajahnya, sementara langkahnya melambat saat membaca nama pengirim pesan itu.‘Suami’.Isvara sempat terkesiap kecil, bukan karena isi pesannya, tapi karena dia lupa. Lupa mengabari Alvano kalau dia keluar siang ini, terlalu tenggelam dalam euforia album baru dan obrolan nostalgia bersama Renjiro.[Aku lagi jalan pulang kok. Ini udah mau naik bus. Mau titip sesuatu?] Isvara membalas cepat sambil mengetik dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam tas belanja kecil berisi album.Balasan dari Alvano datang tidak sampai dua menit kemudian.[Mau nyogok aku karena pergi nggak bilang dulu?]Isvara tersenyum kecil. Balasan itu bukan karena marah, mungkin Alvano mencoba menggoda Isvara. Aneh, mengingat dulu pria itu yang bilang mereka tidak perlu repot saling kabari, bahwa pernikahan mereka ada
Pria itu juga menatap balik, seolah sedang memastikan sesuatu. Wajahnya nyaris tertutup hoodie hitam, topi bucket gelap, dan masker, tapi sepasang mata cokelat hangat dengan garis kelopak yang khas membuat Isvara terhenti sejenak. "Isvara ...? Is that you?” tanya pria itu dengan suara rendah dan aksen asing yang masih terdengar akrab. Isvara masih mematung beberapa detik. Suara itu. Aksen yang sedikit kaku tapi jelas. Tatapan yang seperti membawa memori masa lalu yang terkubur. “Ren? Renjiro?” gumam Isvara ragu. Pria itu menurunkan maskernya perlahan. Bibirnya membentuk senyum kecil yang tidak banyak berubah sejak dulu. “Wow. Kamu masih ingat aku?” kata Renjiro sambil tertawa pelan, senyumnya bertahan lebih lama dari ekspresi biasa. Isvara terkekeh tidak percaya. “Aku nyariin kamu dulu waktu lulus, loh. Terus kamu kayak ... hilang ditelan bumi.” Renjiro mengusap tengkuknya, terlihat sedikit canggung. “Aku ganti nomor, terus kembali ke Jepang. Sorry, aku nggak pamit.” Isvara ter
Lingerie?Serius?Untuk beberapa detik, pikiran Isvara berputar cepat.Kenapa Adisti memberikan ini? Apa semua pengantin baru memang selalu diberi hadiah yang … seperti ini?Kadang orang menganggap bahwa semua pernikahan pasti romantis. Padahal, ada juga pasangan yang bahkan baru saling mengenal, bahkan belum tentu tahu selera makanan satu sama lain, apalagi soal pakaian dalam.Rasanya seperti diberi panci, padahal kompornya saja belum punya.Bingung, ‘kan?Panik, Isvara langsung menarik lingerie itu dan menyelipkannya ke balik bantal sofa. Dia bahkan menumpuknya dengan tas miliknya agar tidak terlihat oleh Alvano. Tepat di saat itu, suara langkah kaki terdengar dari arah balkon. Alvano muncul sambil masih menggenggam ponselnya.“Udah dibuka?” tanya Alvano santai.“U-udah. Maksudnya ... aku lihat sekilas aja,” jawab Isvara cepat, mencoba tersenyum normal walaupun ekspresinya lebih mirip orang ketakutan ketahuan mencuri cokelat.Alvano mengerutkan kening curiga. “Kamu kenapa kayak nyem
Kini, beberapa menit setelah masuk ke dalam mobil, Isvara duduk kaku di kursi penumpang. Kedua tangannya bertaut di pangkuan, matanya menatap lurus ke jalan, sementara otaknya masih sibuk mengulang-ulang suara Alvano yang memanggilnya barusan.Sayang?“Kenapa sih kamu manggil aku gitu?” tanya Isvara akhirnya, tidak kuat menahan rasa aneh yang menggantung di dadanya.Di sebelahnya, Alvano hanya melirik sekilas. Lalu kembali menatap jalanan yang padat, tangan kanan masih santai menggenggam setir. Seolah pertanyaan itu hanya angin lalu.Padahal, bagi Isvara, tidak!Dan justru karena pria itu tidak langsung menjawab, pertanyaan itu terasa makin menggantung di udara—mengganggu, seperti alarm yang terus berdengung dalam hati.“Kan biar Kak Adis nggak curiga,” jawab Alvano akhirnya.Isvara mendengus kecil. “Alasan klasik.”“Emang kamu mau dia tau kita cuma pura-pura?” balas Alvano tanpa menoleh.Isvara diam. Tidak, tentu tidak. Namun tetap saja, panggilan itu … membuatnya bingung. Tidak nyama
Dengan alis sedikit terangkat, Isvara berbelok menuju coffee shop kecil di pojokan lobi. Tempat itu tidak terlalu ramai, hanya diisi oleh beberapa pegawai kantor lain yang sedang menikmati sore dengan kopi dan laptop masing-masing.Dari kejauhan, Isvara sudah mengenali sosok perempuan yang duduk santai di sudut dekat jendela.Berdandan kasual tapi tetap berkelas. Rambut panjang dibiarkan tergerai rapi, blazer krem melapisi kaus putih tipis, dipadukan dengan celana hitam yang membingkai tubuh rampingnya. Aura model-nya tetap terasa, bahkan saat hanya duduk menunggu.“Isvara,” sapa Adisti sambil melambaikan tangan kecil dan tersenyum lebar.Isvara membalas senyum itu, sedikit kaku tapi tulus. Dia tidak menyangka bahwa yang menunggunya sore ini adalah kakak iparnya. Pertemuan pertama mereka terlalu singkat dan formal, hampir tidak sempat bertukar kalimat apa pun.Isvara mendekat, lalu dia menarik kursi di hadapan Adisti dengan pelan.“Eh ... aku harusnya manggil apa, ya?” tanyanya sembari
“Tapi saya sudah menikah.”Andre terdiam. Mulutnya otomatis membentuk huruf O. Namun, tidak ada satu kata pun yang keluar. Bahkan suara napasnya pun seperti ikut menahan diri.Di sebelah Andre, Citra menatap ke depan tanpa ekspresi, seperti menolak mengakui bahwa dia duduk bersebelahan dengan biang keributan! Dalam hati, Citra berkata tegas, ‘Jangan ajak Andre ke acara formal lagi. Titik.’Sementara itu, Retha masih mempertahankan senyumnya. Namun, sorot matanya berubah. Tidak lagi teduh dan penuh harap seperti tadi, melainkan seperti seseorang yang baru saja ditinggal bus terakhir—padahal dia sudah lari dari ujung gang.“Oh ... Bapak sudah menikah?” suara Retha pelan. Terlalu pelan untuk seorang perempuan yang biasanya begitu percaya diri ketika menyampaikan target kuartal.Alvano mengangguk pelan. Tidak terganggu, tidak merasa perlu menjelaskan lebih jauh. Wajahnya tetap tenang, seperti pria yang baru saja membuat keputusan penting dalam rapat dan tahu betul keputusannya itu final.