Share

Seorang pelindung

[Zhi, jangan lupa ya hari ini ada rapat.]

[ok bang.] balasku cepat

“Dari siapa Zhi,”

“Bang ikhsan,”

“Ciee, ada yang diam-diam perhatian juga nih,” ledeknya padaku.

“Aih apa sih biasa aja kali,” sahutku tak peduli, Tiara justru terkekeh mendengar jawabanku.

“Luar biasa juga boleh kok Zhi,” dia tertawa 

“Sore rapat buat pengkaderan anggota baru bisa kan?”

“Sip,” jawabnya ditengah mengunyah bakso.

Kelas terakhir sudah selesai, kami berdua bergegas menuju bascamp untuk mengikuti rapat. Sesampainya disana terlihat sudah banyak orang yang hadir. Aku melihat bang Ikhsan melambaikan tangannya, dan bergegas menghampirinya.

“Assalamualaikum,” ucapku dan Tiara berbarengan pada bang Ikhsan.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya sambil tersenyum.

Setelahnya aku dan bang Ikhsan berbincang banyak hal tentang pengkaderan yang akan dilaksanakan, sementara Tiara berbincang dengan anggota lain Setelah seluruh anggota berkumpul rapat dimulai, yang sebelumnya diisi dengan sambutan bang Ikhsan sebagai ketua umum di organisasi lalu dilanjutkan dengan membahas persiapan untuk pelaksanaan pengkaderan. 

Setelah rapat selesai para anggota ada yang langsung pulang, ada pula yang masih berbincang di bascamp. Mataku melihat kesana kemari mencari seseorang

Tiara menghampiriku yang sedang celingak celinguk mencari sesuatu, dia menatapku dengan ekspresi bingung lalu akhirnya dia juga mengikuti arah mataku yang tidak mau diam.

“Zhi, cari apa sih kamu?” 

Aku berhenti mencari lalu melihat Tiara, dahinya mengernyit menandakan kebingungan. Lalu dagunya terangkat bertanya.

“Bang Arfan mana ya, kamu liat nggak?” tanyaku pada Tiara.

Tiara juga langsung mencari seseorang yang namanya baru saja kusebut, kepalanya menengok ke kiri ke kanan. Aku juga melakukan hal yang sama dengannya, namun tidak kunjung melihat batang hidung bang Arfan. Entah dimana manusia itu bersembunyi, tapi tadi aku melihatnya disekitar sini.

Tiara menatapku lalu menggelengkan kepalanya pertanda tak menemukan tanda-tanda keberadaan bang Arfan, aku hanya menghela nafas pelan. Sebenarnya kemana dia pergi, hatiku bertanya-tanya.

Tiara meninggalkanku untuk bergabung kembali bersama yang lain, sementara aku terus mencari. Berharap bang Arfan muncul ke permukaan, eh dikira dia ikan?

Huuffft, aku menghela nafas pelan, lama-lama kesal juga mencari dia.

“Mana sih, tadi kan disini,” gumamku sambil terus mencari.

sampai akhirnya tiba-tiba ada yang memanggil namaku dari belakang.

“Zhi,” 

Aku berbalik menatap seseorang yang amat kukenal suaranya, dia tersenyum.

Dia berjalan mendekat ke arahku sambil terus tersenyum

“Nyariin abang ya?” Tanya dia dengan nada meledek, aku mencebik mendengarnya berkata seperti itu.

“Ih geer banget abang,” ujarku dengan meledek pula. Dia justru tertawa mendengar ucapanku, ya dia tau jika aku memang mencarinya.

“Bilang aja sih kalo rindu mah, nggak perlu malu-malu gitu,” ujarnya yang membuatku mendelikkan mata, dia terkekeh geli melihatku sementara aku cemberut karena dia terus menggodaku.

“Duduk disana yu,” ajaknya yang aku jawab dengan anggukan kecil.

Setelahnya aku mulai bercerita tentang banyak hal padanya, bahkan mungkin segalanya. Ya, dia Arfan Ibrahim sosok laki-laki yang saat ini aku percaya, dia tahu segalanya tentangku. Aku nyaman berada didekatnya, sikapnya yang bijak juga melindungiku membuatku merasakan kembali hadirnya sosok ayah dalam hidup.

Aku memang telah kehilangan ayah semenjak kecil, kedekatanku dengan ayah membuatku sangat terpukul. Bagai kehilangan separuh jiwa aku menjadi sosok pendiam. Kehilangan sosok pelindung membuatku harus kuat menghadapi apapun sendirian. Tak ada lagi tempat mengadu untukku selain ibu sekarang.

“Bang, aku kemarin bertemu Asraf,” ucapku memulai cerita.

“Hah, mau apa dia? Kamu nggak papa kan Zhi? Dia bilang apa aja sama kamu?” tanyanya bertubi-tubi.

Aku justru tertawa geli mendengarnya melontarkan berbagai pertanyaan tanpa memberiku waktu untuk menjawab. Sedangkan dia malah bingung melihatku tertawa.

“Zhi, hey kenapa kamu ketawa? Jawab dong pertanyaan abang,” dengkusnya merasa aku abaikan.

Aku berhenti tertawa dan kembali melihatnya

“Lagian abang ngasih pertanyaan banyak banget, satu-satu kali bang. Kaya ibu-ibu berebut baju diskon aja,” ucapku sambil sesekali terkekeh kecil.

“Ya abang khawatir Zhi, takut kamu kenapa-kenapa.”

Aku tersenyum mendengarnya, dia begitu perhatian padaku. 

“Zhi nggak papa bang,”

“Jadi?”

“Kemarin aku nggak sengaja ketemu sama dia, biasalah bang dia bahas soal perasaan dia. Terus aku bilang kalo udah nggak bisa melanjutkan apapun lagi sama dia, karena memang apa yang aku lakukan salah. Tapi dia tetep maksa bang, bahkan dia lagi-lagi mengancam buat melukai orang-orang disekitar aku.”Ujarku padanya dengan sendu.

Dia tersenyum mendengar apa yang aku ceritakan, kemudian dia membenarkan posisi duduknya.

“Apa yang kamu lakukan udah tepat Zhi, jangan takut dengan ancaman dia, abang ada disini buat melindungi kamu,” ucapnya lembut sambil tetap tersenyum menatapku.

Bibirku otomatis mengulas senyum mendengar apa yang dia katakan, haru menyeruak dalam hatiku. Sungguh aku bersyukur dipertemukan dengan orang baik seperti bang Arfan. ‘semoga Allah juga selalu melindungimu bang” batinku berharap.

Waktu terus berlalu tanpa terasa, banyak nasihat yang kudapatkan dari bang Arfan. Tentang mengapa perempuan harus kuat juga tentang bagaimana menyembuhkan luka yang lama kubiarkan. Ditengah perbincanganku dengan bang Arfan tiba-tiba,

“Ekhem, boleh bergabung?” Tanya seseorang yang membuatku terkejut. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status