Share

Tentang rasa

Lantas aku menoleh ke samping, terlihat bang Ikhsan yang berdiri dan kemudian ikut duduk bersama kami. 

“Eh ketua umum nih, silahkan-silahkan bang,” ujar bang Arfan mempersilahkan duduk dan bergeser untuk memberi ruang pada bang Ikhsan.

Aku mengulas senyum lalu kemudian diam karena canggung. Entah tapi aku merasa ada yang berbeda dengan sikap bang Ikhsan, namun langsung kutepis perasaan itu.

“Sepertinya pengkaderan tahun ini lebih meriah nih bang,” bang Arfan  memulai obrolan.

“Iya Fan, Alhamdulillah tahun ini banyak yang mau bergabung dengan organisasi kita, jadi persiapannya juga lebih ekstra,”

Mereka berdua larut dalam obrolan tentang persiapan pengkaderan nanti, sementara aku hanya menyimak sambil sesekali menyahut. Bang Ikhsan sesekali menatapku sambil tersenyum, hal itu membuatku bingung. Kurasa bang Arfan menyadari hal itu juga.

“Zhi, sudah sore. Pulanglah nanti ibumu khawatir,” ucap bang Ikhsan padaku

Aku melihat jam dipergelangan tanganku menunjukkan waktu sudah masuk pukul 5 sore, senja juga kulihat telah nampak dilangit. 

“Iya bang,” jawabku padanya.

Kemudian aku mencari Tiara, terlihat dia tengah berbincang dengan anggota lain. Aku melambaikan tangan padanya, dia melihatku kemudian beranjak mendekatiku.

“Pulang yuk Ra, udah sore nih,” ajakku yang kemudian disetujui oleh dia.

Kemudian kami berdua mendekat pada bang Ikhsan juga bang Arfan untuk berpamitan.

“Bang Arfan, bang Ikhsan kami berdua pulang dulu ya,” pamitku pada dua orang itu.

“Hati-hati ya Zhi,” ucap mereka berdua bersamaan.

Aku hanya terdiam mendengar hal itu, sementara Tiara justru tersenyum tidak jelas ke arahku.

“Zhia aja nih yang harus hati-hati,” ledek Tiara pada mereka berdua sambil terkekeh.

“Perhatian banget sih ekhem,” lanjutnya sambil terus menggodaku dengan kerlingan matanya.

Aku mendelik pada Tiara karena ucapannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa, sementara dua laki-laki dihadapanku juga salah tingkah karena hal ini. 

“Iya bang, eeh kalo gitu kita berdua pulang ya,” ucapku menyudahi kecanggungan disini. Namun Tiara kembali berulah.

“Zhi, abang yang mana nih, kan ada dua,” ujarnya padaku dengan nada menggodaa

“Assalamu’alaikum,” potongku cepat sebelum Tiara semakin menjadi.

Aku tak menanggapi ucapannya dan langsung menarik tangan Tiara menjauh dari sana. Tiara terus saja tertawa hingga ke parkiran. Aku cemberut menahan kesal karena tingkahnya, namun dia tak menghiraukan kekesalanku. Dengan cepat aku menyuruhnya memarkirkan motor, aku ingin segera pulang.

Sepanjang jalan Tiara terus saja membahas kejadian tadi, sambil sesekali menggodaku dengan ekspresi meledek, itu terlihat dari kaca spion motornya. Tak kutanggapi celotehnya sepanjang jalan, hingga kami berdua sampai dirumahku barulah dia berhenti.

Aku turun, kemudian berdiri disampingnya.

“Ra, mampir dulu lah,” pintaku padanya

“Lain kali aja Zhi, udah sore nih,” tolaknya

Ya, hari memang sudah sore. Rumah kami memang tidak berdekatan, sekitar 10 menit jika ditempuh dengan sepeda motor.

“Yasudah, kamu hati-hati yah,” ucapku padanya yang dijawab dengan anggukan oleh Tiara.

Dia menyalakan motornya kemudian tersenyum padaku pertanda perpisahan, lalu melajukan motornya. Aku masih setia berdiri melihat kepergian Tiara, hingga dia hilang dari pandanganku barulah aku berbalik dan berjalan untuk masuk ke rumah.

Aku mengucapkan salam lalu masuk, terdengar suara ibu membalas salamku dari arah dapur. Diruang tamu terlihat Azka-adik laki-lakiku yang tengah berbaring sambil memainkan ponselnya. Tak sedikitpun dia bertanya padaku, bahkan bergerak untuk melihatku pun tidak. ‘si beruang kutub tumben ada dirumah’ aku membatin.

Dia telah lulus sekolah dan lebih memilih bekerja. Saat kutanya kenapa tidak melanjutkan kuliah saja sepertiku, jawabannya membuatku cukup terkejut sekaligus haru. Dia  bilang padaku bahwa biarkan dia menggantikan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga, bertanggung jawab padaku juga ibu. Ya, walaupun sikapnya sedingin kutub utara tapi aku tau dia sangat menyayangi keluarga, tidak melalui ucapan melainkan tindakan.

Tak sadar sedari tadi aku hanya mematung menatapnya, hingga tiba-tiba

“Ekhem,” 

“Ekhem,” suaranya membuyarkan lamunanku.

Aku tidak sadar jika sedari tadi terus mematung dan melihat Azka sambil melamun, dia balik memperhatikan aku yang terus bediri tak jauh darinya. Sedangkan aku langsung berpura-pura memperhatikan foto yang ada ditembok.

“Aku tau kalo aku ganteng, tapi nggak perlu sampai ditatap lama juga kak. Lupa kalo aku adiknya kakak?” ledeknya dengan penuh percaya diri.

Aku justru bengong mendengar dia berucap dengan begitu santainya, apa dia kira aku tidak waras sampai menyukai adik sendiri. Baru saja aku bangga terhadapnya, tapi sikapnya kali ini membuatku jengkel. Untung adik sendiri, ganteng lagi, eh. Tapi kemajuan pesat juga nih dia bicara sambil bercanda, biasanya selalu serius kaya lagi ujian nasional.

Aku memutar bola mata malas

“Aih, percaya diri banget si beruang kutub. Lagian siapa yang,” ucapanku terpotong saat ibu tiba-tiba muncul dari arah dapur.

Aku lantas mendekat dan langsung meraih tangannya untuk aku cium, lalu aku melangkah menuju kamarku sambil terus melihat Azka dengan pandangan menyebalkan, sementara Azka juga menatapku dengan pandangan meledek. Ibu yang melihat tingkah kami berdua hanya menggelengkan kepalanya.

Karena terus menatap Azka aku tidak sadar jika sudah sampai didepan pintu, dan 

Dukkk!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status