Jangan lupa subscribe sebelum membaca yaa🥳
Aku mendengkus sinis. Ini bisa dijadikan untuk ditunjukkan ke Bang Yudha dan Bang Revan. Selama ini penilaian mereka pada Mas Firman sangat baik sekali. Aku ingin tahu seperti apa reaksi mereka nantinya.
Langkah awal adalah mengganti kedudukan Mas Firman di perusahaan ini. Bila perlu, tendang sekalian dari hidup dan perusahaanku.
Mereka terlalu asyik memadu mesra. Hingga tidak menyadari ada dua pasang mata tengah menyaksikan perbuatan busuk mereka.
"Aku kerja dulu ya, Mas. Kalau kelamaan di sini, takutnya karyawan lain bisa curiga lagi."
"Mas masih pengen berduaan sama kamu," Nyaris ingin muntah rasanya mendengar suara manja Mas Firman.
Tidak tidak, aku harus sabar. Dengan bertindak kasar dan bar bar, hanya akan menjatuhkan citraku sebagai wanita berkelas. Toh, hanya sampah yang pantas bersanding dengan sampah.
"Nanti sepulang kantor kan bisa sih, Mas. Mumpung Gorilla itu kan nggak ada, kita masih bisa terus puas bercinta."
__
Aku memainkan gawai sambil menyesap ice cappucino dari sedotan. Kebiasaan Bang Yudha iitu, kalau sudah janjian, pasti selalu ngaret.
Tak lama berselang, sosok bertubuh tegap itu muncul celingukan di pintu masuk coffee shop. Aku segera melambaikan tangan.
"Ada apa sih adek bontot abang yang gembul ini tiba-tiba ngajak ketemuan, hum?" ujarnya sambil mengacak pelan rambutku.
"Ih, abang, apaan sih. Rambutku rusak, tau!" cebikku kesal. Kebiasaan Bang Yudha memang begitu sejak kecil. Sedari dulu, siapa saja yang mengejekku, dia orang terdepan untuk pasang badan. Aku ingin lihat seperti apa reaksinya, jika mengetahui adik bungsunya dihianati oleh orang kepercayaannya.
"Pesan makanan dulu deh, Bang. Biar aku yang traktir."
"Cieee, adik abang mau nraktir nih? Tapi, abang udah makan, tadi Kak Vera masak udang asam manis. Kopi aja,deh."
"Pantesan Zahwa betah di sana. Budenya selalu masak enak ternyata," ujarku sembari melambaikan tangan ke arah waitress yang berdiri di depan meja barista.
"Lagian anak kamu itu juga kalau di rumah kan nggak ada temen. Katanya dia bosen di Singapore. Dia minta sekolah di sini, tinggal sama abang katanya."
"Itu sih urusan nanti lah, Bang. Ada hal yang lebih penting."
Alis tebalnya bertaut di tengah. "Sepertinya serius."
"Sangat serius, Bang. Tentang Mas Firman."
"Kenapa dengan Firman? Kamu bertengkar dengan dia?" tanya pria berkaos navy itu, sembari jemarinya menari mengaduk kopi yang baru saja diantar pelayan wanita tadi.
"Mas lihat dan dengar sendiri aja. Aku punya rekaman video dan suara percakapannya," Kusodorkan ponsel ke hadapan Bang Yudha.
Matanya membelalak menyaksikan adegan yang diputar di video ponselku.
"I-ini Firman?"
Aku mengangguk.
"Kamu dapat dari mana video ini?"
"Aku yang merekamnya sendiri, Bang."
"Gimana ceritanya?"
Aku menarik napas panjang sebelum memulai bicara. Semoga saja aku tidak sampai menangis di sini, di hadapan Bang Yudha.
"Aku balik ke Jakarta tadi pagi, sengaja nggak ngabarin Mas Firman. Maksudku mau ngasih surprise gitu. Jadi,dari bandara aku langsung ke kantor. Begitu Mas Firman datang, aku ngumpet di kolong bawah meja kantor Papa. Sayangnya, tujuan untuk ngasih surprise, malah aku yang terkejut bukan main."
Tangan Bang Yudha mengepal keras, hingga menonjolkan urat-urat di tangannya, begitu mendengarkan rekaman suara berikutnya.
"Breng*ek!"
Braaak.
Aku terlonjak kaget karena Bang Yudha refleks menggebrak meja.
"Bang, sabar, sabar, tahan emosi. Malu, diliatin orang tuh," Mataku bergerak ke sekeliling. Puluhan pasang mata menatap sinis ke arah kami.
"Ini nggak bisa dibiarin. Bajin*an itu harus diberi pelajaran."
"Entahlah, Bang. Aku nggak tahu harus berbuat apa. Intinya, abang sebagai komisaris utama pengganti Papa, harus segera bertindak cepat untuk menggeser posisi Mas Firman."
Bang Yudha terdiam sejenak. Sambil terus mengaduk kopi di depannya, ia tertegun berpikir.
"Kita bicarakan di rumah. Dan masalah dia menghina fisikmu, biar Kak Vera yang bantu mengatasinya."
"Maksud Abang?"
"Nggak usah banyak tanya! Kamu mau membalas perbuatan suamimu nggak?"
Aku mengangguk dengan ekspresi bingung.
"Ya, udah. Yuk, ikut Abang pulang!"
Sepanjang perjalanan, aku hanya duduk diam. Pandangan kulemparkan ke luar jendela, menatap lalu lalang orang-orang yang kebasahan karena hujan yang membasahi mereka.
Satu pemandangan yang mengusikku ketika mobil Bang Yudha berhenti di lampu merah. Sepasang pemulung, duduk di emperan toko kosong. Begitu mesranya ia menyuapkan nasi dengan tangannya, ke mulut sang istri. Setelah itu, nasi tersebut disuapkan ke mulut balita lelaki yang didudukkan begitu saja tanpa alas.
Tawa mengembang di wajah kedua pasangan itu. Sedangkan balita lelaki itu melonjak-lonjak senang. Ada bahagia terpancar di sana. Meski miskin, tapi tersirat kebahagiaan di wajah mereka. Tak peduli cipratan hujan yang sesekali terlihat menyentuh tubuh mereka.
Kebahagiaan itu sederhana. Tidak mesti bergelimang harta. Toh, aku memiliki segalanya, tapi rumah tanggaku sudah bisa diramalkan akan berujung ke mana.
"Jane …!" panggil Bang Yudha, pelan.
"Hum," Aku tersentak dari asyiknya menawatap pemandangan yang membuatku iri tadi.
"Kamu liatin apa, sih? Serius banget kayaknya."
"Ah, nggak ada apaapa, kok, Bang."
Meski mimik wajah Bang Yudha menunjukkan rasa tak puas, mau tak mau ia harus menjalankan mobilnya. Karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau.
Sesampai di rumah Bang Yudha, kedatanganku disambut Kak Vera-- istri Bang Yudha.
"Apa kabar, Jennifer?" tanyanya sembari memelukku erat.
"Alhamdulillah baik, Kak."
"Langsung makan, yuk! Kakak masak udang asam manis kesukaan kamu dan Zahwa."
Aku tersenyum kecut. Biasanya aku begitu antusias kalau mendengar udang asam manis. Apalagi kalau Kak Vera yang masak. Kakak ipar yang satu ini memang jago sekali memasak. Tak salah, jika usaha kuliner mereka berkembang pesat.
"Kenapa, kamu nggak suka, Jane?" Tersirat kekecewaan di wajah oval Kak Vera.
"Bukan gitu, Kak. Tapi, aku lagi badmood aja."
"Mendingan kita duduk dulu. Biar abang ceritain semua ke kamu," ajak Bang Yudha menengahi.
Bang Yudha menceritakan semuanya kepada Kak Vera. Kak Vera sampai terngaga mendengar penjelasan sang suami.
"Astaghfirullah, kurang aj*r banget sih si Firman itu," ujarnya geram.
"Kamu bisa bantu Jane supaya lebih kurus dan jauh lebih cantik nggak, Sayang?"
"Tenang, Bang. Aku akan minta bantuan Rossa. Kebetulan dia lagi ada di Jakarta. Bentar ya," Kak Vera meraih gawainya di atas meja. Lalu, menelepon Kak Rossa-- istri Bang Revan.
"Oke, masalah body dan kecantikan, abang serahkan ke kakak kamu ini ya. Soal perusahaan, baru serahkan ke abang. Kita akan membuat benalu itu menyesal atas perbuatannya."
*****
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! PART 3"Oke, masalah body dan kecantikan, abang serahkan ke kakak kamu ini ya. Soal perusahaan, baru serahkan ke abang. Kita akan membuat benalu itu menyesal atas perbuatannya."Aku sangat bersyukur karena masih memiliki dua orang kakak lelaki dan istri-istri mereka yang dapat menjadi tempatku berlindung. Jika tidak, entahlah. "Jane!""Hum," Aku terhenyak kaget."Kita berangkat sekarang. Rossa udah nunggu di pusat kebugaran langganannya. Setelah itu, kakak akan bawa kamu ke salon langganan kakak. Kamu akan kakak make-over, Jane," ujar Kak Vera seraya menyambar kunci mobil di buffet yang diimpor langsung dari Cina. Kakak iparku yang satu ini memang hobi mengoleksi barang-barang antik.Sesampai di tempat fitness, Kak Rossa sudah menunggu di sana. Tampak ia tengah berbicara dengan seorang pria bertubuh atletis."Rossa!" panggil Kak Vera.Sontak Kak Rossa dan lelaki itu menoleh, kemudian bangkit untuk menyambut kami."Hai, Kak Ver. Hai, Jane, kamu apa kabar?
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!PART : 4"Ini, ini, Bu Jennifer atau Bu Jane, istri dari Pak Firman, direktur perusahaan ini. Bu Jane juga anak dari Pak Irawan Bramantyo, Komisaris Utama Bram Corporation," jelas Yati.Sontak saja mata ketiga wanita itu nyaris ke luar dari sarangnya."Apaaa?""Yang bener kamu, Mbak Yati," tanya wanita yang tadi paling kencang memprovokasi Lina untuk menghajarku. Sedangkan Lina menatapku sekejap, kemudian menunduk dalam."Mamp*s kita," Salah seorang temannya yang tadi begitu garang menantangku, menyembunyikan wajahnya di balik punggung pelakor yang ternyata bernama Lina itu."Sudah tahu siapa saya kan?"Ketiga wanita itu semakin menundukkan kepala."Kalian bertiga, saya tunggu di ruangan direktur. Se-ka-rang!" Aku melangkah ke luar, dengan bibir yang tersungging senyum puas. Baru permulaan.Mas Firman terkejut, melihat di balik pintu yang membuka, aku berdiri dengan tangan terlipat di dada.Lelaki beralis tebal itu menatapku dalam. "Jane, i-itu kamu?"Aku
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! Part : 5"Tapi, tadi aku benar-benar nggak sengaja, Mas."Aku yang tengah berdiri menghadap rak buku, sontak berbalik mendengar sebutan Lina kepada Mas Firman barusan. Kemudian gegas aku berjalan menghampiri gadis berambut panjang itu."Apa? Tadi kamu memanggil atasanmu dengan sebutan apa? Mas?""Eng, anu, bukan begitu, Bu Jane. Saya salah panggil. Maksud saya "Pak". Maaf, Bu. Saya nggak ada maksud apa-apa.""Oh ya, salah panggil? Apa pemicu kamu bisa salah panggil?"Lina kelabakan. Matanya menatap lantai, tapi terlihat bola matanya bergerak ke sana ke mari, bingung."Sudahlah, Sayang. Jangan dibahas masalah sepele seperti ini. Dia cuma salah panggilan aja. Mungkin dia sedang banyak masalah," Mas Firman menengahi.Alisku bertaut dan menatap suamiku itu dalam. Lekas Mas Firman memalingkan wajahnya, tak berani membalas tatapanku. Konon katanya, orang yang menyimpan kebohongan, tidak berani membalas tatapan lawan bicaranya."Kata HRD, Lina ini janda beranak
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!PART : 6"Nih, lihat!" Kuarahkah kamera depan ponselku pada Mas Firman, sebagai pengganti cermin.Matanya membelalak melihat bayangannya di kamera ponselku."Astaga, ini, ini, …. "Kutarik kerah bajunya, hingga wajah kami berjarak beberapa senti saja. Mataku menjelajah setiap inci netra bermanik hitam itu. Kegelisahan tersirat jelas di sana. Jakun Mas Firman pun bergerak turun karena meneguk ludah."Coba jelaskan, itu bekas bibir siapa?" Lelaki berusia empat puluh tiga tahun itu meneguk ludah untuk ke sekian kalinya."Anu, itu-- ""Jawab!" Mas Firman terlonjak kaget. Pasti ia tidak menyangka, aku bisa sekasar ini. Karena sebelumnya, aku adalah sosok lembut dan nyaris tidak pernah marah.Kulepaskan cengkeramanku pada kerah bajunya dengan gerakan sedikit mendorong."Udahlah, Mas, aku capek. Tak ada gunanya juga memaksamu," Mas Firman masih berdiri melongo, melihatku meninggalkannya begitu saja.Cepat kututup pintu kamar mandi kemudian menguncinya dari dala
PART : 7Kukenakan kimono dengan tergesa, kemudian melangkah ke luar kamar. "Maaf, Mas, aku nggak bisa!""Tapi, kenapa!"Aku ke luar dan menutup pintu, tanpa mempedulikan kebingungannya.Zahwa yang tengah membaca buku sambil mendengarkan musik, tersentak karena kehadiranku."Mama," Gadis yang mulai beranjak remaja itu membuka earphone di telingannya."Maaf, Sayang, mama ganggu ya?"Ia tertawa. Terlihat barisan gigi-giginya berderet rapi. "Apaan sih, Ma. Mana mungkin aku merasa terganggu."Perlahan aku naik ke atas ranjang. Zahwa mirip sekali denganku dulu. Lebih suka berdiam di kamar, membaca buku sambil mendengarkan musik. Penampilan tomboynya juga sepertinya menurun dariku. Zahwa juga tidak seperti gadis remaja kebanyakan. Yang menghabiskan waktu dengan nongkrong di mall atau kafe. Menghabiskan uang untuk shopping. Padahal kalau dia mau, bisa saja. Toh, secara finansial, Zahwa terlahir dari keluarga mampu."Mama …."Lamunanku buyar. "Ya, Sayang.""Mama beda banget sekarang. Jauh le
Happy reading 🥳PART 8POV FIRMAN"Selamat siang, Pak Firman. Ini calon sekretaris baru Bapak sudah datang," ujar Shinta, tim marketing yang bertindak sebagai sekretaris sementara, pengganti Ayu yang resign karena melahirkan."Suruh dia masuk sekarang.""Baik, Pak."Tak lama berselang, wanita cantik bertubuh langsing namun padat berisi masuk ke ruangan. Melihat penampilan calon sekretaris baruku yang serba ketat hingga membentuk setiap lekuk tubuhnya, darahku mendadak berdesir. Astaga, perasaan apa ini?"Selamat siang, Pak," ucapan seraya menunduk hormat."Selamat siang. Silahkan duduk!" Wanita berparas ayu dengan rambut hitam tergerai itu, duduk tepat di hadapanku. Hanya sebuah meja yang menjadi penghalang di tengah kami."Sudah pernah bekerja menjadi sekretaris sebelumnya?" "Sudah, Pak, di perusahaan pertambangan selama empat tahun."Konsentrasiku buyar melihat pesona gadis bernama Karlina itu. Berkali-kali kubenahi duduk yang mulai gelisah, saat melontarkan beberapa pertanyaan.
PART : 9 "Satu lagi," Lina menguraikan pelukannya. Dahiku mengernyit. "Apa itu?" "Kamu harus segera menikahiku dan tinggalkan gorila itu. Aku nggak mau digantung seperti ini. Kalau nggak, aku akan menyebarkan semua bukti perselingkuhan kita pada istrimu." Aku diam tak menjawab. Permintaan yang sulit untuk dipenuhi sebenarnya. Jane--anak komisaris utama, dan perusahaan ini memiliki cabang dalam berbagai bidang. Apapun ceritanya, Jane pasti memiliki bagian yang cukup besar. Terlebih Papa sedang sakit-sakitan saat ini. Umur tidak ada yang tahu. Kondisinya yang terus menerus menurun, bisa saja semakin memburuk dan … meninggal. Sementara aku belum mendapatkan apa-apa. Tentu saja aku keberatan. Toh, aku juga memiliki andil atas kemajuan perusahaan ini. "Mas!" "Ya!" Aku tersentak kaget, ketika Lina mencubit perutku. "Kenapa diam? Jawab dong pertanyaanku tadi." "Mas belum bisa menjawab apa-apa. Saat ini kita jalani aja dulu, sambil mas memikirkan cara untuk meninggalkan si gendut
Rasa curiga mulai menyergap. Tapi, tak berani untuk bertanya apalagi memeriksa ponselnya. Benda berlayar sentuh itu hampir tak pernah lepas dari genggamannya."Mas," Suara manja Lina menyadarkanku dari lamunan. "Hum," jawabku, malas. Pikiran ini masih menerawang tentang Jane.Lina yang duduk di pinggir meja kerjaku, menelengkan kepalanya."Kamu kenapa, Mas? Sakit?" Tangannya diletakkan di atas dahiku. Namun, dengan cepat kutepis."Apaan sih kamu, Lin?""Kamu aneh deh, Mas. Kamu sakit?" Lagi, Lina mencoba meraba pipiku.Aku berdecak sebal. "Nggak, aku nggak sakit. Aku cuma lagi nggak pengen diganggu."Lina menatapku nyalang. "Kamu kok ketus begitu sih, Mas? Aku perhatikan, sejak kepulangan si gorilla, kamu jadi berubah.""Jaga bicaramu, Lina. Dia masih istriku. Atasan kamu di perusahaan ini."Wajah Lina berubah murung. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kamu bentak aku, Mas?"Kuhela napas kasar. Terbersit rasa kasihan sebenarnya. Tapi, Jane benar-benar sedang sangat mengganggu pikiranku saat