Share

Chapter 2

Jangan lupa subscribe sebelum membaca yaa🥳

Aku mendengkus sinis. Ini bisa dijadikan untuk ditunjukkan ke Bang Yudha dan Bang Revan. Selama ini penilaian mereka pada Mas Firman sangat baik sekali. Aku ingin tahu seperti apa reaksi mereka nantinya.

Langkah awal adalah mengganti kedudukan Mas Firman di perusahaan ini. Bila perlu, tendang sekalian dari hidup dan perusahaanku.

Mereka terlalu asyik memadu mesra. Hingga tidak menyadari ada dua pasang mata tengah menyaksikan perbuatan busuk mereka.

"Aku kerja dulu ya, Mas. Kalau kelamaan di sini, takutnya karyawan lain bisa curiga lagi."

"Mas masih pengen berduaan sama kamu," Nyaris ingin muntah rasanya mendengar suara manja Mas Firman. 

Tidak tidak, aku harus sabar. Dengan bertindak kasar dan bar bar, hanya akan menjatuhkan citraku sebagai wanita berkelas. Toh, hanya sampah yang pantas bersanding dengan sampah.

"Nanti sepulang kantor kan bisa sih, Mas. Mumpung Gorilla itu kan nggak ada, kita masih bisa terus puas bercinta."

__

Aku memainkan gawai sambil menyesap ice cappucino dari sedotan. Kebiasaan Bang Yudha iitu, kalau sudah janjian, pasti selalu ngaret.

Tak lama berselang, sosok bertubuh tegap itu muncul celingukan di pintu masuk coffee shop. Aku segera melambaikan tangan.

"Ada apa sih adek bontot abang yang gembul ini tiba-tiba ngajak ketemuan, hum?" ujarnya sambil mengacak pelan rambutku. 

"Ih, abang, apaan sih. Rambutku rusak, tau!" cebikku kesal. Kebiasaan Bang Yudha memang begitu sejak kecil. Sedari dulu, siapa saja yang mengejekku, dia orang terdepan untuk pasang badan. Aku ingin lihat seperti apa reaksinya, jika mengetahui adik bungsunya dihianati oleh orang kepercayaannya.

"Pesan makanan dulu deh, Bang. Biar aku yang traktir."

"Cieee, adik abang mau nraktir nih? Tapi, abang udah makan, tadi Kak Vera masak udang asam manis. Kopi aja,deh."

"Pantesan Zahwa betah di sana. Budenya selalu masak enak ternyata," ujarku sembari melambaikan tangan ke arah waitress yang berdiri di depan meja barista.

"Lagian anak kamu itu juga kalau di rumah kan nggak ada temen. Katanya dia bosen di Singapore. Dia minta sekolah di sini, tinggal sama abang katanya."

"Itu sih urusan nanti lah, Bang. Ada hal yang lebih penting."

Alis tebalnya bertaut di tengah. "Sepertinya serius."

"Sangat serius, Bang. Tentang Mas Firman."

"Kenapa dengan Firman? Kamu bertengkar dengan dia?" tanya pria berkaos navy itu, sembari jemarinya menari mengaduk kopi yang baru saja diantar pelayan wanita tadi.

"Mas lihat dan dengar sendiri aja. Aku punya rekaman video dan suara percakapannya," Kusodorkan ponsel ke hadapan Bang Yudha.

Matanya membelalak menyaksikan adegan yang diputar di video ponselku.

"I-ini Firman?"

Aku mengangguk.

"Kamu dapat dari mana video ini?"

"Aku yang merekamnya sendiri, Bang."

"Gimana ceritanya?"

Aku menarik napas panjang sebelum memulai bicara. Semoga saja aku tidak sampai menangis di sini, di hadapan Bang Yudha.

"Aku balik ke Jakarta tadi pagi, sengaja nggak ngabarin Mas Firman. Maksudku mau ngasih surprise gitu. Jadi,dari bandara aku langsung ke kantor. Begitu Mas Firman datang, aku ngumpet di kolong bawah meja kantor Papa. Sayangnya, tujuan untuk ngasih surprise, malah aku yang terkejut bukan main."

Tangan Bang Yudha mengepal keras, hingga menonjolkan urat-urat di tangannya, begitu mendengarkan rekaman suara berikutnya.

"Breng*ek!"

Braaak.

Aku terlonjak kaget karena Bang Yudha refleks menggebrak meja.

"Bang, sabar, sabar, tahan emosi. Malu, diliatin orang tuh," Mataku bergerak ke sekeliling. Puluhan pasang mata menatap sinis ke arah kami. 

"Ini nggak bisa dibiarin. Bajin*an itu harus diberi pelajaran."

"Entahlah, Bang. Aku nggak tahu harus berbuat apa. Intinya, abang sebagai komisaris utama pengganti Papa, harus segera bertindak cepat untuk menggeser posisi Mas Firman."

Bang Yudha terdiam sejenak. Sambil terus mengaduk kopi di depannya, ia tertegun berpikir. 

"Kita bicarakan di rumah. Dan masalah dia menghina fisikmu, biar Kak Vera yang bantu mengatasinya."

"Maksud Abang?"

"Nggak usah banyak tanya! Kamu mau membalas perbuatan suamimu nggak?"

Aku mengangguk dengan ekspresi bingung.

"Ya, udah. Yuk, ikut Abang pulang!"

Sepanjang perjalanan, aku hanya duduk diam. Pandangan kulemparkan ke luar jendela, menatap lalu lalang orang-orang yang kebasahan karena hujan yang membasahi mereka.

Satu pemandangan yang mengusikku ketika mobil Bang Yudha berhenti di lampu merah. Sepasang pemulung, duduk di emperan toko kosong. Begitu mesranya ia menyuapkan nasi dengan tangannya, ke mulut sang istri. Setelah itu, nasi tersebut disuapkan ke mulut balita lelaki yang didudukkan begitu saja tanpa alas. 

Tawa mengembang di wajah kedua pasangan itu. Sedangkan balita lelaki itu melonjak-lonjak senang. Ada bahagia terpancar di sana. Meski miskin, tapi tersirat kebahagiaan di wajah mereka. Tak peduli cipratan hujan yang sesekali terlihat menyentuh tubuh mereka. 

Kebahagiaan itu sederhana. Tidak mesti bergelimang harta. Toh, aku memiliki segalanya, tapi rumah tanggaku sudah bisa diramalkan akan berujung ke mana.

"Jane …!" panggil Bang Yudha, pelan.

"Hum," Aku tersentak dari asyiknya menawatap pemandangan yang membuatku iri tadi.

"Kamu liatin apa, sih? Serius banget kayaknya."

"Ah, nggak ada apaapa, kok, Bang."

Meski mimik wajah Bang Yudha menunjukkan rasa tak puas, mau tak mau ia harus menjalankan mobilnya. Karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau.

Sesampai di rumah Bang Yudha, kedatanganku disambut Kak Vera-- istri Bang Yudha.

"Apa kabar, Jennifer?" tanyanya sembari memelukku erat.

"Alhamdulillah baik, Kak."

"Langsung makan, yuk! Kakak masak udang asam manis kesukaan kamu dan Zahwa."

Aku tersenyum kecut. Biasanya aku begitu antusias kalau mendengar udang asam manis. Apalagi kalau Kak Vera yang masak. Kakak ipar yang satu ini memang jago sekali memasak. Tak salah, jika usaha kuliner mereka berkembang pesat.

"Kenapa, kamu nggak suka, Jane?" Tersirat kekecewaan di wajah oval Kak Vera.

"Bukan gitu, Kak. Tapi, aku lagi badmood aja."

"Mendingan kita duduk dulu. Biar abang ceritain semua ke kamu," ajak Bang Yudha menengahi.

Bang Yudha menceritakan semuanya kepada Kak Vera. Kak Vera sampai terngaga mendengar penjelasan sang suami.

"Astaghfirullah, kurang aj*r banget sih si Firman itu," ujarnya geram.

"Kamu bisa bantu Jane supaya lebih kurus dan jauh lebih cantik nggak, Sayang?" 

"Tenang, Bang. Aku akan minta bantuan Rossa. Kebetulan dia lagi ada di Jakarta. Bentar ya," Kak Vera meraih gawainya di atas meja. Lalu, menelepon Kak Rossa-- istri Bang Revan.

"Oke, masalah body dan kecantikan, abang serahkan ke kakak kamu ini ya. Soal perusahaan, baru serahkan ke abang. Kita akan membuat benalu itu menyesal atas perbuatannya."

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nova Indriati
tiap berbayar ini mlah double2 kalimat ...g seru buang2 part aja.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status