Share

Chapter 3

KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! 

PART 3

"Oke, masalah body dan kecantikan, abang serahkan ke kakak kamu ini ya. Soal perusahaan, baru serahkan ke abang. Kita akan membuat benalu itu menyesal atas perbuatannya."

Aku sangat bersyukur karena masih memiliki dua orang kakak lelaki dan istri-istri mereka yang dapat menjadi tempatku berlindung. Jika tidak, entahlah. 

"Jane!"

"Hum," Aku terhenyak kaget.

"Kita berangkat sekarang. Rossa udah nunggu di pusat kebugaran langganannya. Setelah itu, kakak akan bawa kamu ke salon langganan kakak. Kamu akan kakak make-over, Jane," ujar Kak Vera seraya menyambar kunci mobil di buffet yang diimpor langsung dari Cina. Kakak iparku yang satu ini memang hobi mengoleksi barang-barang antik.

Sesampai di tempat fitness, Kak Rossa sudah menunggu di sana. Tampak ia tengah berbicara dengan seorang pria bertubuh atletis.

"Rossa!" panggil Kak Vera.

Sontak Kak Rossa dan lelaki itu menoleh, kemudian bangkit untuk menyambut kami.

"Hai, Kak Ver. Hai, Jane, kamu apa kabar?" Kak Rossa memelukku sembari ber-cipika cipiki ria.

"Alhamdulillah sehat, Kak."

"Kakak udah dengar semua dari Kak Vera. Kamu yang kuat ya. Tenang aja, kakak dan Kak Vera akan terus dampingi kamu. Cara membalas dengan kekerasan udah nggak zaman lagi. Kamu cukup mempercantik diri dan membuat dia kembali miskin. Itu pembalasan terpahit buat penghianat seperti dia. Setuju nggak?"

"Setuju."

"Setuju banget," Lelaki yang perkiraanku adalah instruktur di fitness ini, ikut menyumbang suara.

"Oh ya, Steve, ini Jane-adik iparku yang kuceritakan tadi."

"Hai, aku Steven. Panggil aja Steve," ujarnya tersenyum ramah. Tangannya terulur ke arahku.

"Jennifer. Biasa dipanggil Jane," Aku menyambut uluran tangannya.

"Steve ini pemilik sekaligus instruktur fitness di sini. Kamu tahu kan dulu kakak segendut apa sehabis melahirkan kemarin?"

Aku mengangguk. Memang dulu selepas melahirkan anak keduanya, berat badan Kak Rossa melonjak hingga nyaris dua puluh kilo.

"Nah, sejak ikut fitness rutin dan mengikuti diet sehat yang dianjurkan oleh Steve, kakak bisa turun bahkan sampai dua puluh lima kilo lho."

Wow, dua puluh lima kilo? Kak Rossa aja bisa, masa iya aku nggak bisa.

~

Sejak sepulang dari Singapore, aku memilih untuk tidak pulang ke rumah. Menginap di rumah Bang Yudha menjadi pilihan, tanpa memberi tahu Mas Firman.

Kak Vera benar-benar merubah seluruh penampilanku. Jangankan Bang Yudha, bahkan aku sendiri tidak mengenali bayangan diri yang terpantul di cermin.

"Wow, ini beneran Jennifer-adik abang?" tanya Bang Yudha. Ia terpaku melihatku berjalan di samping Kak Vera-istrinya.

"Ih, Abang lebay, deh. Nggak usah lebay gitu deh, Bang. Aku geli, tau?" Disamping rasa risih karena tatapan Bang Yudha, ada perasaan tersipu juga. Benarkah aku begitu membuat pangling? Atau hanya caranya saja untuk menghibur?

"Mama?" Zahwa-putriku pun ikut-ikutan terpaku. Bibirnya sampai sedikit terbuka.

"Ck, ah, kalian ini sama aja," Tanganku mengibas. "Kompak buat menghiburku."

Kuhempaskan bokong di atas sofa. Kak Vera terkekeh melihatku salah tingkah.

"Apa kakak bilang? Kamu itu sebenarnya cantik, tahu! Cuma selama ini kamu terlalu cuek sama penampilan," imbuh Kak Vera.

"Zaman sekarang, cinta apa adanya itu cuma omong kosong. Penampilan oke dan uang banyak, itu yang menentukan. Di samping attitude yang baik juga dong ya," tambah kakak iparku itu lagi.

"Benar, Jane," timpal Bang Yudha. "Apalagi model benalu kayak Firman itu. Bohong banget kalau dia bilang menerima kamu apa adanya. Bullsh*t!"

Aku tercenung mendengar penuturan Bang Yudha dan istrinya itu. Selama ini, aku terlalu percaya dengan ketulusan semu Mas Firman. Ternyata semua hanya palsu.

"Abang udah menghubungi Revan. Dan abang juga udah ceritain semuanya ke dia."

Sebelah alisku terangkat. "Apa pendapat Bang Revan, Bang?"

"Tentu aja dia marah besar. Abang mana yang nggak marah, kalau adik perempuan satu-satunya disakiti oleh orang lain. Begitu juga abang dan Revan."

Mataku berkaca-kaca mendengar kedua kakak lelakiku begitu peduli. Benar kata orang, sebesar apa pun sebuah masalah, tetap keluarga tempat untuk kembali.

"Sudahlah, Jane. Nggak usah sedih. Kamu nggak akan mati kehilangan seorang Firman. Justru mungkin dia yang akan mati karena kehilangan kamu. Apalagi melihat perubahan penampilanmu yang jauh lebih cantik saat ini. Abang jamin, dia akan menyesal seumur hidup!"

~

Hari ini, aku berangkat ke kantor sendiri, menggunakan mobil mini sedan biru metalikku. Tanpa sopir, karena rasanya tidak memiliki privacy jika dalam satu mobil ada orang lain. 

Soal rencana pengalihan posisi direktur Mas Firman, masih ditahan oleh Bang Yudha. Karena menurutnya, untuk membuat pion catur mati langkah, harus dihadang jalannya terlebih dahulu.

Mereka sudah mengerahkan orang untuk memata-matai Mas Firman. Bahkan CCTV pun sudah dipasang di ruangan kerjanya. 

Selama ini sudah terpasang CCTV di setiap sudut rumah. Hanya saja, entah bagaimana caranya, Mas Firman selalu berhasil untuk tidak tertangkap oleh kamera CCTV saat sedang bersama wanita itu. 

Atau mungkin, Mas Firman memang tidak pernah membawa wanita itu ke dalam rumah? Rasa-rasanya tidak mungkin. Mengingat tidak ada orang lain yang tinggal di rumah. ART yang ada pun, datang pagi lalu pulang sore hari.

Kubelokkan mobil masuk ke area parkir khusus petinggi perusahaan. Mas Firman sama sekali tidak tahu akan kedatanganku. Mudah-mudahan saja, bisa memergoki langsung saat Mas Firman bersama wanita sia*an itu.

"Selamat pagi, Bu Jane," sapa beberapa karyawan. Hingga akhirnya aku melewati sekelompok wanita yang menatapku sinis. Salah satunya seperti tidak asing. Ah ya, pelakor itu.

Tanpa mempedulikan tatapan mereka, aku terus berjalan menuju lift. Di tengah menunggu lift tersebut, terdengar tiga orang wanita itu berkasak kusuk sambil tertawa.

Rasa tidak nyaman menghampiri. Sepertinya mereka tengah membicarakanku. Terlihat dari bayangan di pintu lift. Mereka belum tahu siapa yang ada di hadapan mereka. 

Dalam kurun waktu setahun saja, sudah banyak masuk karyawan baru. Baiklah, nanti kita kenalan. 

Mendadak perutku terasa mulas. Kuurungkan langkah menuju ruangan Mas Firman dan berbelok ke arah toilet wanita.

Suara cekikikan terdengar seiring suara pintu toilet yang membuka.

"Eh, siapa sih cewek gendut tadi? Songong banget gayanya."

Aku terkesiap. Pasti itu suara sekelompok perempuan di lift tadi.

"Tau, tuh. Sombong banget. Lagaknya udah kayak pemilik perusahaan aja," imbuh yang lainnya.

Kupasang telinga lebar-lebar. Sepertinya perempuan-perempuan itu minta diberi pelajaran.

"Ya, emang cantik sih mukanya. Gayanya juga oke. Sayangnya, badannya gendut kayak bab*, upppsss. Hahahaha …."

Darahku mulai mendidih. Mereka benar-benar belum tahu siapa aku.

Kudorong pintu bilik toilet dan terlihat tiga wanita tadi tengah bergunjing sambil menata riasan di cermin besar washtafel. Dan salah satunya … perempuan yang dicumbu oleh suamiku tempo hari. Ingin rasanya kujambak rambut perempuan itu. Tapi, teringat ucapan Kak Vera kemarin. Mau tidak mau harus kutahan perasaan emosi ini.

Sengaja aku menerobos mereka yang berkerumun, lalu mencuci tangan dengan santai di washtafel.

"Heh, siapa sih lo? Lo pegawai baru di sini ya? Belagu banget! Di situ ada washtafel kosong. Kenapa mesti di sini, huh? Sengaja mau cari ribut? Lo belum tahu siapa kita?" tantang si pelakor itu.

Aku tertawa sinis. "Emangnya kalian siapa?"

"Gue tuh sekretaris pribadi Bapak Firman Syahputra-direktur perusahaan ini. Dan ini temen-temen gue," jawabnya pongah, dengan tangan berkacak pinggang.

"Oh," sahutku singkat dengan membulatkan bibirku sembari membenahi rambut yang coklat burgundi-ku.

Tampak wanita berambut tergerai itu mulai terpancing emosi. Tiba-tiba, ia menarik lenganku hingga posisi berhadapan dengannya. Matanya membulat marah. 

"Haj*r, Lin!" ujar teman-temannya mengompori.

"Iya, emang minta dikasih pelajaran kayaknya nih anak baru."

Bibirku tersenyum miring. "Kalian belum tahu siapa 

saya?"

"Nggak penting kita kenal sama cewek gendut kayak lo. Yang penting saat ini, lo harus dikasih pelajaran."

Tangannya bersiap hendak menamparku, tapi dengan sigap kucekal pergelangan tangan wanita berambut hitam tersebut.

"Berani-beraninya lo ya," Tangannya memberontak, mencoba melepaskan pergelangan di dalam cengkeramanku.

Pintu membuka dan Yati-cleaning service yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun, masuk dengan alat-alat kebersihan di tangannya.

"Apa-apaan ini, Lina?" tanyanya dan begitu melihat ke arahku, sontak matanya membelalak.

"Astaga, Bu Jane," Yati langsung menunduk hormat.

"Kamu kenal sama dia, Mbak?" 

"Beri tahu mereka, Yati, tentang siapa aku!"

Tiga perempuan muda itu, menunjukan ekspresi wajah bingung. Setelah ini, kupastikan ekspresi mereka berubah menjadi memelas kasihan dan memohon ampun.

"Ini, ini, Bu Jennifer atau Bu Jane, istri dari Pak Firman, direktur perusahaan ini. Bu Jane juga anak dari Pak Irawan Bramantyo, Komisaris Utama Bram Corporation," jelas Yati.

Sontak saja mata ketiga wanita itu nyaris ke luar dari sarangnya.

"Apaaa?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status