KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!
PART : 4
"Ini, ini, Bu Jennifer atau Bu Jane, istri dari Pak Firman, direktur perusahaan ini. Bu Jane juga anak dari Pak Irawan Bramantyo, Komisaris Utama Bram Corporation," jelas Yati.
Sontak saja mata ketiga wanita itu nyaris ke luar dari sarangnya.
"Apaaa?"
"Yang bener kamu, Mbak Yati," tanya wanita yang tadi paling kencang memprovokasi Lina untuk menghajarku. Sedangkan Lina menatapku sekejap, kemudian menunduk dalam.
"Mamp*s kita," Salah seorang temannya yang tadi begitu garang menantangku, menyembunyikan wajahnya di balik punggung pelakor yang ternyata bernama Lina itu.
"Sudah tahu siapa saya kan?"
Ketiga wanita itu semakin menundukkan kepala.
"Kalian bertiga, saya tunggu di ruangan direktur. Se-ka-rang!"
Aku melangkah ke luar, dengan bibir yang tersungging senyum puas. Baru permulaan.
Mas Firman terkejut, melihat di balik pintu yang membuka, aku berdiri dengan tangan terlipat di dada.
Lelaki beralis tebal itu menatapku dalam. "Jane, i-itu kamu?"
Aku tersenyum sinis. "Nggak usah lebay deh, Mas. Emangnya apa yang membuat kamu nggak ngenalin aku? Badanku tetap aja sama, kayak gorila kan?"
Mendengar ucapanku, Mas Firman tampak gelagapan. Karena kata "gorila" itu, mereka gunakan untuk menyebutku.
"Ah, apa-apaan sih kamu, Sayang? Istri cantik begini, masa dibilang kayak gorila," Mas Firman berjalan mendekati, kemudian mencium keningku. Ingin sekali rasanya kutampar wajah yang penuh kemunafikan itu.
Mas Firman menatap bingung, ketika dengan cepat kudorong tubuhnya ke belakang.
"Kamu kenapa sih, Sayang? Kok aneh begitu?"
"Nggak apa-apa kok, Mas. Cuma lagi badmood aja. PMS kali ya."
"Zahwa mana?"
"Ada, di rumah Pakde-nya."
Mas Firman kembali mendekati wajahku. "Sayang, mas kangen," bisiknya.
Tiba-tiba, pintu membuka. Otomatis, Mas Firman langsung menarik kepalanya karena kaget.
"Ehem, ehem," Lina berdehem. Begitu melihat kemesraan kami, gadis itu memasang tampang cemberut. Pasti dia cemburu.
"Kamu ini nggak tahu sopan santun ya? Masuk ke ruangan direktur, bukannya ketuk pintu dulu, kok asal nyelonong aja," ujarku kesal. Kekesalanku bukan karena kemesraan tadi terganggu, tapi melihat ekspresi Mas Firman yang langsung merasa bersalah, ketika gundiknya memergoki dirinya hendak bermesraan dengan istri sahnya.
Cemburu? Tentu saja. Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, untuk mengayuh biduk rumah tangga. Lalu seseorang datang begitu saja untuk mengaramkan biduk tersebut.
Dan gadis cantik yang berdiri di hadapan saat ini, kutebak kisaran usianya sekitar dua puluhan. Sayang sekali, ia memilih jalan untuk menjadi duri dalam rumah tangga orang lain, yang notabene adalah atasannya sendiri.
"Minggir, Mas!"
Mata Mas Firman membulat kaget.
"Aku mau duduk, Mas, tolong minggir. Mas nggak lupa kan kursi ini milik siapa?"
Segera ia mengangkat bokongnya dari kursi direktur. Hari ini masih kursi, Mas, sebentar lagi kamu akan kucampakkan dari kursi kebesaran perusahaan.
Mas Firman memilih berdiri di samping meja sedangkan aku tentu saja langsung menduduki kursi yang dulu Papa desain khusus untuk ruangannya. Papa itu orangnya sangat perfectsionis. Semua harus serba sempurna dan nyaman.
"Ada apa kalian ke mari?" tanyanya pada tiga sekawanan itu.
"Aku yang memanggil mereka ke mari, Mas," potongku cepat.
"Kamu," Pelakor itu tersentak. "Sudah berapa lama kamu kerja di sini?"
"Enam bulan, Bu," jawabnya singkat. Matanya terus mengarah ke Mas Firman.
Kulirik dengan ekor mata. Lelaki yang masih berstatus suamiku itu pun membalas tatapan sang kekasih dengan penuh arti.
"Saya perhatikan, sepertinya kalian memiliki hubungan khusus?"
Mas Firman terhenyak. "Hu-hubungan apa sih, Sayang? Lina sekretarisku. Hubungan kami hanya sekedar atasan dan sekretaris aja. Nggak lebih!" bantahnya. Tapi, lagi-lagi mata Mas Firman kembali mencuri pandang.
"Oh ya?"
"Tentu aja, Jane. Jangan berprasangka yang macam-macam. Mas nggak mungkin menduakanmu."
Aku mendengkus sinis. Pandai sekali berkata-kata. Tanpa mereka ketahui, aku sudah menyaksikan sendiri perselingkuhan terkut*k itu. Sabar, Jane, sabar.
"Lalu apa tujuanmu memanggil mereka ke mari, Sayang?" Mas Firman mengalihkan pembicaraan.
"Aku mau mereka dipecat!"
"Dipecat? Tapi, kenapa?"
"Papaku membangun perusahaan ini susah payah. Dengan banjir keringat dan air mata. Jadi, karyawan di sini juga harus bekerja secara totalitas. Di samping itu attitude dan sopan santun juga harus dijunjung tinggi di sini."
"Maksud kamu apa sih, Jane? Mas nggak ngerti."
Aku menghela napas panjang.
"Mereka nggak tahu siapa aku. Mereka pikir, aku karyawan baru di sini. Mereka juga mengejekku cewek gendut, anak baru yang belagu. Bahkan mereka katanya mau memberiku pelajaran, Mas."
Ketiga wanita itu tertunduk dalam. Berbeda sekali dengan saat tadi sebelum mengenal siapa aku. Mereka begitu garang dan seakan memiliki kuasa di kantor ini.
"Ma-maafkan kami, Bu Jane," ujar salah satu dari mereka.
"Iya, Bu, maafkan kami. Kami janji tidak akan mengulanginya lagi," timpal seorang lagi.
Sedangkan pelakor itu, matanya justru berputar malas. Tak sepatah kata ke luar dari mulutnya. Namun mimik wajahnya tidak mengisyaratkan rasa bersalah sedikit pun.
"Maaf kalian diterima. Tapi, sayang, saya tidak bisa tetap mempekerjakan manusia seperti kalian di perusahaan ini. Jadi, maaf, kalian bertiga silahkan angkat kaki dari sini!"
Tiga sekawan itu serempak mengangkat kepala. "Tapi, Bu, kami kan sudah meminta maaf."
"Jane, jangan semena-mena. Seharusnya berikan mereka SP satu terlebih dulu. Jangan main pecat aja."
"Kamu sepertinya membela mereka banget deh, Mas. Ada apa sebenarnya?" Kuangkat dagu, menatap Mas Firman dengan mata membulat sempurna.
"Ng-nggak ada apa-apa sih, Sayang. Cuma kasihan aja sama mereka."
Aku berdiri dan berjalan memutari meja. Menatap mereka satu persatu yang semakin menekuk kepala.
"Tidak ada yang perlu dikasihani dari orang-orang yang krisis attitude seperti mereka. Terutama perempuan ini," Langkahku terhenti tepat di depan Lina--wanita perusak rumah tanggaku itu.
Ia membalas menatapku tajam. Berani sekali nyalinya ternyata.
"Kenapa Ibu sepertinya dendam sekali pada saya," tanyanya.
Aku tertawa seraya mendengkus sebal.
"Hei, kamu nggak usah playing victim ya. Kamu mendadak lupa ingatan atas apa perlakuanmu padaku tadi di toilet. Kamu lupa hampir mencoba menamparku tadi?"
"Apa, kamu hampir menampar Jane, Lina?" tanya Mas Firman tak percaya.
"Tapi, aku nggak sengaja. Aku kan nggak tahu kalau dia itu istri dari pemilik perusahaan."
"Dia bukan cuma sekedar istri saya di sini. Tapi, anak dari komisaris utama perusahaan ini, Lina," tegas Mas Firman dan membuat bibir gadis itu mencucu. Ia benar-benar marah untuk membelaku atau sekedar akting? Entahlah, aku tak tahu.
"Tapi, tadi aku benar-benar nggak sengaja, Mas."
Aku yang tengah berdiri menghadap rak buku, sontak berbalik mendengar sebutan Lina kepada Mas Firman barusan. Kemudian gegas aku berjalan menghampiri gadis berambut panjang itu.
"Apa? Tadi kamu memanggil suamiku dengan sebutan apa? Mas?"
*****
Berbagai cara kuupayakan untuk tetap bisa bercerai dari Mas Firman, kendati ia terus menolak. Sudah tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Bagiku, tidak ada penghianatan yang berhak untuk dimaafkan."Bukti-bukti semua sudah lengkap kan, Bu Jane?" tanya pengacara yang biasa menangani permasalahan di keluargaku."Sudah, Pak.""Baik lah, kita bersiap untuk sidang lanjutan perceraian Ibu.""Jane!" Aku pura-pura menatap kertas mendengar suara yang memanggilku. Itu suara Mas Firman."Jane!" panggilnya lagi dengan suara sedikit lebih tinggi.Steve menyikut lenganku. Ia memberi isyarat dengan matanya.Kuhela napas berat. Malas rasanya menanggapi lelaki satu ini."Apa lagi, Mas?""Aku ⦠Aku mohon, Jane, urungkan perceraian kita," Ia menangkupkan tangan di depan dada."Keputusanku sudah bulat. Kamu dan aku sudah tidak bisa bersama. Seharusnya kamu sadar itu, Mas.""Tapi-- ""Sudah cukup! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi darimu!""Ayo, Jane, giliran sidangmu," ujar pengacara berkulit putih itu
"Aku pergi dulu ya, Pa," pamitku sembari mencium dahi dan pipinya, berakhir dengan memeluk tubuh yang dulunya tegap, kini semakin kurus."Ya, Nak. Kamu hati-hati ya di jalan. Kalau sudah sampai, jangan lupa kabarin papa.""Baik, Pa. Aku pergi,ya, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Entah kenapa, ada yang berbeda kali ini. Seperti berat untuk melepaskan Papa sendiri, kendati ada Suster Lia yang sudah terbiasa menangani Papa dan juga ada Zahwa yang tidak bisa meninggalkan sekolahnya. Aku berangkat menuju bandara, menggunakan taksi yang juga bisa dipesan melalui aplikasi online, sama seperti di Jakarta.Di dalam taksi, pandanganku melayang ke luar jendela. Kenapa dengan perasaanku ya? Berkecamuk tak menentu. Jika bukan karena hari ini sidang pertama perceraianku dengan Mas Firman, tentu tidak mungkin aku meninggalkan lelaki yang paling kusayang itu, untuk ke sekian kalinya.Sesampai di bandara, aku segera check in, dan mengurus barang untuk disimpan di bagasi pesawat. Setelah itu, se
Aku segera merampas kertas di tangan Papa. Membaca isi kertas itu dan dugaanku benar. Pria licik ini membujuk Papa untuk menandatangani surat pengalihan kepemilikan perusahaan, menjadi atas namanya. Kertas itu kusobekkan menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertebaran di lantai dan kucampakkan ke atas."Apa-apaan kamu, Jane?" tanya Papa bingung. Matanya menatap kertas yang sudah berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang jatuh ke lantai seperti hujan."Papa jangan mau ditipu sama orang ini. Dia ini jahat, Pa. Dia penipu!" Kudorong bahu Mas Firman hingga terjengkang ke belakang."Penipu? Jahat? Apa sih maksud kamu?""Sebenarnya kami sedang dalam proses cerai, Pa. Dia sudah selingkuh dengan sekretarisnya di belakangku dan dia juga menggelapkan sebagian uang perusahaan."Papa menatapku lalu berpindah ke Mas Firman yang tertunduk lesu di pinggir ranjang."Benar begitu, Firman?" Mas Firman menggeleng cepat. "Nggak, Pa. Itu semua bohong! Aku nggak sejahat itu.""Halah, sudahlah, Mas! Ng
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!šš"Jadi, nggak usah macam-macam, Jane. Hidup papa kamu ada di tanganku sekarang," tukasnya pongah. "Jangan sombong kamu jadi orang, selagi hidupmu pun bergantung padaku dan keluargaku, Mas. Budayakan punya malu dikit, dong," Kudorong tubuhnya hingga mundur selangkah.Dengan kesal, aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjang dengan hati yang membatu marah. Tak kuduga, Mas Firman menyusulku masuk ke dalam kamar yang lupa untuk dikunci. Aku terperangah melihat pria itu berdiri dengan senyum yang entah."Ngapain kamu ke sini, Mas?""Memangnya kenapa? Kamu masih sah istriku. Itu artinya, aku masih berhak penuh atas dirimu," tukasnya penuh percaya diri.Aku mendengus sinis. "Pede banget jadi orang. Kamu dan aku itu sudah selesai, Mas. Hanya tinggal menunggu ketuk palu aja. Kalau bukan karena Papa, aku sudah nggak mau berurusan denganmu lagi."Mas Firman diam. Ia berjalan pelan ke arah ranjang tanpa sepatah kata."Kamu mau apa,
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!"Omong kosong! Telepon dia sekarang, biar Papa yang ngomong!""Tapi, Pa-- ""Telepon Firman, Jane! Se-ka-rang!"Mau tidak mau kubuka daftar kontak di aplikasi whatsapp, menekan tombol panggil. Terdengar suara nada sambung dari panggilan video tersebut."Halo, assalamualaikum, Jane.""Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu lagi apa? Aku kangen," ujarku."Ka-kangen?" Pasti Mas Firman kebingungan dengan ucapanku barusan.Aku melirik ke arah Papa. Ia tengah menatap dengan mata sendunya. Semoga aja Mas Firman bisa mengerti dengan maksudku barusan."Iya, Mas. Aku kangen. Oh ya, ini Papa mau ngomong sama kamu," Kualihkan panggilan video itu ke Papa."Halo, Firman, assalamualaikum," sapa Papa dengan suara serak dan pelan."Halo, Pa. Wa'alaikumsalam. Papa gimana keadaannya, udah sehat?"Papa terbatuk kecil. "Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sering ngedrop. Kamu kok nggak ikut ke mari bareng Jane dan Zahwa?"Aku memejamkan mata seraya meneguk ludah. Semoga saja Mas Firman tid
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! "Kalau begitu, suruh Firman besok datang ke mari. Papa kangen sama dia." "Tapi, Pa-- " "Nggak ada tapi-tapian! Suruh Firman datang ke sini besok, titik!" Aku dan Zahwa kembali saling pandang. Papa merupakan sosok yang tegas dan sulit untuk dibantah perintahnya. Tapi, bagaimana mungkin aku membawa Mas Firman ke sini. "Eyang, aku mau ke kamar dulu ya. Gerah, pengen mandi. Sekalian beresin barang-barang," pamit Zahwa. Papa mengangguk. Sebelum ke luar, Zahwa mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi kakeknya. "Eyang, cepat sembuh ya. Aku kangen jalan-jalan lagi sama Eyang." "Doain eyang ya, Nak." Zahwa mengangguk tersenyum, lalu beranjak ke luar. "Papa udah makan?" "Udah tadi sama suster." Kuraih tangannya dalam dekapan. Kemudian mencium punggung tangan itu. Lagi-lagi ada sesuatu yang berdenyut di dada. "Kamu pasti lagi ada masalah 'kan, Jane?" tebak Papa tepat. Aku menggeleng. "Nggak ada, Pa. Aku cuma kangen Papa. Aku terlalu sibuk dengan uru
Steve mengantarkanku dan Zahwa sampai ke bandara. Bang Yudha tidak bisa mengantar, karena ia sibuk mengurus perusahaan dan mengurus perceraianku dan Mas Firman. "Kamu diantar sama Steve aja ya. Abang sibuk ngurusin perusahaan abang yang di Surabaya. Besok ada meeting, ditambah persoalan pengalihan aset Firman menjadi milikmu dan perceraianmu juga. Diantar sama Steve aja ya," Begitu kata Bang Yudha tadi. Beruntung ada Steve yang selalu siap membantu. Meski entah ada apa di balik kebaikannya. 'Ah, tidak tidak', Cepat kutepis perasaan. Baru saja hati terluka. Mana mungkin sudah semudah itu aku membuka hati. Harusnya aku lebih hati-hati dalam menata perasaan ini. "Kamu hati-hati ya, Jane. Sampai sana kabarin aku langsung, ya?" Aku mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Steve. Kamu udah baik banget selama ini. Aku nggak bisa balas." Steve terbahak. "Apaan sih kamu? Lebay deh!" Pria blasteran Inggris-Indonesia itu menghampiri Zahwa. "Hai, Cantik. Nanti sampai sana, kamu wajib langsung
Steve tidak mau menyerah begitu saja. Ia bangkit dan membalas memukul orang asing yang menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya, jaket hoodie dan bertopi. Hanya dengan sekali sentak pukul saja, orang tersebut terjerembab ke belakang. Ia mengaduh sembari memegang perutnya yang dihantam bogem Steve tadi. Sontak jeritan pengunjung restoran terutama wanita, semakin riuh ketika orang asing tersebut terjatuh menghantam kursi. Steve berjongkok lalu membuka topi dan menarik paksa masker yang menutupi wajah orang asing tersebut. Astaga, Mas Firman! "Mas Firman?" "Papa?" Ia menundukkan kepala, sembari masih mengaduh kesakitan. "Ada apa ini?" Dua orang security menghampiri. "Orang ini tiba-tiba datang dan langsung memukul saya, ketika saya lagi makan," jelas Steve. "Ayo, ikut kami ke kantor untuk diproses." "Eng, sudah, tidak usah, Pak. Saya kenal orang ini. Biar saya selesaikan secara kekeluargaan," tukasku. "Mbak yakin?" "Ya, saya yakin sekali. Biar saya urus. Sekali lag
"Ini semua akibat keserakahanmu, Jane!" "Apa maksud Ibu?""Seandainya kamu tidak merebut villa dan empat kontrakan Firman, kami tidak sampai terlantar seperti ini. Bahkan bisa-bisanya Firman sampai tidak mengantongi sepeser uang pun. Karena deposito dan tabungannya juga ludes dirampas oleh abangmu.""Itu emang sudah semestinya. Karena anak Ibu sudah menggelapkan uang perusahaanku. Itu pun masih kurang jika harus menutupi semua yang diambil oleh anak Ibu itu," tandasku tak mau kalah.Ibu sontak terdiam. Sedangkan Bapak sejak tadi hanya diam, sibuk menghisap rokok kreteknya. Sehingga ruangan penuh dengan kepulan-kepulan asap."Masih untung anak Ibu itu nggak aku laporkan ke polisi. Atau nggak, mungkin saat ini dia sudah mendekam di balik jeruji besi.""Lagipula, ke mana hasil grosir dan warung jamu Ibu? Aku pikir, jika hanya untuk biaya sekolah Lastri dan kehidupan sehari-hari kalian, rasanya cukup. Kecuali ā¦.""Kecuali apa, Jane?" tukas Ibu ketus."Kecuali, jika untuk kebutuhan gaya