Share

Chapter 5

KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! 

Part : 5

"Tapi, tadi aku benar-benar nggak sengaja, Mas."

Aku yang tengah berdiri menghadap rak buku, sontak berbalik mendengar sebutan Lina kepada Mas Firman barusan. Kemudian gegas aku berjalan menghampiri gadis berambut panjang itu.

"Apa? Tadi kamu memanggil atasanmu dengan sebutan apa? Mas?"

"Eng, anu, bukan begitu, Bu Jane. Saya salah panggil. Maksud saya "Pak". Maaf, Bu. Saya nggak ada maksud apa-apa."

"Oh ya, salah panggil? Apa pemicu kamu bisa salah panggil?"

Lina kelabakan. Matanya menatap lantai, tapi terlihat bola matanya bergerak ke sana ke mari, bingung.

"Sudahlah, Sayang. Jangan dibahas masalah sepele seperti ini. Dia cuma salah panggilan aja. Mungkin dia sedang banyak masalah," Mas Firman menengahi.

Alisku bertaut dan menatap suamiku itu dalam. Lekas Mas Firman memalingkan wajahnya, tak berani membalas tatapanku. Konon katanya, orang yang menyimpan kebohongan, tidak berani membalas tatapan lawan bicaranya.

"Kata HRD, Lina ini janda beranak satu. Kalau kamu pecat dia, kasihan nanti anaknya gimana."

"Kamu kayaknya paham banget soal dia ya, Mas," tanyaku santai seraya menyeruput secangkir kopi di atas meja. 

"Ng-nggak begitu, Sayang. Kita pandang dari sisi kemanusiaannya aja."

Aku menatap Lina dari ujung rambut hingga kaki. Ternyata dia sudah janda dan memiliki anak. Apa alasan yang membuatnyanya menjadi janda? Seharusnya sebagai sesama perempuan dia memahami posisi sebagai aku.

"Baiklah, kamu nggak jadi saya pecat."

"Benarkah, Bu Jane?"

"Ya, tapi bukan sebagai sekretaris suami saya lagi."

Binar di wajah Lina sedikit memudar. "Lalu, saya bekerja sebagai apa, Bu?"

"Office girl," Kusesap lagi kopi hitam dengan santai, yang seharusnya untuk Mas Firman. Meski hati begitu bergemuruh, tetap tetap berusaha untuk bersikap santai dan elegan. Cara kekerasan hanya akan membuat citra seorang Jennifer sebagai wanita berkelas rusak. Pelan tapi pasti, namun mampu membuat lawan menggelepar.

Perempuan berhidung bangir itu ternganga lebar. "A-apa, Bu? Office girl?"

Kuletakkan cangkir kembali. "Ya, kalau kamu mau. Kalau tidak, silahkan ke luar dari sini."

"Tapi, Sayang--"

"Diam, Mas! Jangan ikut campur! Ini urusanku dan dia."

Mas Firman terdiam, lalu melangkah menuju sofa. Dihempaskan tubuhnya dengan raut kesal yang tergambar jelas di wajahnya.

"Bagaimana, Lina? Kamu setuju dengan penawaran saya?"

Lina terdiam sejenak. Pasti pilihan yang sangat sulit. Kalau memilih mundur, maka akan sulit untuk sering berduaan dengan Mas Firman. Sedangkan melihat gayanya dalam berpenampilan, apakah mungkin dia mau menerima tawaranku.

"Baik, Bu, saya mau," ucapnya mantap.

Dahiku terangkat, sedikit terkejut dan tak percaya. Wanita semodis ini bersedia menjadi seorang office girl? 

"Yakin kamu?"

"Ya, Bu, saya yakin."

"Baiklah kalau begitu. Saya harap kamu tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Karena ini kesempatan yang terakhir."

"Baik, Bu."

Kuangkat gagang telepon dan menghubungi bagian pantry. Kemudian memerintahkan Yati untuk datang ke ruangan.

Selang beberapa waktu, Yati masuk ke ruangan.

"Maaf, Bu Jane, tadi memanggil saya?"

"Ya, Yati. Mulai besok, Lina akan menjadi bawahan kamu."

"Lina? Bawahan saya?" Mimik wajahnya berubah bingung.

"Ya, mulai besok, dia akan bekerja sebagai office girl sama seperti kamu. Kamu ajari dia apa yang selama ini kamu kerjakan. Jangan segan-segan untuk laporkan kepada saya, kalau dia tidak becus dalam bekerja."

Meski bingung, Yati tetap mengangguk patuh. "Siap, Bu!"

"Baiklah, sudah clear. Dan kalian berdua, silahkan angkat kaki dari sini! Kalian sudah dipecat!"

~

Langit sore ini tampak mendung dan gelap. Rintik gerimis mulai turun. Suara gemericik airnya berlomba saling bersahutan di atas genteng balkon.

Kulayangkan pandangan ke daun yang basah karena ditimpa air hujan, sambil menyesap teh melati hangat. 

Mata mulai mengembun serentak dengan hati yang melenguh perih. Adegan mesra Mas Firman dengan Lina kemarin, kembali berputar di pelupuk mata. 

Apakah semua ini murni karena kesalahanku yang lebih memilih berbakti pada Papa? Apakah aku sendiri yang membuka celah, untuk Mas Firman mendua? Pasti alasan klise yang ke luar nantinya, jika Mas Firman ketahuan berselingkuh, yaitu kesepian.

Tapi, bukankah Mas Firman sendiri yang menyarankan agar aku yang mengurus Papa. Karena mengingat hanya aku yang tidak memiliki kesibukan apa pun dibandingkan Kak Vera dan Kak Rossa. Toh, akan lebih nyaman seorang ayah diurus oleh putri kandungnya sendiri.

Kutarik napas dalam dan menghelanya perlahan. Berharap rasa sesak ini berkurang. Ternyata tidak. Berkurang hanya sedikit, tapi kembali lagi menjadi gumpalan-gumpalan luka yang mulai berdarah dan bernanah.

Tes.

Air mata jatuh ke sudut bibir. Terasa asin. Namun lebih baik, daripada pahit dan nyeri yang kukecap saat ini.

Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Melirik sebentar, lalu kembali kulayangkan pandangan ke depan. Mas Firman!

Sebuah kecupan hangat diberikan Mas Firman dari samping. Seharusnya aku merasa bahagia diperlakukan seromantis ini. Apalagi di tengah hujan yang turun. Tapi, justru lukaku semakin mendenyut perih.

"Kamu kenapa, Sayang? Kamu nangis?"

Aku menggeleng. Diam tanpa sepatah kata. Tanganku cepat mengusap air mata yang mengalir. 

"Kamu sedih karena ingat Papa, hum?" Mas Firman meraih daguku, hingga kepala bergeser menghadapnya. Tapi, mata ini hanya mengarah ke langit-langit. Malas rasanya menatap mata penuh kebohongan itu.

"Ada yang lebih menyakitkan dari pada itu," jawabku dingin. Akhirnya mata kami bertemu pandang juga.

Alis tebal itu bertaut. "Siapa yang udah nyakitin kamu, Sayang."

Kudorong pelan tubuh yang cukup atletis itu. Kembali menatap hujan yang semakin deras.

"Aku pikir, seharusnya kamu tahu tanpa bertanya."

Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aduh, kamu apaan sih, Jane. Jangan bikin mas bingung dong."

"Udahlah, Mas, aku capek!" Aku berbalik hendak melangkah masuk. Tapi, langkahku terhenti begitu melihat ada bekas bibir di kerah kemeja putih Mas Firman.

"Bekas bibir siapa ini, Mas?" tanyaku penuh selidik.

Mas Firman bingung. "Bekas bibir? Bekas bibir apa maksud kamu?"

"Nih, lihat!" Kuarahkah kamera depan ponselku pada Mas Firman, sebagai pengganti cermin.

Matanya membelalak melihat bayangannya di kamera ponselku.

"Astaga, ini, ini, ā€¦. "

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nova Indriati
kalimat selalu d ulang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status