Share

Chapter 5

Author: Hana Makaira
last update Last Updated: 2022-12-22 20:06:22

KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! 

Part : 5

"Tapi, tadi aku benar-benar nggak sengaja, Mas."

Aku yang tengah berdiri menghadap rak buku, sontak berbalik mendengar sebutan Lina kepada Mas Firman barusan. Kemudian gegas aku berjalan menghampiri gadis berambut panjang itu.

"Apa? Tadi kamu memanggil atasanmu dengan sebutan apa? Mas?"

"Eng, anu, bukan begitu, Bu Jane. Saya salah panggil. Maksud saya "Pak". Maaf, Bu. Saya nggak ada maksud apa-apa."

"Oh ya, salah panggil? Apa pemicu kamu bisa salah panggil?"

Lina kelabakan. Matanya menatap lantai, tapi terlihat bola matanya bergerak ke sana ke mari, bingung.

"Sudahlah, Sayang. Jangan dibahas masalah sepele seperti ini. Dia cuma salah panggilan aja. Mungkin dia sedang banyak masalah," Mas Firman menengahi.

Alisku bertaut dan menatap suamiku itu dalam. Lekas Mas Firman memalingkan wajahnya, tak berani membalas tatapanku. Konon katanya, orang yang menyimpan kebohongan, tidak berani membalas tatapan lawan bicaranya.

"Kata HRD, Lina ini janda beranak satu. Kalau kamu pecat dia, kasihan nanti anaknya gimana."

"Kamu kayaknya paham banget soal dia ya, Mas," tanyaku santai seraya menyeruput secangkir kopi di atas meja. 

"Ng-nggak begitu, Sayang. Kita pandang dari sisi kemanusiaannya aja."

Aku menatap Lina dari ujung rambut hingga kaki. Ternyata dia sudah janda dan memiliki anak. Apa alasan yang membuatnyanya menjadi janda? Seharusnya sebagai sesama perempuan dia memahami posisi sebagai aku.

"Baiklah, kamu nggak jadi saya pecat."

"Benarkah, Bu Jane?"

"Ya, tapi bukan sebagai sekretaris suami saya lagi."

Binar di wajah Lina sedikit memudar. "Lalu, saya bekerja sebagai apa, Bu?"

"Office girl," Kusesap lagi kopi hitam dengan santai, yang seharusnya untuk Mas Firman. Meski hati begitu bergemuruh, tetap tetap berusaha untuk bersikap santai dan elegan. Cara kekerasan hanya akan membuat citra seorang Jennifer sebagai wanita berkelas rusak. Pelan tapi pasti, namun mampu membuat lawan menggelepar.

Perempuan berhidung bangir itu ternganga lebar. "A-apa, Bu? Office girl?"

Kuletakkan cangkir kembali. "Ya, kalau kamu mau. Kalau tidak, silahkan ke luar dari sini."

"Tapi, Sayang--"

"Diam, Mas! Jangan ikut campur! Ini urusanku dan dia."

Mas Firman terdiam, lalu melangkah menuju sofa. Dihempaskan tubuhnya dengan raut kesal yang tergambar jelas di wajahnya.

"Bagaimana, Lina? Kamu setuju dengan penawaran saya?"

Lina terdiam sejenak. Pasti pilihan yang sangat sulit. Kalau memilih mundur, maka akan sulit untuk sering berduaan dengan Mas Firman. Sedangkan melihat gayanya dalam berpenampilan, apakah mungkin dia mau menerima tawaranku.

"Baik, Bu, saya mau," ucapnya mantap.

Dahiku terangkat, sedikit terkejut dan tak percaya. Wanita semodis ini bersedia menjadi seorang office girl? 

"Yakin kamu?"

"Ya, Bu, saya yakin."

"Baiklah kalau begitu. Saya harap kamu tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Karena ini kesempatan yang terakhir."

"Baik, Bu."

Kuangkat gagang telepon dan menghubungi bagian pantry. Kemudian memerintahkan Yati untuk datang ke ruangan.

Selang beberapa waktu, Yati masuk ke ruangan.

"Maaf, Bu Jane, tadi memanggil saya?"

"Ya, Yati. Mulai besok, Lina akan menjadi bawahan kamu."

"Lina? Bawahan saya?" Mimik wajahnya berubah bingung.

"Ya, mulai besok, dia akan bekerja sebagai office girl sama seperti kamu. Kamu ajari dia apa yang selama ini kamu kerjakan. Jangan segan-segan untuk laporkan kepada saya, kalau dia tidak becus dalam bekerja."

Meski bingung, Yati tetap mengangguk patuh. "Siap, Bu!"

"Baiklah, sudah clear. Dan kalian berdua, silahkan angkat kaki dari sini! Kalian sudah dipecat!"

~

Langit sore ini tampak mendung dan gelap. Rintik gerimis mulai turun. Suara gemericik airnya berlomba saling bersahutan di atas genteng balkon.

Kulayangkan pandangan ke daun yang basah karena ditimpa air hujan, sambil menyesap teh melati hangat. 

Mata mulai mengembun serentak dengan hati yang melenguh perih. Adegan mesra Mas Firman dengan Lina kemarin, kembali berputar di pelupuk mata. 

Apakah semua ini murni karena kesalahanku yang lebih memilih berbakti pada Papa? Apakah aku sendiri yang membuka celah, untuk Mas Firman mendua? Pasti alasan klise yang ke luar nantinya, jika Mas Firman ketahuan berselingkuh, yaitu kesepian.

Tapi, bukankah Mas Firman sendiri yang menyarankan agar aku yang mengurus Papa. Karena mengingat hanya aku yang tidak memiliki kesibukan apa pun dibandingkan Kak Vera dan Kak Rossa. Toh, akan lebih nyaman seorang ayah diurus oleh putri kandungnya sendiri.

Kutarik napas dalam dan menghelanya perlahan. Berharap rasa sesak ini berkurang. Ternyata tidak. Berkurang hanya sedikit, tapi kembali lagi menjadi gumpalan-gumpalan luka yang mulai berdarah dan bernanah.

Tes.

Air mata jatuh ke sudut bibir. Terasa asin. Namun lebih baik, daripada pahit dan nyeri yang kukecap saat ini.

Sepasang tangan melingkar di pinggangku. Melirik sebentar, lalu kembali kulayangkan pandangan ke depan. Mas Firman!

Sebuah kecupan hangat diberikan Mas Firman dari samping. Seharusnya aku merasa bahagia diperlakukan seromantis ini. Apalagi di tengah hujan yang turun. Tapi, justru lukaku semakin mendenyut perih.

"Kamu kenapa, Sayang? Kamu nangis?"

Aku menggeleng. Diam tanpa sepatah kata. Tanganku cepat mengusap air mata yang mengalir. 

"Kamu sedih karena ingat Papa, hum?" Mas Firman meraih daguku, hingga kepala bergeser menghadapnya. Tapi, mata ini hanya mengarah ke langit-langit. Malas rasanya menatap mata penuh kebohongan itu.

"Ada yang lebih menyakitkan dari pada itu," jawabku dingin. Akhirnya mata kami bertemu pandang juga.

Alis tebal itu bertaut. "Siapa yang udah nyakitin kamu, Sayang."

Kudorong pelan tubuh yang cukup atletis itu. Kembali menatap hujan yang semakin deras.

"Aku pikir, seharusnya kamu tahu tanpa bertanya."

Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aduh, kamu apaan sih, Jane. Jangan bikin mas bingung dong."

"Udahlah, Mas, aku capek!" Aku berbalik hendak melangkah masuk. Tapi, langkahku terhenti begitu melihat ada bekas bibir di kerah kemeja putih Mas Firman.

"Bekas bibir siapa ini, Mas?" tanyaku penuh selidik.

Mas Firman bingung. "Bekas bibir? Bekas bibir apa maksud kamu?"

"Nih, lihat!" Kuarahkah kamera depan ponselku pada Mas Firman, sebagai pengganti cermin.

Matanya membelalak melihat bayangannya di kamera ponselku.

"Astaga, ini, ini, …. "

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nova Indriati
kalimat selalu d ulang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu!   38 - Jane Diculik

    Berbagai cara kuupayakan untuk tetap bisa bercerai dari Mas Firman, kendati ia terus menolak. Sudah tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Bagiku, tidak ada penghianatan yang berhak untuk dimaafkan."Bukti-bukti semua sudah lengkap kan, Bu Jane?" tanya pengacara yang biasa menangani permasalahan di keluargaku."Sudah, Pak.""Baik lah, kita bersiap untuk sidang lanjutan perceraian Ibu.""Jane!" Aku pura-pura menatap kertas mendengar suara yang memanggilku. Itu suara Mas Firman."Jane!" panggilnya lagi dengan suara sedikit lebih tinggi.Steve menyikut lenganku. Ia memberi isyarat dengan matanya.Kuhela napas berat. Malas rasanya menanggapi lelaki satu ini."Apa lagi, Mas?""Aku … Aku mohon, Jane, urungkan perceraian kita," Ia menangkupkan tangan di depan dada."Keputusanku sudah bulat. Kamu dan aku sudah tidak bisa bersama. Seharusnya kamu sadar itu, Mas.""Tapi-- ""Sudah cukup! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi darimu!""Ayo, Jane, giliran sidangmu," ujar pengacara berkulit putih itu

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu!   37 - Aku Nggak Mau Cerai, Jane!

    "Aku pergi dulu ya, Pa," pamitku sembari mencium dahi dan pipinya, berakhir dengan memeluk tubuh yang dulunya tegap, kini semakin kurus."Ya, Nak. Kamu hati-hati ya di jalan. Kalau sudah sampai, jangan lupa kabarin papa.""Baik, Pa. Aku pergi,ya, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Entah kenapa, ada yang berbeda kali ini. Seperti berat untuk melepaskan Papa sendiri, kendati ada Suster Lia yang sudah terbiasa menangani Papa dan juga ada Zahwa yang tidak bisa meninggalkan sekolahnya. Aku berangkat menuju bandara, menggunakan taksi yang juga bisa dipesan melalui aplikasi online, sama seperti di Jakarta.Di dalam taksi, pandanganku melayang ke luar jendela. Kenapa dengan perasaanku ya? Berkecamuk tak menentu. Jika bukan karena hari ini sidang pertama perceraianku dengan Mas Firman, tentu tidak mungkin aku meninggalkan lelaki yang paling kusayang itu, untuk ke sekian kalinya.Sesampai di bandara, aku segera check in, dan mengurus barang untuk disimpan di bagasi pesawat. Setelah itu, se

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu!   36 - Terbongkar Kebusukan Firman

    Aku segera merampas kertas di tangan Papa. Membaca isi kertas itu dan dugaanku benar. Pria licik ini membujuk Papa untuk menandatangani surat pengalihan kepemilikan perusahaan, menjadi atas namanya. Kertas itu kusobekkan menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertebaran di lantai dan kucampakkan ke atas."Apa-apaan kamu, Jane?" tanya Papa bingung. Matanya menatap kertas yang sudah berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang jatuh ke lantai seperti hujan."Papa jangan mau ditipu sama orang ini. Dia ini jahat, Pa. Dia penipu!" Kudorong bahu Mas Firman hingga terjengkang ke belakang."Penipu? Jahat? Apa sih maksud kamu?""Sebenarnya kami sedang dalam proses cerai, Pa. Dia sudah selingkuh dengan sekretarisnya di belakangku dan dia juga menggelapkan sebagian uang perusahaan."Papa menatapku lalu berpindah ke Mas Firman yang tertunduk lesu di pinggir ranjang."Benar begitu, Firman?" Mas Firman menggeleng cepat. "Nggak, Pa. Itu semua bohong! Aku nggak sejahat itu.""Halah, sudahlah, Mas! Ng

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu!   35 - Akhir Sandiwara

    KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!💜💜"Jadi, nggak usah macam-macam, Jane. Hidup papa kamu ada di tanganku sekarang," tukasnya pongah. "Jangan sombong kamu jadi orang, selagi hidupmu pun bergantung padaku dan keluargaku, Mas. Budayakan punya malu dikit, dong," Kudorong tubuhnya hingga mundur selangkah.Dengan kesal, aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjang dengan hati yang membatu marah. Tak kuduga, Mas Firman menyusulku masuk ke dalam kamar yang lupa untuk dikunci. Aku terperangah melihat pria itu berdiri dengan senyum yang entah."Ngapain kamu ke sini, Mas?""Memangnya kenapa? Kamu masih sah istriku. Itu artinya, aku masih berhak penuh atas dirimu," tukasnya penuh percaya diri.Aku mendengus sinis. "Pede banget jadi orang. Kamu dan aku itu sudah selesai, Mas. Hanya tinggal menunggu ketuk palu aja. Kalau bukan karena Papa, aku sudah nggak mau berurusan denganmu lagi."Mas Firman diam. Ia berjalan pelan ke arah ranjang tanpa sepatah kata."Kamu mau apa,

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu!   34 - Sandiwara Di depan Papa

    KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!"Omong kosong! Telepon dia sekarang, biar Papa yang ngomong!""Tapi, Pa-- ""Telepon Firman, Jane! Se-ka-rang!"Mau tidak mau kubuka daftar kontak di aplikasi whatsapp, menekan tombol panggil. Terdengar suara nada sambung dari panggilan video tersebut."Halo, assalamualaikum, Jane.""Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu lagi apa? Aku kangen," ujarku."Ka-kangen?" Pasti Mas Firman kebingungan dengan ucapanku barusan.Aku melirik ke arah Papa. Ia tengah menatap dengan mata sendunya. Semoga aja Mas Firman bisa mengerti dengan maksudku barusan."Iya, Mas. Aku kangen. Oh ya, ini Papa mau ngomong sama kamu," Kualihkan panggilan video itu ke Papa."Halo, Firman, assalamualaikum," sapa Papa dengan suara serak dan pelan."Halo, Pa. Wa'alaikumsalam. Papa gimana keadaannya, udah sehat?"Papa terbatuk kecil. "Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sering ngedrop. Kamu kok nggak ikut ke mari bareng Jane dan Zahwa?"Aku memejamkan mata seraya meneguk ludah. Semoga saja Mas Firman tid

  • Akan Kubalas Pengkhianatanmu!   33 - Dilema Buah Simalakama

    KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! "Kalau begitu, suruh Firman besok datang ke mari. Papa kangen sama dia." "Tapi, Pa-- " "Nggak ada tapi-tapian! Suruh Firman datang ke sini besok, titik!" Aku dan Zahwa kembali saling pandang. Papa merupakan sosok yang tegas dan sulit untuk dibantah perintahnya. Tapi, bagaimana mungkin aku membawa Mas Firman ke sini. "Eyang, aku mau ke kamar dulu ya. Gerah, pengen mandi. Sekalian beresin barang-barang," pamit Zahwa. Papa mengangguk. Sebelum ke luar, Zahwa mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi kakeknya. "Eyang, cepat sembuh ya. Aku kangen jalan-jalan lagi sama Eyang." "Doain eyang ya, Nak." Zahwa mengangguk tersenyum, lalu beranjak ke luar. "Papa udah makan?" "Udah tadi sama suster." Kuraih tangannya dalam dekapan. Kemudian mencium punggung tangan itu. Lagi-lagi ada sesuatu yang berdenyut di dada. "Kamu pasti lagi ada masalah 'kan, Jane?" tebak Papa tepat. Aku menggeleng. "Nggak ada, Pa. Aku cuma kangen Papa. Aku terlalu sibuk dengan uru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status