KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!
PART : 6
"Nih, lihat!" Kuarahkah kamera depan ponselku pada Mas Firman, sebagai pengganti cermin.
Matanya membelalak melihat bayangannya di kamera ponselku.
"Astaga, ini, ini, …. "
Kutarik kerah bajunya, hingga wajah kami berjarak beberapa senti saja. Mataku menjelajah setiap inci netra bermanik hitam itu. Kegelisahan tersirat jelas di sana. Jakun Mas Firman pun bergerak turun karena meneguk ludah.
"Coba jelaskan, itu bekas bibir siapa?"
Lelaki berusia empat puluh tiga tahun itu meneguk ludah untuk ke sekian kalinya.
"Anu, itu-- "
"Jawab!"
Mas Firman terlonjak kaget. Pasti ia tidak menyangka, aku bisa sekasar ini. Karena sebelumnya, aku adalah sosok lembut dan nyaris tidak pernah marah.
Kulepaskan cengkeramanku pada kerah bajunya dengan gerakan sedikit mendorong.
"Udahlah, Mas, aku capek. Tak ada gunanya juga memaksamu," Mas Firman masih berdiri melongo, melihatku meninggalkannya begitu saja.
Cepat kututup pintu kamar mandi kemudian menguncinya dari dalam. Pecah juga tangis sudah yang kutahan sejak tadi.
Aku terduduk tepat di bawah shower yang menumpahkan airnya. Kulepaskan semua perasaan luka yang terpendam selama ini. Tak peduli pakaian yang melekat sudah basah kuyup.
Rasanya sudah tidak tahan lagi. Lelah berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa. Sampai kapan harus begini? Sedangkan Mas Firman pun seperti tidak melakukan kesalahan. Terbuat dari apa hati laki-laki itu?
Entah pernikahan macam apa yang kulalui saat ini. Dan bagaimana jika Zahwa mengetahui perbuatan ayah yang selama ini begitu ia banggakan?
Kuremas kuat rambut yang sudah basah oleh air yang mengucur dari shower. Tidak, aku harus kuat menghadapi semua ini. Demi Papa dan Zahwa.
Mas Firman ternyata sudah menanti di depan pintu kamar mandi. Begitu aku membuka pintu, pandangan kami langsung bertemu.
Cepat kupalingkan pandangan dan bergegas melangkah melewatinya. Tapi, ia lebih sigap menghadang langkahku.
"Mau apa lagi, Mas?"
Mas Firman membingkai wajahku dengan kedua tangannya. "Kamu menangis sampai mata kamu bengkak begini, Sayang. Kamu kenapa, sih? Cerita dong sama mas. Jangan bikin mas khawatir."
Khawatir atau pura-pura khawatir?
"Nggak ada apa-apa, Mas."
Lagi-lagi Mas Firman berhasil menghadang langkahku. "Jane, mas ini suamimu. Apa salahnya kamu berbagi bebanmu padaku."
Kutarik napas, tertunduk lelah. Bisa banget dia pura-pura seakan tidak ada masalah, setelah menemukan bekas lipstik di kemejanya.
"Aku capek, Mas. Mau tidur. Tolong jangan ganggu aku."
Mas Firman terhuyung ke belakang karena doronganku.
Aku melirik dengan ekor mata. Lelaki itu masih berdiri terpaku. Tak peduli, aku naik ke ranjang, lalu membenamkan diri dalam bedcover.
~
Kulalui hari-hari dengan bibir yang diam seribu bahasa. Kecuali ketika di depan Zahwa, kupasang sikap seolah mama dan papanya baik-baik saja. Padahal rumah tangga kedua orang tuanya ibarat api dalam sekam.
Kusibukkan diri dengan menghadiri kelas fitness Steve. Targetnya untuk menurunkan berat badanku sebanyak 30 kg dalam waktu dua bulan. Tentu saja diimbangi diet ketat dan dibantu obat peluruh lemak yang kata Steve aman dikonsumsi.
Semua beban kulampiaskan dalam teriakan heboh para peserta aerobik. Akan kubuktikan, istri sah bisa lebih cantik dari pelakor.
Memang salahku, karena tidak pernah memperhatikan penampilan. Aku yang cenderung tomboy, berpikir bahwa kelak akan ada pangeran yang siap menerima apa adanya.
Ternyata aku salah, semua itu hanya ada dalam dongeng. Kenyataannya, penampilan tetap yang terdepan. Aku saja yang boddoh, percaya akan kisah yang hanya ada di dalam dongeng.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam lebih dua puluh menit. Rasanya malas untuk kembali ke rumah ini. Tapi, bagaimana pun juga, rumah ini adalah rumahku. Kelak akan menjadi milik Zahwa, bukan Mas Firman.
Selesai ritual mandi kilat, aku mematut diri di depan kaca. Luar biasa! Hasil perjuangan selama hampir dua bulan ini, mulai menunjukkan hasil.
Sepertinya harus bongkar koleksi di lemari. Karena sudah tidak muat. Tadi ketika ditimbang, berat badanku sudah mencapai lima puluh kilogram. Pencapaian yang luar biasa. Berat badanku turun sebanyak tiga puluh kilogram!
"Kamu dari mana aja Jane? Belakangan ini, kamu pulang selalu larut malam," Mas Firman mulai mengajukan protes.
"Biasalah, nongkrong sama teman-teman arisan," jawabku asal, sambil menaikkan tali lingerie yang baru kubeli, ke pundak.
"Sejak kapan kamu jadi hobi seperti itu?"
"Sejak kapan ya? Sejak aku pengen aja," jawabku asal.
Mas Firman menarik tanganku hingga tubuh kami saling merapat satu sama lain. Kami saling tatap selama beberapa detik, sebelum akhirnya kubuang pandangan ke arah lain. Biasanya ada desir-desir halus ketika Mas Firman menatap seperti itu. Ah, luka itu masih berdarah.
"Kamu berubah banget, Jane. Jauh lebih cantik dan langsing banget," Dipeluknya tubuhku dari belakang. Dari cermin jelas terlihat ia begitu bergairah. Ditambah lagi lingerie yang kukenakan cukup tipis dan sedikit menerawang.
Sebenarnya, aku cukup menikmati setiap cumbuan Mas Firman. Ditambah lagi rasa rindu terhadap suami yang terpisah jarak cukup lama.
Tiba-tiba, bayangan Mas Firman yang saat itu mencumbu Lina, berkelebat kembali dalam pejaman mata. Refleks kudorong Mas Firman hingga terjerembab ke belakang.
"Ke-kenapa, Jane?"
Kukenakan kimono dengan tergesa, kemudian melangkah ke luar kamar. "Maaf, Mas, aku nggak bisa!"
"Tapi, kenapa!"
Aku ke luar dan menutup pintu, tanpa mempedulikan kebingungannya.
****
Berbagai cara kuupayakan untuk tetap bisa bercerai dari Mas Firman, kendati ia terus menolak. Sudah tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Bagiku, tidak ada penghianatan yang berhak untuk dimaafkan."Bukti-bukti semua sudah lengkap kan, Bu Jane?" tanya pengacara yang biasa menangani permasalahan di keluargaku."Sudah, Pak.""Baik lah, kita bersiap untuk sidang lanjutan perceraian Ibu.""Jane!" Aku pura-pura menatap kertas mendengar suara yang memanggilku. Itu suara Mas Firman."Jane!" panggilnya lagi dengan suara sedikit lebih tinggi.Steve menyikut lenganku. Ia memberi isyarat dengan matanya.Kuhela napas berat. Malas rasanya menanggapi lelaki satu ini."Apa lagi, Mas?""Aku … Aku mohon, Jane, urungkan perceraian kita," Ia menangkupkan tangan di depan dada."Keputusanku sudah bulat. Kamu dan aku sudah tidak bisa bersama. Seharusnya kamu sadar itu, Mas.""Tapi-- ""Sudah cukup! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi darimu!""Ayo, Jane, giliran sidangmu," ujar pengacara berkulit putih itu
"Aku pergi dulu ya, Pa," pamitku sembari mencium dahi dan pipinya, berakhir dengan memeluk tubuh yang dulunya tegap, kini semakin kurus."Ya, Nak. Kamu hati-hati ya di jalan. Kalau sudah sampai, jangan lupa kabarin papa.""Baik, Pa. Aku pergi,ya, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Entah kenapa, ada yang berbeda kali ini. Seperti berat untuk melepaskan Papa sendiri, kendati ada Suster Lia yang sudah terbiasa menangani Papa dan juga ada Zahwa yang tidak bisa meninggalkan sekolahnya. Aku berangkat menuju bandara, menggunakan taksi yang juga bisa dipesan melalui aplikasi online, sama seperti di Jakarta.Di dalam taksi, pandanganku melayang ke luar jendela. Kenapa dengan perasaanku ya? Berkecamuk tak menentu. Jika bukan karena hari ini sidang pertama perceraianku dengan Mas Firman, tentu tidak mungkin aku meninggalkan lelaki yang paling kusayang itu, untuk ke sekian kalinya.Sesampai di bandara, aku segera check in, dan mengurus barang untuk disimpan di bagasi pesawat. Setelah itu, se
Aku segera merampas kertas di tangan Papa. Membaca isi kertas itu dan dugaanku benar. Pria licik ini membujuk Papa untuk menandatangani surat pengalihan kepemilikan perusahaan, menjadi atas namanya. Kertas itu kusobekkan menjadi serpihan-serpihan kecil yang bertebaran di lantai dan kucampakkan ke atas."Apa-apaan kamu, Jane?" tanya Papa bingung. Matanya menatap kertas yang sudah berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang jatuh ke lantai seperti hujan."Papa jangan mau ditipu sama orang ini. Dia ini jahat, Pa. Dia penipu!" Kudorong bahu Mas Firman hingga terjengkang ke belakang."Penipu? Jahat? Apa sih maksud kamu?""Sebenarnya kami sedang dalam proses cerai, Pa. Dia sudah selingkuh dengan sekretarisnya di belakangku dan dia juga menggelapkan sebagian uang perusahaan."Papa menatapku lalu berpindah ke Mas Firman yang tertunduk lesu di pinggir ranjang."Benar begitu, Firman?" Mas Firman menggeleng cepat. "Nggak, Pa. Itu semua bohong! Aku nggak sejahat itu.""Halah, sudahlah, Mas! Ng
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!💜💜"Jadi, nggak usah macam-macam, Jane. Hidup papa kamu ada di tanganku sekarang," tukasnya pongah. "Jangan sombong kamu jadi orang, selagi hidupmu pun bergantung padaku dan keluargaku, Mas. Budayakan punya malu dikit, dong," Kudorong tubuhnya hingga mundur selangkah.Dengan kesal, aku masuk ke kamar dan membanting pintu. Kuhempaskan tubuh ke atas ranjang dengan hati yang membatu marah. Tak kuduga, Mas Firman menyusulku masuk ke dalam kamar yang lupa untuk dikunci. Aku terperangah melihat pria itu berdiri dengan senyum yang entah."Ngapain kamu ke sini, Mas?""Memangnya kenapa? Kamu masih sah istriku. Itu artinya, aku masih berhak penuh atas dirimu," tukasnya penuh percaya diri.Aku mendengus sinis. "Pede banget jadi orang. Kamu dan aku itu sudah selesai, Mas. Hanya tinggal menunggu ketuk palu aja. Kalau bukan karena Papa, aku sudah nggak mau berurusan denganmu lagi."Mas Firman diam. Ia berjalan pelan ke arah ranjang tanpa sepatah kata."Kamu mau apa,
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS!"Omong kosong! Telepon dia sekarang, biar Papa yang ngomong!""Tapi, Pa-- ""Telepon Firman, Jane! Se-ka-rang!"Mau tidak mau kubuka daftar kontak di aplikasi whatsapp, menekan tombol panggil. Terdengar suara nada sambung dari panggilan video tersebut."Halo, assalamualaikum, Jane.""Wa'alaikumsalam, Mas. Kamu lagi apa? Aku kangen," ujarku."Ka-kangen?" Pasti Mas Firman kebingungan dengan ucapanku barusan.Aku melirik ke arah Papa. Ia tengah menatap dengan mata sendunya. Semoga aja Mas Firman bisa mengerti dengan maksudku barusan."Iya, Mas. Aku kangen. Oh ya, ini Papa mau ngomong sama kamu," Kualihkan panggilan video itu ke Papa."Halo, Firman, assalamualaikum," sapa Papa dengan suara serak dan pelan."Halo, Pa. Wa'alaikumsalam. Papa gimana keadaannya, udah sehat?"Papa terbatuk kecil. "Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sering ngedrop. Kamu kok nggak ikut ke mari bareng Jane dan Zahwa?"Aku memejamkan mata seraya meneguk ludah. Semoga saja Mas Firman tid
KUBALAS PENGHIANATANMU, MAS! "Kalau begitu, suruh Firman besok datang ke mari. Papa kangen sama dia." "Tapi, Pa-- " "Nggak ada tapi-tapian! Suruh Firman datang ke sini besok, titik!" Aku dan Zahwa kembali saling pandang. Papa merupakan sosok yang tegas dan sulit untuk dibantah perintahnya. Tapi, bagaimana mungkin aku membawa Mas Firman ke sini. "Eyang, aku mau ke kamar dulu ya. Gerah, pengen mandi. Sekalian beresin barang-barang," pamit Zahwa. Papa mengangguk. Sebelum ke luar, Zahwa mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi kakeknya. "Eyang, cepat sembuh ya. Aku kangen jalan-jalan lagi sama Eyang." "Doain eyang ya, Nak." Zahwa mengangguk tersenyum, lalu beranjak ke luar. "Papa udah makan?" "Udah tadi sama suster." Kuraih tangannya dalam dekapan. Kemudian mencium punggung tangan itu. Lagi-lagi ada sesuatu yang berdenyut di dada. "Kamu pasti lagi ada masalah 'kan, Jane?" tebak Papa tepat. Aku menggeleng. "Nggak ada, Pa. Aku cuma kangen Papa. Aku terlalu sibuk dengan uru
Steve mengantarkanku dan Zahwa sampai ke bandara. Bang Yudha tidak bisa mengantar, karena ia sibuk mengurus perusahaan dan mengurus perceraianku dan Mas Firman. "Kamu diantar sama Steve aja ya. Abang sibuk ngurusin perusahaan abang yang di Surabaya. Besok ada meeting, ditambah persoalan pengalihan aset Firman menjadi milikmu dan perceraianmu juga. Diantar sama Steve aja ya," Begitu kata Bang Yudha tadi. Beruntung ada Steve yang selalu siap membantu. Meski entah ada apa di balik kebaikannya. 'Ah, tidak tidak', Cepat kutepis perasaan. Baru saja hati terluka. Mana mungkin sudah semudah itu aku membuka hati. Harusnya aku lebih hati-hati dalam menata perasaan ini. "Kamu hati-hati ya, Jane. Sampai sana kabarin aku langsung, ya?" Aku mengangguk. "Terima kasih banyak ya, Steve. Kamu udah baik banget selama ini. Aku nggak bisa balas." Steve terbahak. "Apaan sih kamu? Lebay deh!" Pria blasteran Inggris-Indonesia itu menghampiri Zahwa. "Hai, Cantik. Nanti sampai sana, kamu wajib langsung
Steve tidak mau menyerah begitu saja. Ia bangkit dan membalas memukul orang asing yang menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya, jaket hoodie dan bertopi. Hanya dengan sekali sentak pukul saja, orang tersebut terjerembab ke belakang. Ia mengaduh sembari memegang perutnya yang dihantam bogem Steve tadi. Sontak jeritan pengunjung restoran terutama wanita, semakin riuh ketika orang asing tersebut terjatuh menghantam kursi. Steve berjongkok lalu membuka topi dan menarik paksa masker yang menutupi wajah orang asing tersebut. Astaga, Mas Firman! "Mas Firman?" "Papa?" Ia menundukkan kepala, sembari masih mengaduh kesakitan. "Ada apa ini?" Dua orang security menghampiri. "Orang ini tiba-tiba datang dan langsung memukul saya, ketika saya lagi makan," jelas Steve. "Ayo, ikut kami ke kantor untuk diproses." "Eng, sudah, tidak usah, Pak. Saya kenal orang ini. Biar saya selesaikan secara kekeluargaan," tukasku. "Mbak yakin?" "Ya, saya yakin sekali. Biar saya urus. Sekali lag
"Ini semua akibat keserakahanmu, Jane!" "Apa maksud Ibu?""Seandainya kamu tidak merebut villa dan empat kontrakan Firman, kami tidak sampai terlantar seperti ini. Bahkan bisa-bisanya Firman sampai tidak mengantongi sepeser uang pun. Karena deposito dan tabungannya juga ludes dirampas oleh abangmu.""Itu emang sudah semestinya. Karena anak Ibu sudah menggelapkan uang perusahaanku. Itu pun masih kurang jika harus menutupi semua yang diambil oleh anak Ibu itu," tandasku tak mau kalah.Ibu sontak terdiam. Sedangkan Bapak sejak tadi hanya diam, sibuk menghisap rokok kreteknya. Sehingga ruangan penuh dengan kepulan-kepulan asap."Masih untung anak Ibu itu nggak aku laporkan ke polisi. Atau nggak, mungkin saat ini dia sudah mendekam di balik jeruji besi.""Lagipula, ke mana hasil grosir dan warung jamu Ibu? Aku pikir, jika hanya untuk biaya sekolah Lastri dan kehidupan sehari-hari kalian, rasanya cukup. Kecuali ….""Kecuali apa, Jane?" tukas Ibu ketus."Kecuali, jika untuk kebutuhan gaya