Terima kasih sudah membaca ~ Jangan lupa tinggalkan jejak ~
Rara menatap Naren yang berdiri di sebelahnya. “Naren, lo ngapain?” Rara meraih tangan Naren untuk melepaskan tangan Jevan. Rara menatap sekelilingnya, beberapa orang yang berdiri di dekatnya menatap mereka penasaran. “Jangan buat gosip. Ini akan berdampak pada Perusahaan Kidan,” ucap Naren menatap Jevan dingin. Jevan menghela napas, “Sorry, gue gak bermaksud.” Rara tertawa canggung, “Hahaha, kalian itu kan dekat. Kenapa bertingkah begini?” “Pengawal itu siapa?” “Eh pengawalnya cakep banget.” “Pergaulan Jevan dengan orang rendahan kaya gitu?” “Anaknya Om Zarhan gaul sama pengawal?” “Mainnya gak level sama kita.” Rara mengepalkan tangannya mendengar perkataan orang – orang di sekitarnya. Rara sepertinya salah bicara. Rara melirik Naren yang tampak tidak peduli akan perkataan orang – orang. Jevan menatap tajam orang – orang yang bergosip. Ia berdeham pelan, “Kita cari tempat ngobrol yang enak yuk. Gue gak tahan sama orang penjilat gini,” ajak Jevan menatap Rara dan Naren berga
“Ibu?” Rara menatap wanita yang turun dari mobil sedan. Jevan ikut menatap ke wanita itu dan Rara bergantian. Ia teringat perkataan sang ibu kalau Ibu Windia sempat mengalami keguguran. “Ra, lo se-“ “Rara, Jevan!” panggil Ibu Windia dengan senyumnya. Ibu Windia sampai di depan keduanya. “Kalian ngapain disini?” tanya Ibu Windia menatap toko kecil itu jijik. “Di tempat kumuh begini.” “Kita beli es krim,” jawab Rara pelan sembari menundukan kepalanya. Jevan menatap kedua orang itu dalam diam. “Ngapain beli di toko kecil begini?! Kamu tidak punya harga diri?!” bentak Ibu Windia emosi. Rara mengangkat wajahnya, ia tak memahami sang Ibu. “Maksud Ibu apa? Aku emang mau beli disini dan es krimnya cu-“ “Saya yang meminta Rara untuk menemani saya,” sela Jevan cepat. Rara menatap Jevan bingung, pasalnya yang meminta ditemani adalah dirinya. “Kamu mengajarkan anak saya untuk hidup miskin?” tanya Ibu Windia. “Ibu kenapa bertingkah begini? Aku hanya makan es krim. Kenapa Ibu sampai berlebi
Jevan menatap Ayah Haris yang membalas pertanyaannya dalam diam. Ayah Haris memilih menyesap tehnya yang sudah dingin. “Ayah…” Jevan menatap ayahnya sendu. “Apa Ayah tahu kalau Ibu punya pe-“ “Nak,” sela Ayah Haris. “Kamu bebas untuk menemui Ibumu. Ayah tidak akan membatasinya. Ayah hanya bingung, kenapa kamu tidak berbicara setiap berkunjung pada Ibumu.” Jevan menghela napas, “Aku takut, Ayah gak izinin aku,” jawabnya jujur. Ayah Haris menatap Jevan, “Ayah gak akan membatasi kamu, Nak. Kamu sudah paham harus bersikap bagaimana, itu sudah cukup.” “Apa Ayah pernah berkunjung ke Ibu untuk menanyakan keadaannya?” tanya Jevan penasaran. Ayah Haris tersenyum sendu, “Ayah sering datang kesana. Tetapi, tidak pernah disambut dengan baik.” Jevan menatap ayahnya. Dari mata tajam ayahnya, tampak terluka dan menyimpan kesedihan. Jevan jadi ingat saat dirinya pertama kali tahu kalau ibunya sakit. “Ayah, ayo datang sama aku ke rumah Ibu,” ajak Jevan semangat. Ayah Haris terkekeh pelan, “Kam
Rara menyinggungkan senyumnya, “Aku rasa itu masih bisa diobati,” ucap Rara berusaha memberikan semangat. “Tante masih bisa dioperasi.” Gelengan dari Ibu Flora membuat semangat Rara turun. “Kemungkinannya berapa persen?” “Tidak banyak, Nak,” lirih Ibu Flora. “Jangan beritahu Jevan ya, Nak.” Rara terdiam beberapa saat. Ia tidak bisa berjanji pada wanita itu. Jevan juga pasti berharap untuk mengetahui penyakit Ibunya. “Tante mohon,” pinta Ibu Flora sembari meraih tangan Rara untuk ia genggam. Rara mengigit bibir bawahnya, ia kebingungan. “Aku…” “Kamu tidak mau Jevan terluka kan?” tanya Ibu Flora. Rara menggeleng. Ibu Flora menyahuti, “Kalau begitu, tolong jangan kasih tahu dia.” “Tapi dengan Tante gak jujur. Itu pun ngebuat Jevan terluka,” sanggah Rara. Ibu Flora tersenyum sendu, “Tidak apa. Setidaknya, dia akan membenci Tante setelah itu.” “Kenapa Tante berharap begitu?” tanya Rara sedih. “Biar dia lebih cepat melupakan Tante,” jawab Ibu Flora. “Jangan begini, Tan. Jevan aka
Rara dan Naren sudah sampai di Panti Asuhan Bahagia. Keduanya disambut oleh anak kecil yang sibuk bermain di halaman belakang. Rupanya, Bu Unike sedang berbelanja sehingga panti asuhan dipenuhi suara anak – anak. “Kak Nalen, ayo main sama aku,” ucap Darel menarik tangan Naren. Lelaki itu sedikit panik, ia menatap Rara meminta bantuannya. Rara menyinggungkan senyumnya, kemudian ia sedikit mendorong Naren untuk menjauh darinya. “Lo temenin Darel ya. Gue mau ke dapur.” Rara berlalu meninggalkan Naren yang hanya tersenyum canggung pada Darel. Lelaki itu ikut duduk di samping Darel. “Kak Nalen, kenapa kalau kesini suka pake jas?” tanya Darel penasaran sembari memberikan pensil warna. “Um…soalnya itu pekerjaan saya,” sahut Naren. Darel menatap Naren sebentar kemudian ia mulai melanjutkan kegiatan mewarnainya. “Kak Nalen, kaya olang mau nikah aja,” komentar Darel dengan suara cadelnya. Naren nyaris saja tersedak ludahnya sendiri. Ia menatap Naren kemudian tersenyum canggung, “Belum wa
Pertanyaan Rara membuat Bu Unike dan Ayah Zarhan terdiam. Naren memperhatikan satu – satu ekspresi Bu Unike dan atasannya. Terlihat jelas, keduanya sedikit mundur dari posisinya, menciptakan jarak. Ayah Zarhan terkekeh, “Kenapa kamu bertanya begitu Nak?” “Bu Unike kelihatan kesal sama Ayah. Ayah ada salah apa ke Ibu?” tanya Rara sembari menunjuk Bu Unike. “Ibu gak kesal, Nak. Hanya saja, bukankah lebih baik kalau Ayahmu menjawab pertanyaan kamu. Mumpung kita lagi bertemu,” tutur Bu Unike tersenyum. Rara terdiam beberapa saat, ia menatap Ayah Zarhan dengan tatapan berharap. Rara tampak menunggu jawaban sang Ayah. Sayangnya, Ayah Zarhan mengkode Naren untuk membantunya. Naren yang ditatap oleh atasannya menggaruk tengkuknya. Ia hanya menampilkan senyumnya pada atasannya. Ayah Zarhan menatap tajam Naren karena tak memahami kodenya. “Ayah, kok malah lihat Naren,” Rara melambaikan tangannya di depan wajah Ayahnya. Rara menatap Naren kesal, “Lo ada urusan apa sama Ayah?” Naren memasan
“Nona kenapa panik begitu?” Naren sedikit bingung dengan Rara. “Gimana gak panik, kita lagi bahas bokap gue,” jawab Rara tampak berniat tidak menjawab panggilan telepon. “Jawab saja, Non,” saran Naren melihat layar ponsel Rara yang masih menyala. “Gak deh,” tolak Rara menyimpan ponselnya di atas meja. Ia menatap layar ponselnya hingga tidak ada panggilan lagi. Naren menggelengkan kepala melihat tingkah Rara. Ia memilih kembali mengetik laporan. Rara segera mengambil ponselnya begitu melihat ada notifikasi pesan dari Ayahnya. Ia membulatkan matanya saat membaca isi pesan. “Bokap gue ngajak ketemu akhir pekan nanti buat jelasin semuanya,” ucap Rara sembari menunjukkan layar ponselnya pada Naren. “Syukurlah. Setidaknya Nona menemukan titik terang,” tanggap Naren tenang. Rara mengangguk, “Gue gak sabar mau cerita ke Jevan besok!” “Oh iya, tentang Jevan…” Rara menutup mulutnya. “Gak jadi deh, lupain aja.” Gadis itu kemudian berdiri dan meninggalkan Naren. Naren mengangkat alisnya
Jevan berlari ke ruang ICU dengan napas tak beraturan. Ia mendekati Ayah Haris yang duduk termenung di kursi. “Ayah!” panggil Jevan. “Nak,” Ayah Haris berdiri dan memeluk putranya erat. “Gimana keadaan Mamah. Yah?” tanya Jevan khawatir. Ayah Haris menggeleng sebagai jawaban. Jevan mengerutkan dahinya menatap wajah sedih sang Ayah. “Ibumu tidak bisa di selamatkan,” ucap Ayah Haris menatap putranya sendu. Jarvis menggeleng ragu, “Gak mungkin! Ayah pasti bohong!” bentak Jevan kesal. “Kamu bisa masuk ke dalam,” ucap Ayah Haris lirih. Jevan menggigit bibir bawahnya, ia menatap Ayahnya berharap, “Tolong Tarik ucapan Ayah tentang Mamah,” pintanya. “Nak, kalau kamu tidak percaya…” ucap Ayah Haris berusaha tersenyum untuk menenangkan putranya, “masuklah ke dalam.” Jevan mengusap air matanya yang terjatuh dengan kasar. Ia melangkahkan kakinya ke ruang ICU. Makin mendekat ke ruang ICU, langkahnya makin berat. Jevan membulatkan matanya melihat kondisi Ibunya. Tubuhnya kaku, dingin, dan