“Selamat malam Non.”
Rara berjengit kaget, dengan wajah kaget ia menoleh ke belakang. Seorang lelaki seusianya dengan setelan formal berdiri di sampingnya, lelaki itu menunduk sopan.
“Siapa?” tanya Rara dengan wajah bingungnya.
“Saya Narendra Barreska,” jawab lelaki itu.
“Hm…” Rara menatap lelaki itu dari atas ke bawah. Tingginya tak berbeda jauh dengan Jevan, warna kulitnya kuning langsat, dan sorot matanya tajam.
“Saya dikirim oleh tuan besar buat jaga nonna,” lanjut lelaki itu karena Rara terlihat kebingungan.
Rara menyimpan sendoknya di meja, “Tuan besar?”
“Ayah nona,” ujar Naren.
“Gue…maksudnya aku punya bokap? Masih hidup?” Rara kebingungan sendiri dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
Lelaki di sampingnya mengangguk.
Rara saat itu juga melamun, ia pikir ia benar – benar sudah dibuang oleh kedua orang tuanya.
Apa dugaannya selama ini salah?
“Non?” Lelaki itu dengan ragu melambaikan tangannya di wajah Rara.
“Oh iya?” Rara tersadar dari lamunannya.
“Kenapa melamun?” tanya Naren.
“Enggak kok,” Rara berdiri, berniat mencuci piring bekasnya. Naren berdiri tegap di belakangnya.
“Nyokap aku gimana?” tanya Rara di sela – sela kegiatan mencuci piringnya.
“Kedua orang tua nona masih hidup, tapi memang keadaan tidak memungkinkan keduanya bersatu kembali.” Jawab Naren seadanya.
Rara terdiam sebentar, sebelum ia kembali fokus mencuci piring.
“Keadaan yang gimana?” Rara bertanya lagi.
“Saya tidak tau non,” jawab Naren sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu ngapain disini?” Rara memilih bertanya hal lain saja. Rara mengelap tangannya, ia sudah selesai mencuci piring.
“Saya memang suka mengecek keadaan di rumah ini saat malam hari non,” jawab Naren sembari mengikuti langkah Rara.
“Kamu seumuran sama aku kan?” Rara kini berdiri di depan kulkas, berniat mengambil sebotol air mineral.
“Saya satu tahun lebih tua non,” Naren mengulurkan tangannya menawarkan bantuan karena Rara kesulitan membuka botol air mineral.
“Tapi kaku sekali…” kata Rara pelan. “Makasih,” Rara tersenyum.
“Iya saya kaku non,” kata Naren menanggapi perkataan Rara.
“Eh kirain gak denger hehehe…” Rara jadi canggung sendiri. Rara kembali duduk di ruang meja makan. Posisi kulkas dan meja makan tidak jauh.
“Um…kalau gitu kamu boleh pulang,” kata Rara setelah keheningan menyelimuti keduanya.
“Tidak bisa non,” tolak Naren tegas.
“Kenapa?”
“Karena nona belum masuk kamar dan nona masih berada disini. Jadi, saya akan disini,” jelas Naren.
“Tapi aku gak harus ditemenin. Aku kan udah aman,”ujar Rara.
“Tidak non, tempat yang aman adalah kamar non,” kata Naren tegas.
“Yang lain udah pada pulang kok, gak mungkin ada pencuri juga kan?” Rara menatap Naren heran.
“Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi kedepannya,” lagi – lagi Naren menolak.
Rara memijit pelipisnya, “Tapi…”
“Nona tenang saja, rumah saya masih berada di lingkungan ini,” sela Naren cepat.
“Tapi gue mau sendiriii” Jerit Rara dalam hati. Ia tersenyum pasrah. Ia merasa diawasi oleh Naren.
“Aku mau tidur sekarang.” Rara berdiri dari duduknya.
“Kalau begitu selamat malam nona.” Naren mengantar Rara sampai di tangga.
Rara menaiki tangga, ia berhenti di tengah jalan lalu menoleh ke belakang. Sedikit terkejut, ternyata Naren masih menatapnya datar. Rara melambaikan tangannya canggung.
+++
Rara menutup pintu kamarnya. Rara menidurkan tubuhnya di atas ranjang, ia menatap langit – langit kamarnya memperhatikan sudut – sudut langit kamar.
“Gak ada apa – apa.” Monolog Rara. Ia bangkit, kemudian mengelilingi kamarnya.
Dimulai dari nakas kecil yang terletak di sebelah ranjang king size. Nakas kecil yang terbuat dari marmer berwarna putih dengan motif mawar, Rara membuka lacinya dan hasilnya tidak ada apapun.
Selanjutnya, meja belajar dengan warna cokelat muda. Rara duduk di kursi meja belajar. Rara mengambil buku yang tergeletak di atas meja. Saat membukanya, tidak ada apapun, hanya buku kosong.
“Apa buku aku ada di rumah aku ya?” gumam Rara, mengingat rumah kecilnya sebelum ia kecelakaan.
Kemudian lemari, Rara membuka pintu lemari besar itu lebar – lebar. Ia melihat koleksi baju – baju mahal didalamnya. Dari Dior, Chanel , Bvlgari hingga YSL. Tidak ada satupun yang memiliki nominal murah, Rara menelan ludah.
Rara terdiam mengamati baju – baju didepannya. Rasanya ada yang kurang.
“Oh seragam aku?” Rara menggeser pintu lemari baju ke sebelah kiri.
Rara mengerutkan keningnya, melihat seragamnya digantung dengan rapih dan dibugkus plastik khusus seolah baru saja dari laundry.
Terakhir, Rara berjalan ke kaca besar yang terletak di tembok sisi kiri tempat Rara berbaring. Rara hanya menatap pantulan dirinya dalam diam.
“Wow…” Rara tak bisa berkata – kata. Benar – benar tidak ada yang janggal dari kamarnya.
“Berarti disini gak ada CCTV sama sekali ya…gue bisa ngerti kenapa Naren bilang kamar paling aman…” Rara berfikir sebaiknya ia menyelidiki mengenai rumah mewah yang ia tempati sekarang. Rara tau ini bukan mimpi, tapi masih ada rasa curiga yang menyelimuti dirinya.
“Anehnya di kamar ini gak ada satu foto pun.” Rara menatap nakas, meja belajar dan dinding kamar.
“Gue mau liat – liat dibawah aja susahnya minta ampun…” keluh Rara dikarenakan ada Naren tadi.
Rara mengambil ponselnya yang sudah diperbaiki di nakas. Sejak kemarin, Rara tidak menyalakan ponsel. Rara menghela nafas, sudah menduga tidak akan ada notifikasi dari siapapun. Hanya ada notifikasi dari grup kelas dan grup angkatan. Rara kembali meletakkan ponselnya di nakas. Ia memilih tak membuka grup kelas dan grup agkatan. Dibayangannya Amel, Lia, dan Mia akan memprotes karena tidak ada yang mereka rudung selama Rara di rumah sakit.
“Apa keadaan kelas sama aja?”gumam Rara.
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni