Rea benar-benar terkejut dibuatnya, wanita itu berbalik badan dan membeliak saat melihat Jeno berjalan ke arahnya. segera ia meremas gulungan foto di tangannya dan menempatkannya di sisi tubuh. "Aku ....""Apa itu?" sela Jeno, jarinya menunjuk pada kertas ditangan Rea. Ada sedikit ketakutan di hati wanita itu, apa yang dia takutkan? Jeno mengatakan apapun yang berhubungan dengannya tidak akan peduli, lalu kenapa dia merasa takut?"Ini foto ...." Rea ragu saat melihat tajamnya mata elang pria itu, Jeno menatap raut wajah Rea yang pucat dan sedikit gugup, membuat Jeno merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan.Rea tidak juga menjawab pertanyaan Jeno, tidak pula menunjukkan gulungan kertas yang sedikit lecek karena digenggam dengan erat oleh Rea. Jeno terus saja menatap wajah wanita itu, membuat Rea seperti akan dieksekusi mati."Berikan padaku!" Jeno merebut gulungan kertas foto itu dari Rea, membuat wanita itu benar-benar merasa takut, apakah Jeno akan marah? Tidak mungkin pria it
Setelah beberapa waktu Rea memilih termenung sendiri di kursi taman, rasanya ia masih enggan untuk masuk rumah dan bertemu dengan Jeno dan Aruna, mungkin saja mereka tengah bermesraan di suatu tempat rumah ini.Ah! Rasanya sesak sekali dada Rea, membayangkan hal itu semua membuatnya malah jadi seperti penghalang cinta dua sejoli itu, Rea ingin keluar dari rumah ini dan kembali ke rumah orang tuanya, bekerja di perusahaan ayahnya, shoping, nonton, perawatan tubuh, semuanya, sudah lama sekali Rea tidak melakukan itu semua.Selama 2 Tahun berumah tangga dengan Jeno, Rea benar-benar dijadikan pembantu yang tidak bisa melakukan apa-apa selain beres-beres rumah dan melayani pria itu jika ia sedang ingin. Benar-benar sangat menyedihkan nasibnya. Keputusannya menikahi Jeno ternyata bak duri yang semakin lama menusuk ke dalam daging hingga menembus tulang, sakitnya melebihi apa pun di dunia ini. Dia baru menyadari kebodohannya selama 2 Tahun kemarin tiada lelah mengejar cinta suaminya, ingin
Jeno tersenyum saat melihat istrinya menatap lurus ke arah figura tempat foto pernikahan mereka dipajang oleh Jeno, pria itu juga ikut melihat ke arah itu dan berkata dengan tenang. "Apa sekarang kamu suka? Aku sudah mengisi ruang kosong itu sekarang dengan foto pernikahan kita. Bukankah kamu senang?""Tidak!" sahut Rea penuh penekanan, wajahnya merah karena marah, giginya bergemulutuk menahan gejolak di dadanya.Apa maksud Jeno sekarang? Setelah sekian lama pria itu baru mengizinkan foto itu terpajang di sana, mungkin Rea akan bahagia jika saja pria ini tidak membawa Aruna ke rumah ini. Rea tahu, Jeno hanya ingin terus mempermainkan cintanya. Membawanya terbang lalu menjatuhkannya dari tempat tertinggi hingga tubuhnya hancur berantakan."Aku sama sekali tidak menyukai foto itu berada di sana, menjijikan! Lebih baik aku buang." Rea berjalan cepat menuju kursi dan menaikinya untuk menggambil figura besar itu.Jeno secepatnya berjalan mendekat dan memeluk pinggang Rea. "Rea! Apa-apaan k
Karena perasaan yang tidak nyaman di dalam hatinya, Jeno tanpa sadar mencium Rea dengan penuh nafsu dan gairah yang benar-benar menggebu. Ada rasa benci, marah dan perasaan aneh yang ia sendiri tidak tahu itu perasaan apa. Jeno berpikir ia hanya tidak rela apa yang sudah menjadi miliknya lepas dan bahagia di luar sana bersama pria lain, apalagi wanita ini adalah musuhnya, dia yang sudah memisahkan dirinya dengan Aruna sehingga tidak bisa melanjutkan rencananya untuk menikah dengan wanita yang dia cintai.Namun, mengapa hari ini saat rencananya berhasil, Rea sudah menyerah dan bersedia bercerai, bahkan wanita ini memohon untuk berpisah, dirinya justru marah. Ada apa dengannya? Jeno memang tidak mudah dipahami."Ah!" Rea mendesah kesakitan saat Jeno dengan ganas mengigit lidahnya tanpa disadari pria itu sendiri, tapi saat terasa aroma karat di rongga mulutnya Jeno sadar kalau dia sudah melukai Rea.Pria itu membuka mata dan melihat air bening merembes dari sela netra wanita itu yang ter
Satu kecupan mendarat di kening Rea setelah pergulatan sengit dan berakhir dengan percintaan panas, Rea menutup matanya erat, kedua tangannya meremas selimut di depan dada. Jeno telah melakukan pengancaman dan pemaksaan terhadap istrinya sendiri, dan kini pria itu tampak tersenyum bahagia tanpa tahu hati seseorang telah tertekan oleh sikapnya.Bunyi dering ponsel membuat kedua mata Rea terbuka, Jeno menoleh ke atas nakas. Itu berasal dari ponsel Jeno, pria itu lalu melepas pelukannya pada Rea dan mengambil ponselnya yang terus berdering.Kedua matanya sedikit terbuka saat melihat nama si penelefon 'Tuan Surya Andara' pria itu menoleh pada Rea yang masih berbaring lemah di sampingnya, wajah wanita itu dibuang ke sisi lain, tapi Jeno tak peduli. Jeno menggeser icon hijau dan menyapa seseorang pria paruh baya di seberang sana. "Hallo, selamat sore, Ayah Surya."Mendengar nama papanya disebut, Rea pun segera menoleh pada Jeno. Pria itu tentu sadar dengan reaksi Rea, dia memberi senyuman t
Saat tahu Rea menangis Jeno mengangkat kepala dan merebut ponsel dari tangan wanita itu, Jeno membungkam bibir Rea, berposisi duduk dan dia yang melanjutkan telefon. "Hallo, Yah." Surya sempat terkesiap saat mendengar putrinya terdengar menangis. "Ayah, apa Ayah masih di sana?" tanya Jeno karena dari ujung sana tidak juga menyahut.Surya tersadar saat mendengar suara Jeno. "Ah, iya, Re.""Aku Jeno, Yah. Rea pamit ke kamar mandi tadi. Apa Ayah tidak mendengar?" katanya mengalihkan konsentrasi Surya yang tadi, seolah memang pendengarannya sedang rusak. Rea menggeleng lemah, wanita itu berusaha membuka bekapan Jeno, tapi pria itu menambah tekanannya sehingga Rea tak bisa berkutik dan hanya air matanya saja yang berbicara sedih."Oh, baiklah, Nak. Mungkin tadi aku melamun," jawab Surya, merasa ragu akan kebenaran suara isakan putrinya tadi, tidak mungkin juga dia menanyakannya pada Jeno, seperti ada keengganan di dalam hatinya, karena sedikit banyak sejak Jeno menikahi Rea, menantunya itu
"Terima kasih, Tuan." Wanita paruh baya itu membungkukkan sedikit punggungnya pada Jeno, setelah pria itu dengan baik hati mengantarkannya keluar pintu depan.Jeno mengangguk dan wanita itu pergi setelah mengatakan 'permisi' sebelumnya. Jeno menutup pintu dan menatap ke arah dapur, Rea ternyata sudah bangun dan kini berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Jeno merasa ragu ingin melihatnya, tapi apa yang bisa membuat Jeno takut? Jeno tetap melangkah menuju dapur dan langsung mendapat tatapan tajam dari istrinya ketika dia baru saja masuk."Aku sedang menyiapkan makan malam, apa kamu ingin memakannya nanti? Jika tidak aku akan memasak untuk diriku sendiri. Aku tahu sekarang Aruna sedang sakit, jadi pasti tidak akan bisa memasak untukmu. Oh, atau kamu ingin memesan makanan dari luar?" tanya Rea, lalu kembali fokus pada sayuran yang sedang ia iris, tak peduli dengan raut wajah Jeno yang cemberut."Aku makan masakanmu saja," jawabnya, setelah itu berbalik badan dan pergi.Rea mengang
Jeno ternyata masih menunggu Rea di luar, pria itu mengerutkan kening saat melihat Rea kembali dengan makanan yang masih utuh. "Kenapa dibawa lagi makanannya?" tanya Jeno, nada bicaranya cukup rendah dan tidak dingin seperti biasanya, tapi yang justru selalu dingin dan judes kini Rea."Dia tidak mau makan kalau bukan kamu yang membujuk." Rea menatap wajah Jeno dan lanjut bicara. "Sana bujuklah dia lebih dulu, aku menunggu di meja makan," kata Rea lagi, kemudian wanita itu berlalu pergi begitu saja.Jeno bingung, maksud ia menunggu di sini itu agar bisa bersama Rea sama-sana turun dan nantinya makan berdua, tapi lagi-lagi gagal. Jeno menatap punggung Rea yang menjauh menuruni anak tangga dan berlalu menuju ruang meja makan. Jeno berdecak sedikit kesal lantas melangkah ke kamar wanita itu untuk membujuknya.Jeno membuka pintu, Aruna yang sedang berdiri di depan jendela pun segera menoleh, saat dia tahu Jeno yang masuk dia pun segera berpura-pura sakit kaki lagi. "Sayang," sapanya dengan