Akhirnya Kumenemukanmu 2
Apa ini? Apa yang sedang menimpaku ini? Bertemu dengan Mas Risky di rumah yang sedang membutuhkan tenaga untuk mengasuh bayi?
Benarkan yang kuasuh ini adalah anak Mas Risky? Lantas kemana ibunya hingga membutuhkan pengasuh untuk bayinya?
Ah aku lupa. Bagi orang kaya, pengasuh tidak hanya untuk ibu yang bekerja. Bisa saja mereka butuh pengasuh untuk membantu merawat bayi mereka karena enggan berlelah-lelah merawat bayinya, sekalipun itu anak kandungnya sendiri.
Aku mendesah lirih untuk menghalau debar yang tak bisa kuatur ritmenya agar seimbang.
Keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku. Pun dengan keningku yang ujungnya kubalut dengan hijab panjang. Aku berharap ini memang jalan takdir baik untukku setelah kepergian almarhum Mas Yudha. Sekalipun rasanya menyesakkan bertemu dengannya dikesempatan seperti ini.
Bagaimana aku nanti harus menguasai diriku ketika melihat sepasang suami istri yang suaminya selalu kusebut dalam doaku? Allahu Rabbi. Berulang kali kuembuskan napas agar jantungku berdetak normal.
"Silahkan duduk," ujar seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja datang dan duduk di kursi depanku.
Kesadaranku pulih setelah mendengar suara perempuan itu. Seketika aku menatap wajah keriput tetapi masih tampak ayu di depanku itu. Tetapi tak lagi kudapati lelaki yang baru saja membuat keringat dingin ini tiba-tiba mengucur membasahi selurih tubuh.
"Terima kasih, Nyonya," ujarku seraya kembali duduk.
Nyonya, kata yang tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku akan menjadi pesuruh seperti ini. Aku harus menyebut atasan dengan sebutan Nyonya dan Tuan. Terlebih tuan yang harus kusebut adalah dia yang pernah hadir dalam hidupku setahun yang lalu dan beberapa tahun sebelumnya, yang bahkan namanya masih tersimpan rapi di lubuk hati.
Bukan maksudku mengkhianati Mas Yudha dengan menyimpan semua tentangnya. Aku hanya menyimpan rasa yang tak seharusnya hadir dalam sebuah ikatan suci. Entahlah, apa itu bisa disebut dengan cinta.
"Saya Maria, nenek dari bayi yang akan kamu asuh. Sebelumnya, perkenalkan diri kamu?"
"Saya Sania, Nyonya," ucapku terbata.
"Sudah pengalaman mengasuh bayi?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Kepalaku reflek mendongak. Aku mengikuti arah sumber suara di depanku. Bibirku kelu untuk bisa menjawab dengan gamblang pertanyaan yang seharusnya dengan mudah bisa kujawab.
Kepalaku lantas mengangguk cepat. Mataku menatap wajah ayu itu dengan sedikit rasa takut dan tangan berkeringat dingin.
"Jangan tegang. Santai saja. Saya bukan orang jahat. Hanya saja saya tidak suka berbasa basi," ujarnya dengan sedikit menurunkan nada suaranya. Segaris senyum terbit setelah ia menyampaikan bagaimana sifat dirinya.
Jemari yang lentik nan bercat mengkilat menunjukkan bahwa perempuan ini adalah nyonya di rumah ini. Gaya pakaian dan bahasa tubuhnya sangat elegan. Berbeda denganku yang berpakaian apa adanya. Asal bersih dan rapi.
"Iya, Nyonya. Maaf. Ini pertama kali saya bekerja setelah menjadi ibu rumah tangga di desa," ujarku lirih. Aku memainkan tali tas jinjing yang kuletakkan di atas pangkuanku. Kugenggam tali itu dan kuremas untuk melampiaskan rasa yang baru kali ini kudapatkan.
"Pagi, Tante," sapa seorang wanita cantik dengan rambut disanggul modern khas pegawai bank. Ada sebuah logo yang terletak di dada sebelah kirinya dan name tag di dada sebelah kanannya. Aroma melati menguar sejak kedatangan wanita cantik itu.
"Pagi juga," jawab perempuan di depanku itu.
Mataku tak lepas dari wanita yang sedang mencium pipi perempuan paruh baya yang sedang menanyaiku ini. Kecupan bergantian di pipi kanan dan kirinya membuatku tak henti mengamati tingkah keduanya. Baru datang bukannya salaman dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu tetapi langsung cipika-cipiki. Ah mungkin ini kebiasaan orang kota saat baru berjumpa.
"Aku bawain baju baru buat Kiaa. Aku sengaja mampir sebentar sebelum berangkat kerja, kangen sama bayi mungil, lucu nan menggemaskan itu," ujarnya sambil terkekeh.
"Repot-repot aja. Langsung bawa masuk ke kamar. Kiaa lagi sama Papanya," jawab perempuan paruh baya itu. Mungkin Kiaa adalah bayi mungil yang tadi di bawa oleh Mas Risky. Aku hanya menebak karena ibu di depanku ini belum memperkenalkan bayi yang akan kuasuh.
Tanpa menyapaku, perempuan yang kubaca di name tag-nya bertuliskan Adinda itu langsung masuk ke dalam. Ia membawa satu paper bag besar di tangan kanannya sedangkan di tangan kirinya menenteng sebuah tas jinjing.
Dari bahannya, sepertinya tas dan pakaian yang dipakai itu bukan barang murah. Karena aku tak pernah menemukan bahan yang sama di toko biasa aku membeli tas dan pakaian.
Jelas saja, aku lupa bahwa mereka ini adalah orang kaya. Sedangkan aku hanya perempuan rumahan yang tinggal di desa dengan pekerjaan suami sebagai buruh pabrik.
Bagiku pekerjaan Mas Yudha dulu sudah baik dan lumayan menyejahterakan kehidupan kami. Gaji yang diperoleh sudah lebih dari cukup untuk hidup di desa. Entah jika digunakan untuk hidup di kota dengan berbagai tren pakaian dan makanan kekinian. Mungkin tak akan cukup.
Tunggu, papanya? Berarti bayi mungil dalam dekapan Mas Risky tadi adalah anaknya. Lantas siapa perempuan tadi? Mengapa menyebut perempuan di depanku ini dengan Tante? Kemana ibu bayi itu? Sayangnya aku hanya bisa menyimpan banyak tanya dalam hati saja.
"Mari ikut saya ke dalam. Saya mau lihat bagaimana kamu memandikan cucu saya," ajaknya setelah Adinda berlalu dari hadapan kami.
Mendengar permintaannya membuat aliran darahku kembali bergerak dengan cepatnya. Bagaimana tidak, di dalam sana sedang ada Mas Risky yang bisa saja membuat konsentrasiku untuk merawat bayi itu terpecahkan. Belum lagi badan yang gemetar tak menentu begini. Jelas ini mempengaruhi keluwesan tanganku dalam merawat bayi mungil itu.
"Bismillah, ayo Sania, kamu bisa," ujarku menyemangati diri sendiri dalam hati.
Langkah kakiku mengikuti pergerakan kaki milik perempuan paruh baya dengan dress selutut itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Dilihat dari ruang tengahnya, rumah Bu Maria tampak besar. Tak banyak perabotan bececeran, semuanya tertata rapi dan bersih.
Ada sebuah lemari berisi gelas dan benda-benda dari keramik yang tertata rapi di atas raknya. Di sebelah lemari itu terdapat sofa panjang menghadap televisi yang menempel di dinding.
Mataku menyapu sekeliling sambil sesekali menatap punggung wanita tua itu agar tak kehilangan jejaknya.
Ada sebuah foto yang menempel di ujung ruang tengah itu. Tampak wajah Mas Risky terpampang di dalam pigura itu beserta seorang perempuan berkebaya putih gading dengan rambut disanggul modern. Mataku sekilas menelisik wajah perempuan yang terbingkai di dalam pigura itu. Itu bukan wajah Adinda.
Langkah kaki Bu Maria berhenti tepat di depan sebuah kamar. Aku pun mengekor di belakangnya menunggu ia membuka sendiri kamar yang hendak dituju.
Badan Bu Maria terperanjat kaget saat pintu itu terbuka sedikit. Dari celah itu tampak sebuah adegan yang tak seharusnya dilihat orang lain. Tangan Adinda tepat berada di atas pundak Mas Risky dengan tatapan mata yang sarat dengan sebuah rasa. Pandangan itu bersambut. Tangan Mas Risky sudah berada di pinggang Adinda yang ramping.
Suara derit pintu terbuka membuat Mas Risky dan Adinda reflek melepas gerakan tangannya. Ada rasa canggung saat kedua pasang mata itu melihat wajah dua wanita yang tengah berada di balik pintu ini.
Aku pun terperanjat kaget melihat sepasang manusia di dalam kamar itu. Entah apa yang terjadi jika kami berdua tak membuka pintu itu. Tak usah ditanya bagaimana, dari pandangan mata keduanya saja sudah bisa dilihat bahwa ada rasa yang menggebu menuntut balas.
Bersambung 🌷🌷🌷
Akhirnya Kumenemukanmu 3Bak tumbuh dimusim semi, kembang-kembang bermekaran di taman hati. Tetapi ada yang membuat semuanya menjadi layu dan kemudian mati. Aku tak bisa mengatasi itu karena aku tak punya hak untuk memaksa kembang-kembang itu terus tumbuh. Aku hanya bisa menikmati setiap geraknya, meskipun terasa menyakitkan."Sayang aku berangkat kerja dulu ya? Jangan lupa besok kita harus fitting baju pengantin." Suara Adinda membuat gerakan tanganku terhenti.Kukira pertemuan ini akan membawaku pada cinta yang sekian lama terpendam dan tak henti kusebut namanya dalam doaku. Tetapi Allah berkehendak lain. Aku berada diantara jurang yang mengerikan. Rasa yang menyakitkan."Astagfirullah," batinku berucap. Tanganku tetap dengan hati-hati memegang bayi yang sedang kubilas dalam bak mandi yang diletakkan di atas meja. Bayi cantik nan imut membuat mataku tak henti memandangnya.Dari suara Adinda, aku paham bahwa keduanya tengah berada di dekatku tetapi posisiku yang membelakangi suara me
Akhirnya Kumenemukanmu 4"Bi, saya boleh tanya sesuatu?" tanyaku pada Bi Siti yang masih sibuk dengan kompor dan panci. Aku menunggunya menyelesaikan pekerjaannya hingga masakan itu matang sebelum dia mengantar ke kamar yang akan kutempati."Boleh. Tanya apa memang?" jawabnya cepat. Ia meletakkan sendok yang digunakan untuk mencicipi makanan dalam panci itu ke dalam wastafel. Kemudian menggandengku berjalan menuju ruangan di sebelah dapur.Ada dua kamar yang berbatasan dengan dinding dapur. Dua kamar itu sepertinya sama besarnya. Satu kamar pintunya tertutup rapat, mungkin sudah ada penghuninya. Satu lagi yang hendak dibuka oleh Bi Siti."Mamanya Kiaa kemana?" tanyaku setelah Bi Siti membuka dengan lebar satu pintu untukku masuk.Bi Siti refleks menoleh ke arahku. Ada rasa kaget dari sorot matanya yang sendu. Kemudian sepersekian detik sebuah garis lengkung tercipta dari dua sudut bibirnya."Mamanya Kiaa meninggal sebulan lalu. Beberapa hari setelah melahirkan ia kecelakaan dan mengal
Akhirnya Kumenemukanmu 5Hari-hari berlalu seperti biasanya. Sikap dingin Mas Risky semakin menjadi. Tak peduli bagaimanaa baiknya aku merawat putri tunggalnya dia tetap dingin. Sedingin es.Perlahan hatiku mulai kebal. Kebal akan wajahnya yang tak pernah bersahabat denganku. Hanya bicara seperlunya saja. Aku pun belajar tak peduli. Tak peduli akan dinginnya sikap pria yang masih menjadi pemilik separuh hatiku itu padaku.Benarkah rasanya padaku sudah menguap seiring dengan jarak dan waktu yang membatasi? Entahlah, aku pun belajar tak peduli. Tetapi sisi terdalam hatiku tak mau berhenti menyebut namanya dalam setiap doa yang kugaungkan tiap sepertiga malam.Dalam hati aku selalu berharap akan ada kesempatan dimana kami bisa meluapkan rasa satu sama lain. Bisa jadi sisa rasa itu ada dan aku ingin suatu saat rasa itu tersampaikan padaku.Tapi siapa aku? Pantaskah aku memiliki keinginan seperti itu? Lancang.Siang ini kami sedang berada di ballroom sebuah hotel bintang lima untuk melaksa
Akhirnya Kumenemukanmu 6Prosesi akad sedang berlangsung dengan khidmat. Banyak tamu undangan yang menyaksikan prosesi itu yang turut larut dalam khidmat dan sakralnya pernikahan. Ada juga yang beberapa kali kulihat mengusap air mata.Saat khutbah nikah dikumandangkan, aliran darahku rasanya mengalir deras. Aliran darahnya bak air terjun yang jatuh ke dasar sungai dengan cepatnya. Ada rasa cemas dan tak rela yang bergelayut dalam hatiku.Beruntung Bi Siti mengambil alih Kiaa dari gendonganku. Kami duduk bersisihan di belakang deretan kursi untuk keluarga inti. Tetapi mataku bisa menangkap dengan jelas proses akad yang sedang berlangsung itu. Sungguh hatiku bak ditusuk sembilu. Perih melihat tangan kekar yang kuharapkan dengan penuh cinta membelai wajahku kini pupus sudah.Kudengar suara Penghulu membaca ijab qabul dengan lantang membuat hatiku semakin perih. Siapalah aku ini? Berulang kali hatiku berdebat. Sisi baik dan sisi buruknya kembali mencari pembenarannya sendiri. Aku mendesah
Akhirnya Kumenemukanmu 7"Bi, permisi ke depan dulu ya? Ini waktunya Kiaa minum susu, biar kuberi susu sambil kugendong keluar," pamitku pada Bi Siti. Tempat duduk Bu Maria tepat di depan tempat duduk Bi Siti, aku takut mengganggu jika harus meminta izin lebih dulu padanya. Biarlah nanti Bi Siti yang menyampaikan.Aku berjalan mewati tamu undangan menuju pintu keluar. Suasana bising sound system di dalam ruangan tidak bisa membuat Kiaa tertidur pulas. Aku harus membawa Kiaa keluar ruangan ini.Aku berdiri di depan pintu masuk. Terdapat satu kursi panjang yang di atasnya sedang terduduk dua gadis dengan kebaya yang membalut tubuh keduanya. Mungkin mereka tamu undangan yang sedang menunggu temannya di luar."Enak bener ya jadi Adinda, jadi temen deket dari mantan istri Risky, eh malah disuruh gantiin posisinya. Mujur banget nasibnya, padahal Adinda ngga deket-deket amat sama Alisya," ujar salah satu dari gadis yang duduk di atas kursi itu. Tepat di samping kiri tempat kuberdiri. Mereka
POV. Ar Risky GunawanAku tak mengira bahwa rumah tangga yang sedang kuperjuangkan di tengah kemelut rasa yang membuncah dalam hatiku tetap harus berakhir. Bukan karena perceraian tapi karena usia istriku yang tak lagi bisa membersamaiku.Betapa hancur hatiku saat aku memandangi wajah ayu Azkiaa yang harus menjadi piatu diusia yang masih bisa dihitung jari. Air mataku mengalir saat harus terjaga untuk menemaninya menghabiskan susu dalam botol yang telah kusiapkan. Gadis kecilku mengisap karet botol itu dengan kuatnya. Lehernya naik turun menelan air yang keluar dari lubang kecil diujung karet yang ada di dalam mulutnya. "Malang sekali nasibmu, Nak," lirihku sambil memandangi wajahnya.Hari berganti hari, perlahan Adinda mulai menggantikan posisi Alisya dalam keseharianku. Wanita yang ditunjuk oleh Alisya untuk merawat anaknya kini mulai menepati janjinya. Gadis yang bekerja di bank konvensional itu selalu meluangkan waktunya setiap hari setelah kepergian Alisya. Dia berusaha keras u
Akhirnya Kumenemukanmu 9"Eh tumben kayak bapak-bapak bener omonganmu?" tanyaku heran. Tak biasanya dia bisa sebijak ini. "Kan aku lagi bijak, jangan menghancurkan martabatku sebagai lelaki yang bijak," ujarnya sambil membenarkan kerah baju, bergaya sok."Hilih, biasanya juga kamu yang doyan!" balasku sambil melempar rokok ke arahnya. Dengan sigap tangan Adam menerima lemparanku itu."Haisss jangan main lempar-lemparan, hancur rokokku!" sungutnya pura-pura marah."Berapa sih harga rokok? Ngajakin kencan cewek keluar modal banyak juga biasa aja," selaku sambil mencebik. Adam malah tertawa renyah. "Jangan keras-keras, ini kafe ada cctvnya, hancur sudah rumah tanggaku kalau dia dengar," bisiknya."SSTI." "Apaan itu?""Suami-suami takut istri," jawabku sambil tertawa."Bukan takut istri, tapi sayang istri. Ngawur aja kalau sampai dia tahu, bisa tidur di luar aku," sengitnya.Setelah ngobrol dengan Adam, aku kembali pulang dengan hati berkecamuk. Pernikahan sudah didepan mata tapi hatik
Akhirnya Kumenemukanmu "Sa, siapin baju-baju kamu sama barang-barang Kiaa ya? Kalian ikut pindah ke rumah Risky yang di perumahan Grand Kencana," ujar Bu Maria saat aku sedang membuatkan susu untuk Kiaa. "Pindah, Nyonya?" tanyaku kaget. Aku refleks menghentikan gerakan tanganku memindahkan susu bubuk ke dalam botol susu milik Kiaa."Iya. Setelah pulang dari hotel Risky dan Adinda langsung pindah ke rumahnya," jawab Bu Maria cepat. Ia tengah duduk di bibir ranjang dan menepuk paha Kiaa yang mengantuk. Bayi mungil itu menggeliat karena lapar.Astaga, aku pun ikut pindah? Bagaimana hidupku di sana nanti? Bagaimana kikuknya sikapku saat hanya tinggal berempat di sana dengan keluarga kecilnya? Astagfirullah. "Kenapa, Sa? Kok bengong?" tanya Bu Maria saat aku terdiam sambil menggenggam susu Kiaa yang belum kuaduk.Mataku terperanjat saat mendengar pertanyaan Bu Maria. Perempuan paruh baya itu rupanya mengamatiku."Hei, Bayi kecil," sapa Dimas tiba-tiba. Ia baru saja masuk ke kamar Kiaa t