Share

Bab 3

Akhirnya Kumenemukanmu 3

Bak tumbuh dimusim semi, kembang-kembang bermekaran di taman hati. Tetapi ada yang membuat semuanya menjadi layu dan kemudian mati. Aku tak bisa mengatasi itu karena aku tak punya hak untuk memaksa kembang-kembang itu terus tumbuh. Aku hanya bisa menikmati setiap geraknya, meskipun terasa menyakitkan.

"Sayang aku berangkat kerja dulu ya? Jangan lupa besok kita harus fitting baju pengantin." Suara Adinda membuat gerakan tanganku terhenti.

Kukira pertemuan ini akan membawaku pada cinta yang sekian lama terpendam dan tak henti kusebut namanya dalam doaku. Tetapi Allah berkehendak lain. Aku berada diantara jurang yang mengerikan. Rasa yang menyakitkan.

"Astagfirullah," batinku berucap. Tanganku tetap dengan hati-hati memegang bayi yang sedang kubilas dalam bak mandi yang diletakkan di atas meja. Bayi cantik nan imut membuat mataku tak henti memandangnya.

Dari suara Adinda, aku paham bahwa keduanya tengah berada di dekatku tetapi posisiku yang membelakangi suara membuatku tak bisa melihat keduanya dengan mata kepalaku sendiri apa yang sedang mereka lakukan. 

Apakah dia masih memiliki rasa padaku? Entahlah. Setahun tak bertemu dan menjalin komunikasi bisa saja membuat rasanya padaku luntur begitu saja. Apalagi sudah ada bayi cantik ini didalam hidupnya.

Aku kembali melanjutkan aktivitasku. Bayi itu tak menangis sedikitpun saat aku merawatnya. Ini membuktikan pada Bu Maria bahwa aku layak untuk mendapatkan kesempatan merawat bayi ini. Bibirku merekah melihat gerak bayi dalam air ini. Tidak seperti bayi pada umumnya yang suka menangis saat dimandikan, dia justru terlihat sangat menikmati. Ah lucunya.

Tak lagi kudengar suara Adinda, apalagi suara Mas Risky. Hanya ada Bu Maria yang mengawasiku sambil duduk di kursi dekat box bayi milik bayi mungil ini.

"Kiaa terlihat nyaman saat kamu rawat. Sepertinya kamu cocok menjadi pengasuhnya," ujar Bu Maria saat aku sudah membawa Kiaa di atas kasur untuk kupakaikan baju.

"Alhamdulillah, Nyonya." Bibirku tersungging. Ada harapan dalam dadaku agar aku diterima. Terlepas dari sosok Mas Risky yang kutemui, aku hanya berharap agar bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan Caca dan Ibu di kampung.

"Kamu saya terima. Soal gaji kamu jangan khawatir. Saya bisa kasih kamu lebih asal bayi Kiaa bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dalam asuhanmu." Bu Maria berucapa tegas. Ada rasa yakin yang tersirat dalam kalimatnya.

Tak bisa kubayangkan bagaimana senangnya hatiku mendengar keputusan Bu Maria. Bayang-bayang suramnya masa depan Caca kini tak lagi kurisaukan sebab aku sudah bisa menghasilkam uang sendiri dan menabung untuk bisa memberikan masa depan yang terbaik. Sesuai dengan apa yang diharapkan Mas Yudha saat ia masih hidup.

Aku mengangguk patuh. Semakin kutekadkan dalam hati untuk merawat Kiaa dengan baik agar Bu Maria tidak kecewa.

"Lanjutkan pekerjaanmu, saya tinggal sebentar," pamit Bu Maria meninggalkanku di dalam kamar Kiaa seorang diri. 

Aku kembali mengangguk. Sebab jika ditinggal sendirian malah membuatku semakin luwes saat memegang Kiaa.

"Maa, kenapa perempuan itu yang jadi pengasuh Kia? Ganti saja lah, Ma," ujar suara bariton yang sepertinya milik Mas Risky.

Aku terdiam mendengarkan suara sayup yang sepertinya keberatan atas kehadiranku.

"Kenapa, sih? Kerjanya bagus kok. Dia sudah punya anak jadi sudah pengalaman merawat bayi. Mama juga lihat sendiri bagaimana dia memegang anakmu. Sudah lah ngga apa-apa. Kamu bisa fokus urus pernikahanmu," sahut suara yang kutahu milik Bu Maria.

Aku tertegun mendengar obrolan yang dari suara sepertinya masih di depan kamar Kiaa. Mengapa dia keberatan atas kehadiranku? Apa tidak ada sisa rasa untuk diriku setelah tak menjalin komunikasi selama setahun?

Suara ocehan bayi Kiaa membuat kesadaranku pulih. Bayi itu bergeliat manja sambil memainkan lidahnya. Mungkin haus. Biasanya bayi akan menyusu setelah dimandikan dan kemudian tertidur.

Kepalaku celingukan mencari letak susu bubuk dan peralatan lainnya. Kamar dengan wallpaper dinding bergambar princess Disney ini membuatku takjub. Bayi masih berusia sekitar dua bulan saja tapi kamarnya sudah didesain model seperti ini. Andai aku juga bisa memberikam hiasan yang sama di kamar Caca pasti dia akan senang sekali.

Kudekati meja kecil yang sepertinya khusus untuk membuat susu milik Kiaa. Terdapat susu, termos dan botol susu di atas nampan kecil. Aku segera membuatkan susu agar bayi Kiaa segera kenyang dan tertidur. Tak lagi kudengarkan perbincangan di depan ruangan itu karena sudah kudengar pembelaan dari Bu Maria untukku. 

Ah semoga saja Mas Risky tak membuat Bu Maria urung memakai jasaku karena aku memang sangat membutuhkan pekerjaan ini.

Kumasukkan dot susu ke dalam mulut Kiaa. Dengan lahap ia menerima suapan dot dari tanganku dan menikmati aliran air susu dari dalam dot itu. Perlahan kutepuk-tepuk paha mungil milik Kiaa yang berbalut celana panjang agar ia segera terlelap.

"Mbak, permisi. Ini tasnya saya taruh di sini, ya?" ujar perempuan paruh baya yang tadi membukakan pintu untukku saat pertama kali datang.

Tubuhnya berjingkat saat aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir agar ia mengecilkan volume suaranya. Kiaa sudah mulai memejamkan mata dan biasanya mata bayi akan kembali terbuka saat menengar suara. Beruntung Kiaa tidak seperti itu. Ia tak terganggu dengan keberadaan perempuan paruh baya yang sepertinya itu pembantu di sini.

"Kata Nyonya, setelah bayi Den Bagus tertidur, kamu temui saya biar saya antar ke kamar kamu," bisik perempuan paruh baya itu.

Aku mengangguk cepat. Lalu mengulurkan tangannya untuk berkenalan karena aku belum tahu harus memanggilnya apa.

"Kenalkan, saya Sania," lirihku sambil mengulurkan tangan.

Perempuan yang memakai daster panjang itu menerima uluran tanganku dan menyebutkan namanya. "Saya Bi Siti, panggil saya Bibi. Saya pembantu di sini," jawabnya turut mengurangi volume suaranya.

Bibirku tersungging ramah dan mengangguk. Dari wajahnya aku merasa bahwa Bi Siti ini wanita yang sabar. Wajahnya menenangkan dan keramahannya membuat aku yang baru berada di sini merasa tenang dan nyaman. Terlepas dari sikap Mas Risky yang dingin.

Setelah berkenalan Bi Siti kembali keluar kamar. Aku pun memastikan bahwa Kiaa sudah tertidur pulas. Aku beringsut turun dari ranjang besar milik Kiaa. 

 Dalam hati aku iba melihat Kiaa. Kenapa bayi mungil itu tidak di asuh oleh ibunya. Kenapa malah mencari pengasuh untuk merawatnya yang seharusnya mendapat limpahan kasih sayang. Ah sudah lah. Itu bukan urusanku. Yang jelas ini ladang rejeki untukku agar bisa menafkahi Caca. 

Aku mengambil tas yang diletakkan di dekat pintu oleh Bi Siti. Kemudian aku keluar untuk menemuinya sesuai arahan yang tadi diberikan. Aku heran, katanya pengasuh tapi aku diberi kamar sendiri, bukannya pengasuh itu setiap saat harus berada di dekat bayi yang diasuhnya? Ah sudah lah. Apa kata Nyonya besar saja.

Aku berjalan perlahan menuju ruang tengah yang tepat berada di depan kamar Kiaa. Kulihat Mas Risky sedang duduk di sofa sambil melihat televisi. Matanya fokus melihat televisi berukuran besar yang menempel di dinding. Sedangkan satu tangannya memegang remot televisi itu.

Bibirku kelu untuk sekedar bertanya dimana letak dapur dalam rumah ini. Aku berdiri mematung, melihat lelaki yang selalu kusebut dalam doaku tampak angkuh. Tak seperti dia yang selalu hadir dalam dunia mayaku.

Sepasang mata dengan bola mata hitam itu melirik ke arahku yang sedang berdiri gelisah. Ia melihat kedua tanganku yang tengah memilin tali tas yang sedang kupegang.

"Kenapa berdiri di situ? Mengapa Kiaa kamu tinggal?" tanyanya dengan raut wajah serius. Tak ada keramahan sedikitpun dengan aku yang baru berada di sini.

Bersambung 🌷🌷🌷

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status