POV Alesha Zahra________&&_______Sejak aku mengandung dan bisa mengusir keluar Amelia dari rumah mertua kami, aku merasa sudah mendapatkan segalanya. Kasih sayang ibu dan perhatian semua orang, bahkan aku bisa menguasai kamar yang demi kamar itu wanita bod*h itu rela mas Damar lebih banyak bersamaku. Aku bisa mendapatkan semuanya, hanya satu yang tetap tidak bisa kumiliki, cinta suamiku. Aku tidak peduli dia tidak mencintaiku, asal dia selalu bersamaku, aku terus menggunakan kehamilanku untuk menghalanginya bertemu dengan istri pertamanya. Saat dia berjanji akan datang dan mengatakan rindu pada Amelia, aku sengaja membuatnya mencari makanan yang susah di dapatkan hingga akhirnya dia pulang sore hari dan hujan pun turun dengan lebat. Saat mereka janjian untuk bertemu di kebun kopi, aku juga melakukan hal yang sama. Begitu melihat mbak Susi pergi untuk menjemput Amelia, aku segera merengek pada suamiku untuk mencarikan sesuatu lagi. Nampaknya usahaku tidak sia-sia, wanita itu bisa m
Pandangan wanita itu nanar menatap kearah kami. "Tega kamu mas! kamu bilang akan bekerja, ada urusan, tapi ternyata kamu ada disini. Urusanmu adalah urusan ranjang bersama wanita ini, hah!?" ucap Maya berapi-api. Dia langsung menarik badan Bisma dari atas tubuhku dan mendorongnya menjauhiku. Tenang wanita itu begitu kuat, mungkin karena di kuasai kemarahan. "Dasar wanita murahan! kamu sudah mengambil suami orang lain tapi tidak puas dan ingin juga mengambil suamiku. Aku bukan Amelia, aku tidak akan tinggal diam dengan semua ini. Aku akan membunuhmu sekarang juga," pekiknya kencang. Istri Bisma langsung menyerangku dengan membabi buta, menampar pipiku berkali-kali dan memukuliku. Aku yang sejak tadi dalam posisi tidak berdaya makin tak berdaya untuk melawan wanita yang sedang kalap itu. "Aku sudah menhan diri selama ini karena malu sama mertuamu, tapi ternyata kamu masih belum berubah juga. Bahkan setelah suamimu meninggalkan dirimu kamu makin tidak terkendali. Apa kamu sekarang b
Perlahan aku membuka amplop berwarna putih yang tertulis namaku. Alesha menulis surat untukku.Amelia, Sahabatku. Mungkin sekarang aku tidak pantas lagi disebut sahabat, setelah apa yang aku lakukan padamu. Aku sudah menduga jika kamu pasti tidak akan mau menemuiku, makanya aku sengaja menulis surat ini. Maafkan aku, teman. Aku sudah iri dengan apa yang kamu miliki, bahkan aku berusaha merebutnya darimu. Tapi nyatanya ikatan cinta kalian begitu kuat, aku tidak bisa memiliki suamimu dan aku sendiri yang terbakar didalam api yang aku ciptakan sendiri.Ibu mas Damar sudah menyuruhku pergi dari rumah itu, saat ini aku sudah tidak ada disana lagi. Raka bersama bunda sekarang, bunda sangat kecewa padaku saat aku menceritakan semuanya dengan sebenar-benarnya. Mungkin aku tidak berhak meminta, tapi jika boleh aku tidak ingin Raka diambil dan diasuh oleh Bisma, lelaki itu tidak boleh merawatnya. Aku juga titip bundaku, Amel. Jenguklah dia sesekali, hiburlah dirinya, aku tahu kamu akan mau m
Mas Damar tampak menghela nafas panjang, seolah-olah menata hati dan ucapan yang hendak dia sampaikan pada bunda Zahra. "Sebelumnya saya minta maaf bunda, saya tidak bisa lagi mempertahankan pernikahan saya dengan Alesha. Selain karena pengacara sudah mengurus semuanya dan mungkin akan segera selesai, sejak awal tidak ada perasaan yang terjalin diantara kami. Jika kami terus mempertahankan hubungan ini, tidak akan ada yang bahagia, baik saya maupun Alesha. Lebih baik saya melepaskan, dan berharap suatu saat nanti Alesha akan mendapatkan laki-laki yang baik, yang mau menerimanya dan menjaganya dengan baik," tutur mas Damar panjang lebar. Dalam hatiku aku merasa lega mendengar jawaban dari suamiku itu, disisi lain bunda tampak kecewa dengan jawaban mas Damar. "Bunda tidak bisa memaksa ataupun berbuat apa-apa karena kesalahan putri bunda memang tidak bisa di toleransi, dan memang perasaan tidak bisa di paksakan. Buktinya anak bunda sendiri yang mengalaminya. Mungkin nak Damar begitu n
Gelombang cinta sudah kurasakan sejak tadi pagi di perutku. Aku pikir sepertinya aku akan melahirkan, biasanya rasa ini akan segera menghilang begitu beberapa saat aku rasakan. Dokter bilang itu kontraksi palsu. Tapi hari ini, rasa itu semakin lama semakin sering muncul, dan rasanya luar biasa. Aku sejak tadi mencoba menahannya karena kupikir ini akan hilang lagi seperti biasanya, karena perkiraan kelahiran masih satu minggu lagi. Namun ternyata makin siang rasanya semakin sering muncul. Sejak pagi tadi aku sudah berjalan-jalan di sekeliling rumah seperti biasanya selepas mas Damar pergi bekerja, dan saat ini aku tengah berisitirahat di dalam kamar sambil menikmati rasa sakit di perutku yang datang dan pergi secara intens. "Maaa," aku berteriak memanggil mama. Tidak ada jawaban, mungkin mama sedang sibuk di dapur. Perlahan-lahan aku turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar untuk mencari mama. Sepertinya aku harus segera kerumah sakit. "Maaa," seruku lagi, memanggil calon
Suasana desa yang sejuk dan asri kembali menyapa kami. Pada akhirnya mas Damar dan aku memutuskan untuk pulang juga ke kampung. Kami berangkat selepas subuh dan sampai di kampung ini selepas Zuhur. Kami akan tinggal di rumah besar itu lagi, dimana untuk mempertahankannya bapak rela mengorbankan banyak hal. Beliau seperti diriku, menghargai sesuatu yang memiliki banyak kenangan di dalamnya.Jika di jual rumah dan tanah ini pasti bernilai fantastis, makanya hanya rumah ini dan beberapa aset saja yang di dapat oleh bapak. Mobil di rumah yang dulunya berjejer-jejer sekarang tinggal dua saja. Mobil yang bisa di pakai mas Damar dan di pakai bapak. Mobil-mobil untuk angkut barang sudah berpindah ke rumah Bisma dan orang tuanya semua, karena itu memang aset untuk peternakan yang sekarang di kuasai oleh mereka. Adik perempuan bapak yang paling kecil mendapatkan beberapa hektar kebun, bagian perempuan memang hanya setengah dari bagian laki-laki. Peternakan yang begitu besar dan jumlah ayam r
Adik iparku, Nisa, terlihat cantik dalam balutan gamis pesta berwarna silver. Kepalanya di tutupi dengan jilbab dengan warna yang senada. Hari ini adalah hari yang membahagiakan buatnya, setelah menjalani ta'aruf dengan mas Fariz beberapa waktu lalu akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan hari ini adalah acara lamaran mereka. Mas Fariz yang pernah mengajar Nisa dan bertemu di pondok pesantren, membuat proses perkenalan mereka berjalan lancar dan tidak lama. Akhirnya adik iparku itu akan menjadi pendamping lelaki yang diam-diam dikaguminya. Entah gimana dulu perasaannya saat dia tahu lelaki itu hendak ingin berta'aruf denganku. Ah, ta'aruf berbeda dengan pacaran bukan. Proses itu hanya untuk saling mengenal saja. Pasti Nisa tidak memikirkan apapun soal masa lalu itu. "Amma tatntik," ucap Yumna berceloteh sambil menatap kearah Nisa.Bocah dengan usia dua tahun dua bulan itu sudah pandai berbicara dengan lancar, kedua putra-putriku itu begitu lincah dan pandai, juga saling menjag
"Papa ... Papa!" pekik Yumna dan Zikri saat melihat papanya pulang dari kandang. Sebenarnya peternakan kami sudah mulai berkembang dengan baik, sudah mulai menghasilkan lagi dan bisa mengaji karyawan lebih banyak. Mas Damar ke sana hanya untuk mengecek keadaan saja. Dia mulai sibuk lagi dengan kegiatan penjualan hasil beternak. Aku ikut menghampiri suamiku dan menyambutnya, mengambil barang bawaannya jika dia membawa sesuatu. Kadang kala dia akan membawa telur-telur yang tidak bisa di jual karena mengalami keretakan. "Tumben pulang lambat mas?"Papa dari kedua anakku itu pulang lebih lambat dari biasanya, biasanya sebelum tengah hari sudah pulang jika ke kandang tapi kali ini dia pulang lewat tengah hari. "Oh, lagi ada pembeli yang langsung membeli kesana dalam jumlah besar dan aku menungguinya," jawab mas Damar menjelaskan. Aku hendak ikut ikut masuk kedalam rumah mengikuti anak-anak dan papanya, namun sebuah suara memanggilku. Mbak Yani, tetangga depan rumah yang satu bulan la