Suasana desa yang sejuk dan asri kembali menyapa kami. Pada akhirnya mas Damar dan aku memutuskan untuk pulang juga ke kampung. Kami berangkat selepas subuh dan sampai di kampung ini selepas Zuhur. Kami akan tinggal di rumah besar itu lagi, dimana untuk mempertahankannya bapak rela mengorbankan banyak hal. Beliau seperti diriku, menghargai sesuatu yang memiliki banyak kenangan di dalamnya.Jika di jual rumah dan tanah ini pasti bernilai fantastis, makanya hanya rumah ini dan beberapa aset saja yang di dapat oleh bapak. Mobil di rumah yang dulunya berjejer-jejer sekarang tinggal dua saja. Mobil yang bisa di pakai mas Damar dan di pakai bapak. Mobil-mobil untuk angkut barang sudah berpindah ke rumah Bisma dan orang tuanya semua, karena itu memang aset untuk peternakan yang sekarang di kuasai oleh mereka. Adik perempuan bapak yang paling kecil mendapatkan beberapa hektar kebun, bagian perempuan memang hanya setengah dari bagian laki-laki. Peternakan yang begitu besar dan jumlah ayam r
Adik iparku, Nisa, terlihat cantik dalam balutan gamis pesta berwarna silver. Kepalanya di tutupi dengan jilbab dengan warna yang senada. Hari ini adalah hari yang membahagiakan buatnya, setelah menjalani ta'aruf dengan mas Fariz beberapa waktu lalu akhirnya mereka memutuskan untuk menikah dan hari ini adalah acara lamaran mereka. Mas Fariz yang pernah mengajar Nisa dan bertemu di pondok pesantren, membuat proses perkenalan mereka berjalan lancar dan tidak lama. Akhirnya adik iparku itu akan menjadi pendamping lelaki yang diam-diam dikaguminya. Entah gimana dulu perasaannya saat dia tahu lelaki itu hendak ingin berta'aruf denganku. Ah, ta'aruf berbeda dengan pacaran bukan. Proses itu hanya untuk saling mengenal saja. Pasti Nisa tidak memikirkan apapun soal masa lalu itu. "Amma tatntik," ucap Yumna berceloteh sambil menatap kearah Nisa.Bocah dengan usia dua tahun dua bulan itu sudah pandai berbicara dengan lancar, kedua putra-putriku itu begitu lincah dan pandai, juga saling menjag
"Papa ... Papa!" pekik Yumna dan Zikri saat melihat papanya pulang dari kandang. Sebenarnya peternakan kami sudah mulai berkembang dengan baik, sudah mulai menghasilkan lagi dan bisa mengaji karyawan lebih banyak. Mas Damar ke sana hanya untuk mengecek keadaan saja. Dia mulai sibuk lagi dengan kegiatan penjualan hasil beternak. Aku ikut menghampiri suamiku dan menyambutnya, mengambil barang bawaannya jika dia membawa sesuatu. Kadang kala dia akan membawa telur-telur yang tidak bisa di jual karena mengalami keretakan. "Tumben pulang lambat mas?"Papa dari kedua anakku itu pulang lebih lambat dari biasanya, biasanya sebelum tengah hari sudah pulang jika ke kandang tapi kali ini dia pulang lewat tengah hari. "Oh, lagi ada pembeli yang langsung membeli kesana dalam jumlah besar dan aku menungguinya," jawab mas Damar menjelaskan. Aku hendak ikut ikut masuk kedalam rumah mengikuti anak-anak dan papanya, namun sebuah suara memanggilku. Mbak Yani, tetangga depan rumah yang satu bulan la
POV DAMAR______&&_____Tengah malam buta aku memacu kuda besi menuju peternakan, aku abaikan dinginnya udara malam, meninggalkan istriku yang sepertinya dikuasai oleh ribuan pertanyaan. Jono, orang yang bertugas menjaga peternakan mengatakan jika dia menangkap orang yang beberapa hari ini bikin rusuh di peternakan kami. Lelaki itu mengatakan jika yang menyuruhnya adalah sepupuku, Bisma. Mau apa lagi sih nih orang, tidak puas-puasnya menganggu kehidupan keluarga kami. Padahal harapan bapak setelah membagi semuanya secara rata, agar dia tidak akan berulah lagi. Apa lagi dia mendapatkan sesuatu yang memang dia inginkan, peternakan yang sudah sukses dan banyak menghasilkan. Sedangkan bapak dan bulek hanya mendapatkan sebagain kecil, bapak yakin padaku dan pada dirinya sendiri jika kami akan bisa mengembangkan apa yang kami dapatkan, dan saat ini hasilnya memang sudah mulai terlihat. Begitu sampai di tujuan, aku segera menemui Jono dan Yudi yang sedang menunggui seorang laki-laki yang
Bisma tertawa lebar untuk menyembunyikan rasa khawatir dalam dirinya. "Apa maksudmu, perzinaan? itu sudah lama terjadi sudah telat jika mau melaporkan. Lagi pula kamu sudah menceraikan istrimu, untuk apa lagi di laporkan. Lalu pembunuhan, siapa yang aku bunuh?""Calon anakku, bukankah kamu yang sengaja melakukannya. Kamu pikir aku tidak tahu semuanya itu. Bukan Zahra yang sengaja mencelakai Amelia saat hamil tapi kamu kan. Begitu serakahnya kamu hingga rela melakukan apa saja.""Mana buktinya?" Aku mengirimkan pesan video ke nomor ponselnya. Video pengakuan Beni, lelaki yang menabrak Amelia kala itu. Setelah Amelia bercerita bertemu dengan Beni dan dia di jebak oleh Bisma dan Zahra, aku pun berusaha mencari lelaki itu. Setelah berhasil menemukannya dan mengancamnya baru aku bisa mendapatkan video pengakuannya itu. Aku hanya menyimpannya untuk berjaga-jaga jika diperlukan dan sepertinya memang sekarang aku memerlukannya. Setidaknya untuk mengancam sepupuku ini. Wajah Bisma berubah
Mama dan papa begitu antusias bermain bersama Yumna dan Zikri. Kedua orang tuaku itu baru saja datang ke rumah ibu, rumah besannya. Dua hari lagi, Nisa akan menikah jadi mama dan papa juga datang kesini. Orang tuaku itu sudah berbaikkan kembali dengan sahabatnya yang juga besannya. Hubungan mereka kembali membaik saat aku melahirkan dulu dan ibu mertuaku berusaha menjagaku dengan baik. Ibu dan bapak benar-benar menyesal dan meminta maaf pada mama juga papa, memohon agar aku di ijinkan kembali pulang ke kampung dan dirawat oleh mereka. "Pulang ke kota yuk, ke rumah nenek," ucap mama pada kedua cucunya.Secara refleks, Yumna dan Zikri menatap kearahku. Seolah-olah meminta persetujuan. "Nanti bilang papa dulu ya," jawabku sambil tersenyum."Lebih baik kamu kembali ke kota saja, Amel. Rumah yang di kota kan belum di jual juga, peternakan katanya juga sudah berjalan dengan baik. Biar suaminya Nisa saja nanti yang mengurusinya disini, Damar biar seperti dulu mendistribusikan hasilnya di
"Apa kamu masih akan jadi pemberani jika aku memperkos* dirimu?" ucapnya sambil tersenyum mengejekku. "Dasar tidak waras, lepaskan!" pekikku kencang. "Berteriaklah di tempat tidur," desisnya sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku segera menahan wajahnya dengan telapak tanganku sekuat tenaga. Jijik sekali rasanya melihat kelakuannya sepupu suamiku ini. Aku tidak peduli meskipun akan kalah melawannya. Mataku terpejam saat bibir lelaki itu hampir menyentuh pipiku. Namun yang aku rasakan tubuhnya tertarik menjauhiku lalu terdengar suara pukulan. "Beraninya kau!" teriak Bisma lantang. Aku segera membuka mataku, terlihat olehku Farid datang dengan buku-buku yang sudah berserakan tidak jauh darinya. "Kamu yang berani-berani menyentuh wanita yang harusnya kamu hormati," sahut Farid dengan suara tenang. "Jangan ikut campur, kamu hanya menantu dirumah ini.""Benar, dan aku mempunyai kewajiban untuk melindungi kehormatan semua orang yang ada dirumah ini," ujar Farid. Bisma sepertinya t
"Mas ...." Aku ikutan berteriak saat melihat benda kaca itu melayang menuju ke arah suamiku. Bisa berbahaya juga jika benda itu membentur kepalanya. "Prangg!" Kaca itu menghantam dinding karena mas Damar menghindarinya. "Saya tidak akan berubah pikiran kali ini. Bulek tahu apa yang dia lakukan selama ini, anakmu itu dengan sengaja menyuruh orang untuk mencelakai Amelia saat dia hamil dulu. Dan belum lama ini dia juga menyuruh orang untuk meracuni ayam-ayam kami. Sampai kapan dia akan sadar kalau tidak diberi pelajaran," ujar mas Damar menghentikan langkahnya. Aku cukup kaget mendengar perkataan suamiku, jadi sebenarnya dia yang melakukannya bukan Alesha. Pantesan saja mereka bisa bersekongkol dengan sangat rapi. "Kamu bilang apa tadi? dia meracuni ayam kita?" tanya ibu. Mas Damar hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. "Lalu barusan dia ingin berbuat buruk pada istriku, dia itu punya kelainan atau apa sih!" seru mas Damar kencang."Dia memang ha