"Gimana Bro, jadi kita mau buka usaha?" tanya Robi saat bertemu Gilang.
"Ya jadi dong, gue sekarang udah punya istri nanti kukasih makan apa kalau gue nggak punya kerjaan," sahut Gilang.
"Gue kira lo nggak serius sama, Mia." Robi terkekeh.
"Awalnya gitu, tapi kulihat dia baik, papaku juga sayang sama dia, ya sudah lah lo tau kan gue pria yang nggak neko-neko kalau soal cewek."
"Gue tahu lo dengan baik, Bro. Berapa cewek yang kamu pacarin selama ini, dan gue tahu lo bukan cowok brengsek, meski lo sering diselingkuhin sama cewek lo." Robi kembali tertawa diikuti Gilang.
Mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP, Robi mengenal baik sahabatnya itu mereka hanya suka mabok tapi tidak pernah bermain perempuan.
Awal Gilang mulai mabok gara-gara diselingkuhin sama pacarnya waktu SMA, dia berusaha melupakan wanita itu dengan mabok setiap malam. Ditambah lagi kepergian mamanya yang membuatnya merasa sangat kehilangan.
Untuk urusan bercinta Gilang memang tak selalu beruntung, dua kali pacaran dua kali juga diselingkuhi oleh pacarnya. Karena hal itu dia mulai bersikap dingin pada wanita, meski anak orang kaya, memiliki wajah lumayan tampan ternyata tak menjadi jaminan beruntung dalam percintaan.
Sebulan setelah menikah, Gilang disibukkan dengan mencari lokasi untuk tempat usaha, setiap malam dia pergi dengan Robi. Siang hari berangkat kuliah bersama Mia, pulangnya Mia punya agenda sendiri, kadang shopping, ke salon atau pergi menemui ibunya.
Meski Gilang belum bekerja, Mia tak pernah kehabisan uang. Dirga selalu memberi jatah uang seminggu sekali, dia juga sangat manja pada mertuanya.
"Gilang pergi lagi?" tanya Dirga saat makan malam cuma berdua dengan Mia.
Mia tak pernah mempermasalahkan meski Gilang sering keluar dan pulang saat larut malam, dia tak mau mengekang suaminya. Mendapat tempat yang layak serta tak pernah kekurangan uang buat Mia sudah sangat menyenangkan.
Hanya satu yang kurang, sampai hari ini Gilang belum meniduri dirinya. Padahal Mia sangat ingin merasakan kehangatan hubungan suami istri, ajan tetapi hal itu belum terjadi.
***
"Gilang, gimana kalau kita buka pub aja." Robi memberi masukan pada sahabatnya yang mulai bimbang karena tak kunjung mendapatkan tempat dan ide usaha.
"Pub?" Gilang mengernyitkan kening.
"Grand hill kan baru buka tuh, nah kita buka pub di situ, dari pada pusing-pusing," lanjut Robi.
"Boleh juga tuh, tapi coba tanya dulu mereka ada rencana buka sendiri nggak?" sambung Gilang, wajahnya berubah ceria mendengar saran sahabatnya.
"Kamu tenang aja, pemilik hotel itu temen bokap, biar bokapku nanti yang urus soal itu."
"Wah ... bagus tuh, kalau gitu aku bilang sama papaku, kita join 'kan?" tanya Gilang lagi.
"Jadi dong, gue juga pingin mandiri sebelum gue merid."
Gilang mengutarakan rencananya pada papanya, demikian juga Robi. Atas bantuan papa Robi akhirnya pemilik hotel Grand Hill memberi izin mereka untuk membuka pub di hotel mereka.
Malam itu mereka mengadakan perttemuan dengan pemilik hotel untuk membahas dan membuat perjanjian.
"Silahkan buka pub di sini, saya harap dengan adanya pub bisa membuat hotel kami ramai pengunjung," ucap pemilik hotel.
Gilang dan Robi sangat senang, malam itu mereka merayakan kabar bahagia dengan berpesta di pub biasa mereka datangi, dan baru pulang saat menjelang pagi.
Seperti biasa saat tiba di rumah, Gilang mengendap agar Mia tak terbangun. Setelah membersihkan diri, pria itu berbaring di samping istrinya, sambil mengecup kening Mia yang tengah tertidur dengan pulas.
"Sebentar lagi, aku bisa membahagiakanmu," bisik Gilang, memeluk tubuh istrinya kemudian terlelap.
Mentari pagi menelusup melalui sela-sela tirai yang menutup jendela kamar, Mia mengerjapkan mata mendapati Gilang tengah memeluk tubuhnya erat.
Dia tersenyum lalu mendaratkan ciuman pada wajah suaminya, pria itu menggeliat membunyikan tulang di tubuhnya, matanya sayu menatap wanita yang tak henti menciumi wajahnya.
"Ada apa, Sayang?" Gilang tak mengerti isyarat istrinya yang menginginkan kehangatan, matanya terlalu berat untuk membalas ciuman wanita itu.
Tak mendapat balasan Mia akhirnya memilih bangun lalu pergi ke kamar mandi, sementara Gilang kembali terlelap dalam tidurnya. Mia lanjut ke dapur membantu bibi menyiapkan sarapan pagi.
"Bi, aku aja yang masak. Bibi bersihin rumah aja, ya." Mia memang suka memasak, akan tetapi paling malas kalau harus membersihkan rumah.
Sejak ada Mia di rumah ini pekerjaan bibi juga menjadi lebih ringan, hampir setiap hari urusan memasak dihandle oleh Mia. Menjadi menantu orang kaya tak berarti dia nggak mau mengerjakan pekerjaan rumah, ini juga yang membuat Dirga menyayanginya. Tak hanya cantik tapi Mia juga pandai memasak.
Dua cangkir kopi dan segelas teh sudah tersaji di meja makan, pagi ini Mia memasak sup buntut. Dirga sudah berdandan rapi lalu keluar menuju meja makan.
"Wah, sedap banget aromanya sampai satu rumah," puji pria itu saat Mia datang membawa sup untuk dihidangkan.
"Mia, bikin sup buntut, semoga Om suka." Mia mengambilkan makan buat mertuanya.
"Terima kasih, sejak ada kamu lihat ni tubuh Om semakin bengkak." Pria itu tertawa senang.
Dirga makan dengan sangat lahap, dia tak mau menantunya kecewa kalau dia tak menghabiskan makanannya. Mia senang karena mertuanya selalu menyukai apa pun yang dia masak.
"Gilang belum bangun?" Dirga menanyakan putranya yang jarang ikut sarapan.
"Masih tidur, sepertinya dia pulang pagi lagi, Om," jawab Mia.
"Bagaimana bisnisnya, apa sudah ada kabar?" tanya Dirga lagi.
"Mia nggak tahu, Om. Nanti coba Om tanya sendiri sama Gilang." Mia mengemasi piring kotor ke dapur.
"Non, baju tuan sudah siap digosok." Bibi menunjukkan keranjang baju milik Dirga.
Setelah mencuci piring, Mia mengangkat keranjang baju Dirga ke kamar, menyusunnya di lemari. Dia juga memeriksa kamar mandi mertuanya mengambil pakaian kotor yang teronggok di sana untuk di cuci.
"Om belum pergi?" Mia terkejut saat keluar dari kamar mandi rupanya Dirga masih di kamar.
"Kamu lagi ngapain?" Dirga juga terkejut, Mia menunjukkan baju kotor di tangannya.
"Mia, kamu itu menantuku bukan pembantu."
Dirga berusaha mengambil baju kotor dari tangan Mia, tapi wanita itu mengelak bukannya dapat baju malah memeluk tubuh menantunya.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam sambil berpelukan, terasa begitu hangat. Mia menjatuhkan baju kotor ke lantai, tangannya meraba lengan berbulu yang memeluknya.
Semerbak wangi parfum Dirga begitu mempesona, pria ini tak hanya tampan tubuhnya yang kekar begitu menggoda. Mia membalik badan kini mereka saling berhadapan, Dirga sadar lalu melepaskan pelukan.
"Om, apa sih? Ini kan kerjaan ringan." Mia memunguti baju kotor di lantai memasukkan ke dalam keranjang lalu bergegas ke belakang.
Baju kotor itu dimasukkan ke dalam mesin cuci, kemudian ia terduduk di kursi, jantungnya masih berdetak kencang setelah apa yang dialami di kamar sang mertua.
Mia, Mia ..., apaan sih buang jauh-jauh pikiran kotormu, gerutunya dalam hati. Tadi da sempat menginginkan hal lebih saat bersama dengan Dirga.
Mia menepuk kepalanya sendiri, agar pikiran kotor itu menghilang, masa iya dia pengin bermesraan dengan mertuanya sendiri.
***
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu."Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia."Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung.""Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia."Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah."
Sebelum memulai percakapan dengan Gilang, Mia menghela napas, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka."Terima kasih atas kedatanganmu, andai Ibu melihat dia pasti sangat senang.""Ibu orang baik, aku tidak bermasalah dengannya, ini sebagai wujud penghormatan terakhirku pada beliau.""Aku ikut senang mendengar kamu sudah menikah, semoga kamu berbahagia." Mia tersenyum."Itu... hanya sebuah kebetulan, tidak ada yang tahu soal itu, bahkan Robi juga tidak tahu." Gilang menghela napas kemudian berjalan ke jendela memandang keluar."Kenapa bisa begitu?" Mia memandang punggung Gilang yang sengaja membelakanginya."Apa dia tidak cerita, pria yang bersamamu waktu itu?""Dia hanya cerita kalau kamu menikahi calon istri yang dijodohkan oleh orang tuanya, hanya itu.""Memang begitu, pengasuh Bintang tiba-tiba pulang, kamu ingat waktu aku menuduhmu membawa Bintang, saat itu Bintang pergi dari rumah mencari pengasuhnya jadi aku
Gilang dan Robi ikut mengiringi mengantar jenazah almarhum Ratih ke pemakaman, mereka mengikuti semua prosesnya karena tak tega melihat Mia yang sangat terguncang. Sepanjang prosesi hanya menangis, bagai robot tak bernyawa tidak tahu harus bagaimana. Usai menabur bunga di pusara sang bunda, Mia kembali meraung memeluk batu nisan, Gilang berjalan mendekati Mia, tetapi langkahnya terhenti saat seorang pria telah lebih dulu merengkuh tubuh Mia dan memeluknya. Pria itu sedari tadi ada di rumah Mia, Gilang tidak kenal dengannya. Melihat pemandangan itu timbul tanya di dalam dada, tapi di saat seperti ini tak mungkin ia mencari tahu siapa dia. Robi menepuk pundak Gilang, dengan isyarat ia bertanya tentang pria itu, Gilang menggelengkan kepala karena tidak tahu siapa pria tampan berbadan tegap yang bersama Mia. "Kamu nggak kenal?" bisik Robi agar tak didengar orang lain. "Lah... elu yang ngobrol sama dia dari tadi, gimana sih?" sahut Gilang sewot, ad
Ratih terjaga karena perutnya sangat sakit, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat putrinya tidur di pangkuan Ali yang juga sama-sama terlelap.Wanita itu tersenyum sambil menahan sakit yang luar biasa, dia tak ingin putrinya tahu kalau dia sedang kesakitan."Tuhan, jika sudah waktuku aku sudah siap, putriku sudah menemukan pria pelindungnya aku titipkan dia padamu," bisik Ratih pelan.Dengan sangat pelan dia mengambil obat yang ada di samping tempat tidur lalu meminumnya, sebisa mungkin dia tak mengeluarkan suara agar putrinya dan Ali tidak terbangun. Untuk beberapa saat sakitnya mulai berkurang, Ratih kembali berbaring sambil menatap putrinya.Hawa dingin datang menusuk tulang suasana kamar menjadi sedingin kulkas, sosok putih lamat-lamat berjalan mendekat seorang pria datang dan duduk di tepi ranjang menatap Ratih sambil tersenyum ramah."A-ayah ...." suara Ratih tercekat melihat sosok pria yang ternyata suaminya.P
Mia melangkah masuk ke rumah sakit beriringan dengan Ali, mereka saling berpegangan tangan sambil berbincang hangat menuju ruang perawatan.Saat masuk ke dalam kamar, nampak sang ibu sedang disuap oleh wanita yang menaninya, melihat putrinya masuk bersama Ali, Ratih tersenyum bahagia."Ibu sudah bangun?" sapa Mia dia pun melepaskan tangan Ali berjalan mendekati sang ibu."Kamu sudah datang, harusnya tadi istirahat aja di rumah, ada Ani yang temani Ibu di sini, kalian pasti capek.""Ah... Nggak kok Bu, justru kasihan kalau Ani jagain Ibu di sini. Namamu Ani, maaf kita belum kenalan, ayo kita makan aku tadi beli rice bowl." Mia mengajak wanita muda yang membantu ibunya makan bersamanya."Tadi ada pesan dari perawat, Mbak Mia disuruh nemuin dokter di ruangannya," ucap Ani menyampaikan pesan yang ia terima."Oh... Baik, kalau begitu kita makan dulu, ayo Mas keluarin makanannya."Ali membuka kantong berisi mak