Share

06. Di Bandara (Flashback)

Delapan tahun lalu saat kremasi Bu Stefani selesai dilaksanakan, 

Pak Darius menyimpan guci itu ke dalam tempat yang sudah disediakan, kemudian menaruh sebuah karangan bunga kecil di sampingnya. Berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian menutup tempat itu.

“Sudah selesai? Kita pulang sekarang, ada beberapa perobotan rumah yang harus kita beli sekarang juga,” Bu Fiona menggandeng tangan Pak Darius tidak sabar.

Daniel yang melihat itu lagi-lagi harus menahan rasa marahnya, Bu Stefani baru saja dikremasi, Yohan tidak tahu di mana, lalu wanita ini dengan santainya mengajak berbelanja?

“Aku harus mencari Yohan dulu,” ucap Pak Darius. “Setelah itu baru kita berbelanja.”

“Anak itu akan pulang sendiri. Sudahlah, jangan dipikirkan lagi,” Bu Fiona mulai kesal jika pembicaraan tentang Yohan terjadi.

Sudah tidak bisa menahan dirinya sendiri, Daniel segera angkat bicara, “Yohan bukan seseorang yang akan berpikir realistis saat sedang marah, apakah anda tidak cemas terjadi sesuatu dengannya?”

“Apa yang bisa terjadi? Merajuk?” ejek Bu Fiona.

“Yohan bersikeras tidak ingin ibunya dikremasi, lalu sekarang dia menghilang belum kembali, tidakkah anda sebagai seorang ibu tidak merasa cemas sedikitpun?” tutur Daniel dengan sangat menjaga emosinya.

Bu Fiona mengangkat bahu, “Dia bukan anakku dan aku tidak peduli, jika kau memang cemas ya sudah cari saja sendiri! Kau memperlakukan dia seperti bayi saja.”

“Sudahlah!” Pak Darius melerai. “Kita pergi sekarang. Daniel, terima kasih sudah membantu, ya.”

Daniel hanya mengangguk dan membiarkan pasangan itu pergi dari sana. Lelaki itu kembali mendekat ke arah guci abu Bu Stefani, berdoa untuk beberapa saat sebelum kemudian mengusapnya pelan.

“Tenang di sana, tante.”

***

Seminggu telah berlalu, Yohan benar-benar tidak ada tanda-tanda untuk kembali. Ponselnya tidak aktif, tidak ada di apartemen, kampus, bahkan di tempat pribadinya.

Hanya keterangan dari pelayan yang sempat melihat Yohan malam itu pulang. Setelah itu Yohan tidak terlihat lagi.

“Mungkin anak itu keluar kota, biarkan saja,” ujar Bu Fiona satu waktu.

“Yohan tidak memegang uang sepeser pun, bukankah kau yang memintaku untuk menarik uangnya?”

Pak Darius juga sudah mengecek ke tempat saudaranya yang lain, mungkin saja Yohan di sana, namun tidak ada satupun dari mereka yang tahu di mana Yohan.

“Lebih baik kita bersiap, Alvin dan Diana akan kembali. Jadilah ayah yang baik, karena ini sudah waktunya!”

Lagi-lagi Pak Darius tidak bisa untuk menolak apa yang dikatakan oleh sang istri. Ia hanya berharap Yohan bisa cepat kembali dengan keadaan yang baik-baik saja.

***

Keadaan yang sama terjadi pada Daniel, karena Yohan belum kembali ia berusaha keras untuk mengupayakan penundaan ujian pada Yohan. Tapi susah sekali, mereka adalah mahasiswa kedokteran yang harus disiplin.

Jika melanggar satu aspek saja maka akan berakibat buruk pada nilai akhir mereka. Yohan sebenarnya mahasiswa yang sangat pintar, namun keadaan akhir-akhir ini begitu mengganggu konsentrasi Yohan sehingga semua nilai dan tugasnya merosot jauh.

“Apakah Yohan masih belum masuk?” tanya Ayu mendekat ke Daniel.

Daniel menggeleng, “Masih berduka,” ujarnya, ia memang tidak memberitahu temannya yang lain jika keberadaan Yohan tidak diketahui. Ponsel Daniel bergetar, dengan cepat ia segera membuka pesan itu?

“Oh?” mata Daniel membulat kaget saat membacanya.

[Temui aku di bandara internasional jam sebelas siang ini, mungkin ini akan menjadi perpisahan kita –Yohan]

Tidak tahu apa yang terjadi, Daniel tidak berpikir dua kali lagi, buru-buru menyambar tasnya dan berlari pergi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas, jika Daniel tidak cepat, mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi.

***

“Yohan??”

Daniel berlari seraya melihat kesekeliling mencari keberadaan dari Yohan, ini tidaklah mudah karena di sana banyak sekali orang yang berlalu-lalang. Setidaknya Daniel akan mencoba mencari segala arah, pesan Yohan tadi sangatlah singkat dan tidak bisa untuk dihubungi kembali.

“Tuan Daniel?”

Daniel menengok dan mendapati seseorang dengan pakaian rapi berjas menghampiri Daniel. “Iya?”

“Ikutlah saya, Tuan Yohan sudah menunggu,” ujarnya.

Meskipun tidak mengerti dan tidak mengenal orang ini, Daniel tidak ada pilihan lain kecuali mengikutinya.

“Yohan??”

Ada perasaan lega dan juga senang saat Daniel melihat seseorang di sana, buru-buru ia berlari mendekat. “Yohan, apa yang …,”

Daniel cukup terkejut dengan apa yang dia lihat sekarang, keadaan Yohan terlihat tidak begitu baik, ia duduk di kursi roda dengan kaki yang dibalut perban, wajahnya juga nampak luka-luka.

“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Daniel sembari merendahkan tubuhnya dan berjongkok di depan Yohan. “Aku sudah mencarimu ke mana-mana, apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa bisa seperti ini?

Yohan tidak menjawab, matanya berkaca-kaca, ia memegang tangan Daniel dan meremasnya dengan kuat. “A-aku harus pergi,” ucapnya gemetar.

“Pergi?” Daniel kaget. “Pergi ke mana? Apakah ayahmu tahu?”

“T-tidak, dia bukan ayahku lagi. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi,” air mata Yohan jatuh.

Daniel masih tidak mengerti. “Yohan, apa yang terjadi? Katakan, aku akan membantumu tapi aku mohon jangan melakukan hal yang bodoh,” bujuknya.

“Aku akan kembali, tapi saat aku sudah kuat, aku tidak bisa hidup berdekatan dengan orang yang membuat ibuku meninggal.”

“Yohan,”

Yohan kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Daniel, kemudian mengucapkan kalimat yang membuat Daniel membelalakkan matanya kaget bukan main.

“Apa yang kau katakan? Kau bercanda?”

“Tidak,” Yohan menggeleng. “Mama meninggalkan sesuatu untukku, aku tidak bisa tinggal diam.”

Segal emosi dan kesedihan yang dirasakan oleh Yohan bisa Daniel rasakan, ia belum pernah melihat Yohan seperti ini. “Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau tidak memegang uang sepeserpun, kau tidak punya apa-apa, Yohan!”

“Ada seseorang yang akan membantuku, jangan cemas. Terima kasih kau sudah menjadi sahabat yang baik, aku minta tolong untuk menjaga mama selagi aku pergi.”

“Yohan,” Daniel berusaha membujuk. “Aku bisa membantumu, apa yang kau butuhkan? Tapi kau jangan pergi ke manapun!” pintanya.

 Yohan menggeleng, “Terima kasih, tapi aku harus pergi,” katanya seraya memberikan sesuatu pada Daniel. “Berikan ini pada papa, katakan padanya semoga bahagia dengan keluarga barunya.”

“Yohan.”

“Aku akan kembali, tapi aku tidak bisa tahu kapan. Selamat tinggal, Daniel.” Yohan tersenyum dan memeluk Daniel untuk terakhir kalinya.

Daniel menarik nafas panjang, “Well, kau tahu harus menghubungiku jika butuh sesuatu. Kau harus ingat, aku memiliki uang dan juga kekuasaan,” ujarnya mengingatkan.

Yohan mengangguk, kemudian lelaki berjas tadi mendorong kursi roda Yohan dan mereka pergi karena pesawat mereka sudah siap untuk berangkat. Daniel menatap kepergian sahabatnya itu dengan  ikhlas.

Tidak mungkin Yohan mengambil keputusan tanpa berpikir dahulu, apa yang dia tahu pasti lebih banyak. Daniel tidak bisa untuk mencegahnya lagi.

Sebaliknya, Daniel mengepalkan tangannya saat mengingat apa yang dikatakan oleh Yohan tadi. Sebagai seorang ayah, Pak Darius benar-benar tidak tegas dalam mengambil tindakan.

Daniel kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang, “Bisakah aku menyewa seorang pengawal lagi? Yah, kali ini aku ingin pengawal yang tidak segan melukai seseorang. Kirimkan sekarang!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status