Share

04. Munculnya Awal Baru

“Yohan, papa mohon, jangan begini terus!” Pak Darius berulang kali mencoba untuk membujuk. “Kau bukan anak kecil lagi, kasihan mama jika terus-terusan kau tahan seperti ini!”

Duka Yohan sangatlah mendalam, ia benar-benar tidak mengizinkan ibunya untuk diproses pemakaman. Yohan akan mengamuk dan menyalahkan semua orang.

“PERGI!! Ini semua karena selingkuhan papa! Dia membunuh mama!!” seru Yohan menangkis tangan Pak Darius dan kembali memeluk tubuh ibunya yang telah kaku itu.

“Yohan, jika kau tetap seperti ini! Papa tidak akan terus menunggu. Kita harus memulai kremasi pada mama!” tegas Pak Darius.

Lagi-lagi Yohan menggelengkan kepala, “Mama tidak akan pergi ke manapun! Dia akan tetap di sini bersamaku!”  ujarnya berkeras.

Yohan hendak memegang tangan wanita itu saat dirinya menangkap sesuatu yang tergenggam di jemari tangan ibunya yang sudah kaku. “Oh?” Dengan perlahan Yohan menariknya.

Jantung lelaki itu berdetak dengan sangat kencang saat melihat apa yang tertera pada kertas itu.

“Sudah cukup! Kita harus segera menyelesaikan masalah ini!” suara Bu Fiona nampak terdengar masuk ke ruangan, bersama dengan beberapa lelaki bertubuh tegap.

Yohan buru-buru menyimpan kertas tadi. “PERGI KAU DASAR PEMBUNUH! JANGAN DEKAT-DEKAT DENGANKU!!” teriaknya kalut.

“Tangkap dia dan jangan biarkan dia mengganggu proses pemakaman!” perintah Bu Fiona.

Dengan perintah itu lelaki yang mengikuti Bu Fiona segera mendekat ke arah Yohan dan menarik tangannya kasar. “LEPASKAN AKU!!” Yohan  berontak sekuat tenaga.

“Kau harus belajar dewasa!” ujar Bu Fiona. “Ibumu sudah meninggal dan proses pemakamannya harus segera dilaksanakan!”

“KAU TIDAK BERHAK MENGATURKU!!” Yohan marah. “LEPASKAN!! DASAR PEMBUNUH!!”

“Seret dia keluar!” perintah Bu Fiona, sementara Pak Darius hanya menarik nafas pasrah tidak bisa berbuat apapun.

Semakin lama kremasi itu tunda, maka akan semakin kasihan tubuh Bu Stefani. Yohan jika dipaksa pasti akan menurut.

“LEPASKAN AKU!!” teriakan Yohan membuat beberapa orang di sana menjadi terusik. Namun mereka juga tidak berani untuk menolong Yohan.   

Saat ada kesempatan, Yohan sekuat tenaga berontak dan berhasil lepas. Saat itu terjadi, ia segera berlari sekuat tenaga untuk pergi dari sana. Air matanya masih mengalir, dan rasanya seluruh tubuh Yohan begitu sakit.

***

“Tuan??”

Beberapa pelayan yang menegur Yohan yang tergesa masuk ke dalam rumah dengan keadaan berantakan. Yohan segera berlari naik ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam tas.

Tidak lupa ia membawa sesuatu yang terletak di kotak hadiah ulang tahunnya dari sang ibu. Yohan kemudian berlari lagi pergi dari sana.

“Tuan Yohan, tuan hendak ke mana? Tuan??”

Dengan air mata yang bercucuran Yohan berlari entah ke mana, ia menyusuri jalanan dan terus berlari.

“Mama dibunuh …,” gumamnya beberapa kali. “Mama dibunuh!”

Pemuda itu mempercepat larinya seolah tidak ingin ada seseorang yang mengejarnya, hingga tanpa disadari sorot yang begitu terang membuat Yohan berhenti.

Sorot itu semakin lama semakin mendekat, yang mana itu adalah sebuah mobil yang melaju dengan sangat kencang. Yohan pasrah, ia memejamkan matanya dan merasakan tubuhnya terlempar ke udara sebelum kemudian terbanting ke aspal dengan keras.

Rasa sakit yang luar biasa Yohan rasakan, darah mulai mengalir deras, beberapa detik kemudian Yohan tidak ingat apapun lagi.

***

Upacara kremasi sudah tertunda lebih dari tiga jam, Pak Darius masih menunggu kedatangan Yohan. Sementara Bu Fiona yang mendapatkan kabar dari pengawal sewaannya tadi jika Yohan kabur, bertambah berang.

“Kita mulai saja!” tegas Bu Fiona. “Ada banyak hal yang harus kita urus setelah ini!”

Pak Darius menggeleng, “Kita tunggu Yohan, Yohan pasti datang,” ujarnya penuh dengan keyakinan. Namun Yohan tidak juga bisa dihubungi, bahkan oleh Daniel sekalipun.

“Sudahlah! Kita harus mengurus perusahaan dan menata tatanan baru, mama tidak ingin upacara kremasi ini menghambat!” desak Bu Fiona lagi dan sepertinya kali ini Pak Darius tidak bisa mengelak lagi.

“Hmm, baiklah jika begitu. Kita mulai kremasi.”

Pak Darius menatap peti berisi tubuh istrinya yang sudah tidak bernyawa itu. Tidak ada hal yang bisa ia katakan kecuali menurut apa yang dikatakan oleh Bu Fiona.

Kilatan api mulai terlihat di sana, dan dalam beberapa saat sudah membakar habis peti beserta isinya. “Yohan …, di mana kau, nak?”

***

Semula Pak Darius berpikir, Yohan hanya kabur sementara dan akan kembali ketika uangnya sudah habis. Karena tidak mungkin bagi anak yang tidak memiliki pekerjaan akan bertahan tanpa uang di luar sana.

Namun hari berganti minggu hingga berganti tahun, Yohan tidak kunjung datang. Jejaknya saja bahkan tidak ada, ke manapun Pak Darius mencari, anak itu bagaikan hilang di telan bumi.

“Sudahlah biarkan saja. Kita tetap harus melanjutkan hidup,” ujar Bu Fiona yang selalu tidak peduli dengan Yohan. “Alvin dan Diana akan segera pulang, jangan menampakkan wajah seperti itu.”

Tidak kuasa menolak setiap hal yang dikatakan oleh sang istri, Pak Darius mencoba untuk tersenyum dan menjalani hidup dengan baik. Di sini masih ada dua anaknya yang telah menyelesaikan sekolah dan menjadi orang yang sukses.

Hingga tanpa terasa delapan tahun sudah berlalu, Bu Fiona mendekorasi ulang rumah Pak Darius dengan gaya yang dia suka. Semua perusahaan berada di bawah kendalinya meskipun tetap Pak Darius yang menjalankan.

“Aku baru saja dapat kabar, Kak Alvin dapat predikat dokter terbaik lagi,” celetuk Diana yang tengah mengiris buah apel.

Diana, gadis cantik, anggun, dan juga sopan itu merupakan anak bungsu dari Bu Fiona dan Pak Darius. Ia sedang berkuliah semester akhir, menjadi anak kesayangan karena sikapnya yang begitu baik.

“Sudah mama duga,” ujar Bu Fiona. “Kakakmu itu adalah dokter kebanggaan, mama yakin dia akan sukses. Benar begitu, pa?”

Pak Darius mengangguk, Alvin, anak sulungnya telah menjadi dokter di sebuah rumah sakit. Seorang dokter bedah yang sangat hebat, dan beberapa kali mendapatkan penghargaan.

Tentu saja hal ini membuatnya bangga. Meskipun ia tidak menampik jika dalam hati kecilnya ia masih memikirkan Yohan, anaknya itu jika tidak menghilang mungkin juga sudah menjadi dokter.

“Sayang, nanti malam tidak lupa kan untuk membawa kekasihmu datang?” kata Bu Fiona mengingatkan.

“Mama, belum kekasih kok. Hanya dekat saja,” serga Diana tersipu malu.

“Yah, karena dia seorang dokter juga dan teman dari kakakmu, mama rasa akan sangat menyenangkan jika memiliki menantu sehebat itu.”

Satu hal yang Pak Darius tahu, istrinya itu sangat selektif dengan siapapun yang dekat dengan anaknya. Berteman harus dengan orang yang sederajat, bahkan Alvin sudah dijodohkan dengan anak kolega mereka demi mempererat bisnis.

“Mama juga penasaran seperti apa dia, jika dia dokter hebat berarti saingannya kakakmu,” celoteh Bu Fiona lagi.

“Sudahlah, ma.” Pak Darius menyela. “Alvin bukan satu-satunya dokter, jadi sudah pasti ada yang lebih dari dia. Diana, nanti ajak saja temanmu itu ke sini, kita makan malam bersama.”

“Iya, pa.”

***

Perusahaan milik Pak Darius kini memang semakin sukses, karena anak pertamanya memutuskan untuk menjadi dokter, Bu Fiona memutuskan Diana harus yang meneruskan perusahaan nanti jika sudah saatnya.

Makanya saat ini wanita itu mulai memilih jodoh yang setara dengan Diana. Tidak ingin salah pilih, saat ia tahu Diana dekat dengan seorang dokter yang merupakan teman Alvin, tentu saja ini kesempatan yang bagus.

“Alvin! Bagaimana operasi yang hari ini kau lakukan? Lancar?” Bu Fiona segera memberikan pertanyaan begitu anaknya itu turun dan berjalan ke ruang makan.

“Biarkan dia istirahat dulu, ma,” tegur Pak Darius kurang suka. Pasalnya, Alvin terlihat begitu lelah dengan mata yang sayu.

Alvin, anak sulung dari Pak Darius yang merupakan seorang dokter muda berprestasi itu merupakan anak yang penurut. Sifatnya begitu baik, pintar, dan tidak pernah berbuat hal yang merugikan.

Ia memiliki wajah yang tampan, hidung mancung, seperti duplikatnya Pak Darius. Hanya saja dia harus mengenakan kacamata setiap hari karena penglihatannya yang memburuk akibat seringnya dia membaca.

“Temanmu itu akan datang, kan?” tanya Bu Fiona. “Mama harus menilai apakah dia benar-benar cocok untuk Diana atau tidak.”

Alvin mengangguk, “Dia baik, lulusan luar negeri. Banyak sekali pasien yang sembuh di tangan dia,” jelasnya. “Mama tidak perlu cemas.”

“Mama!”

“Sepertinya teman Diana sudah datang,” kata Bu Fiona berdiri. “Ayo, kita ke sana!”

Kedua orang itu segera berjalan menuju ke ruang tamu, sementara Alvin memilih untuk mengambil minuman. Alvin terlihat seseorang yang masih muda namun entah kenapa matanya menyiratkan rasa lelah luar biasa.

“Mama, Papa. Ini seseorang yang aku ceritakan kemarin.”

“Wah, kami sudah menunggu lama sekali. Senang berkenalan dengan-,”

Ucapan Bu Fiona terhenti, senyuman juga mendadak pudar dari bibirnya melihat seseorang yang berdiri di samping Diana itu. Seseorang yang sangat dia kenal meskipun setelah sekian lama.

“Yohan?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status