“Turun!”
Sahara tersentak mendengar intonasi suara itu, sejak tadi matanya memang menatap jalanan, namun otaknya berada di tempat lain membuat gadis itu tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti tepat didepan gerbang sekolahnya.Dengan penuh kekesalan Sahara membuka pintu mobil dan beranjak turun. Namun dia merasa sesuatu yang janggal, kakinya tidak kunjung menyentuh tanah dan gadis itu merasa tubuhnya tidak bisa bangkit dari jok mobil ini. Sekuat tenaga Sahara membawa tubuhnya untuk keluar dari mobil ini. Lagi-lagi gagal. Dia mendecak frustasi.Sagara yang melihat hal itu lantas mendengus dan menggelengkan kepalanya dengan geli.“Lepas dulu sabuknya, lalu turun!”Suara dingin itu kembali menginterupsi, membuat Sahara melirik dadanya. Sabuk pengaman itu masih melekat kuat ditubuhnya, dia menepuk keningnya dengan malu. Sahara mengumpat dalam hati, mendadak dia merasa menjadi manusia paling bodoh di bumi. Mengapa dia tidak sadar akan benda itu, pikirnya.“Te-ri-ma-ka-sih” ucap Sahara menekankan setiap katanya, dia berhasil turun.Bugh!Pintu mobil itu dibanting dengan keras. Sagara terlonjak kaget didalam sana sembari mengutuk gadis tersebut. Sahara tersenyum senang melihatnya.Bergegas dia meninggalkan pria yang masih mengumpatinya, dia berjalan menuju kelas. Dua temannya menyambut ceria seperti biasa, melihat Sahara yang acuh dan langsung mendudukkan diri di kursi membuat keduanya saling pandang keheranan.“Pagi-pagi begini kau sudah cemberut.” ucap Selly ikut mendudukkan diri seraya menopang dagunya.“Betul. Kenapa sih kau ini, orang akan menganggap kau terlilit hutang yang menumpuk jika melihat wajah suram dirimu!” timpal Yuri berkelakar sembari cekikikan.Sahara menatap kedua sahabatnya bergantian. Tidak mungkin dia menceritakan tentang perjodohan itu pada mereka, apalagi jika pihak sekolah tahu dia akan menikah, tamat sudah riwayatnya. Bukan dia tidak mempercayai Selly dan Yuri, gadis itu hanya waspada dan berhati-hati, tidak ingin rumor itu tersebar luas. Dia punya mimpi dan cita-cita, Sahara ingin menjadi dokter. Jadi kalau semua ini ketahuan hancur sudah harapan.Mengingat perihal perjodohan itu kembali membuat hatinya jengkel.“Kalian tahu tidak bagaimana menghadapi pria dingin?” Sahara bertanya penuh harap.Mendadak gadis itu memiliki rencana, dia ingin membuat Sagara kesal dan muak dengan tingkahnya nanti. Dengan harapan pria itu akan membatalkan perjodohan ini. Sahara tersenyum licik saat membayangkannya.Tidakkah dia tahu, apa yang akan Sagara lakukan untuk itu. Mereka berdua bersikeras menjadi korban versi masing-masing dalam perjodohan ini, lalu siapa yang akan menjadi tersangka?“Pria dingin?” Selly dan Yuri menyahut bersamaan.“Kau sedang dekat dengan pria dingin, Ra?” tanya Yuri memastikan sekali lagi, matanya mengerjap berbinar.“Siapa, Ra. Kenalin dong!” seru gadis itu lagi mulai merengek.Sahara mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Apa sih, Yur. Kenapa jadi heboh?”“Kau tahu tidak, Ra. Pria dingin itu sesuatu yang sangat menantang.” Yuri bertambah heboh penuh antusias.“Menantang bagaimana?”“Pria dingin itu sulit ditaklukkan. Kalau kau bisa membuat seorang pria dingin bertekuk lutut padamu dan mengemis cinta. Kau boleh meminta apapun padaku sebagai hadiahnya!” Yuri menjelaskan dengan menggebu dan menantang sahabatnya itu.Selly memutar bola matanya dengan jengah mendengar ocehan sahabatnya itu.“Mulai deh lebay-nya!” dia mengusap kasar wajah Yuri.“Selly, makeupku rusak!” sungut gadis remaja itu cemberut.Sahara terkekeh geli melihat mereka.“Bagaimana, Ra?” Yuri memandang gadis itu yang berhenti tertawa.“Apanya?”“Kau berani tidak menerima tantangan dariku?” Yuri tersenyum penuh arti dan menaik turunkan kedua alisnya.Sahara tertegun sejenak dia merasa tertarik. “Kalau aku kalah dan jatuh cinta duluan?”“Tentu saja kau yang akan menuruti permintaanku!” jawab Yuri tertawa kencang. Membuat Selly menggelengkan kepalanya.“Memangnya pria mana yang sedang dekat denganmu?” Selly menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.“Ah, benar itu. Siapa dia?” sambung Yuri setelah puas tertawa.Sahara tersenyum misterius. “Rahasia”*****Selepas mengantar Sahara menuju sekolahnya, Sagara pergi menemui partner yang menyambi sebagai tangan kanannya. Ardi— nama pria itu, dia adalah salah satu teman Sagara di bangku kuliah dulu. Mereka janji bertemu di cafe untuk rapat kecil mengenai bisnisnya.“Saga, kapan kau akan mulai pembangunan itu?” tanya Ardi. Perawakan pria itu tinggi, tubuhnya sedikit lebih ramping dari Sagara. Namun wajahnya cukup tampan.“Aku sedang mengusahakan modalnya dulu.” jawab Sagara menenangkan.Keuntungan dari hasil jerih payahnya sejak di bangku kuliah dulu hingga detik ini sudah dia belikan lahan yang cukup luas di luar kota. Sagara berencana ingin membangun gedung yang nantinya akan dia jadikan pant house atau villa, untuk dia jual kembali dengan harga tinggi atau menyewakannya. Sagara membutuhkan kucuran dana, tapi modal itu tidak kunjung dia dapatkan jika tidak menikahi Sahara.“Yang lain bagaimana, apa ada kendala?” tanyanya pada Ardi.“Untuk sekarang belum ada, semua aman-aman saja.” jawab kawannya itu.Sagara mengangguk lega, Ardi memang sangat bisa diandalkan. Kinerjanya tidak pernah mengecewakan, sehingga Sagara mempercayai pria itu untuk membantunya membangun bisnis yang dia rintis.“Ah, iya. Bagaimana cara kau mendapatkan modal itu?” Ardi bertanya lagi.Sagara tersenyum tipis, “Aku tidak bisa mengatakannya.”“Kenapa?” Ardi mengangkat kedua alisnya. “Bilang saja, mungkin aku bisa membantu.”“Kau tidak akan bisa membantu” katanya. “Ini urusan orang tua dan anak” lanjut Sagara terkekeh kecil.Ardi mengangguk mengerti. “Semoga usahamu dilancarkan.” ucapnya tulus.“Sebentar...”Dering ponsel menghentikan diskusi mereka, Sagara menepi untuk menjawab panggilan itu.“Hallo, Ma?”“Hallo, nak. Kau dimana, sudah makan?”“Aku di cafe bersama Ardi. Ada apa, Ma?” “Apa kau sibuk sore nanti?” suara wanita itu terdengar ragu.“Tidak, kenapa?” cecar Sagara dengan cepat, dia mulai kehilangan kesabarannya.“Hari ini Mama sudah merencanakan untuk mengunjungi butik langganan Mama dan akan menunggumu disana. Kau bisa datang, 'kan?”“Untuk apa, Ma?” tanyanya heran, kalau hanya untuk menemani Mamanya itu berbelanja dia ingin menolak saat itu juga, Sagara punya hal yang lebih penting untuk dia lakukan.“Tentu saja untuk mengukur tubuhmu!” ucap Viona dengan gemas. “Kau 'kan butuh jas pengantin.”“Apa?” pria itu termegap, dia mengusap rambutnya resah.“Kau tidak lupa dengan rencana pernikahanmu itu 'kan, Saga?” Viona memicingkan mata di seberang telepon.“Ma, aku tidak bisa—...”“Mama tidak mau mendengar alasan, Saga.” potong wanita itu. “Mama akan menunggumu disana, atau kau lebih suka melihat tubuh Mama menggantung di belakang rumah, eh?” ancamnya.****“Ah, itu dia!”Sahara terkejut mendengar seruan itu. Dia baru saja pulang setelah seharian berkutat di sekolah, gadis itu merasa lelah. Dia merindukan kasurnya yang empuk.“Ra, kemarilah. Ini Viona, dia Mama Sagara.” Maminya itu melambai dengan antusias meminta Sahara untuk mendekat.Dengan langkah gontai dia menghampiri mereka, Sahara menatap ramah pada wanita yang sebaya dengan sang Mami.“Hallo, Tante. Aku Sahara...” Sapanya tersenyum manis.Viona tersenyum lebar menyambut gadis muda yang cantik dan manis itu. Dia membelai pipi mulusnya.“Hallo sayang, kau bisa memanggilku Mama.” titah wanita itu mengedipkan mata penuh persekongkolan.“Kau cantik sekali, nak” pujinya tulus. Viona menyukai gadis itu, dia tidak sabar ingin menjadikannya menantu.“Terimakasih, Ma—” Sahara agak canggung dengan panggilan itu.Viona mengangguk senang, dia melirik temannya. “Apa kita jalan sekarang saja, Li?”Mami Liana mengangguk dan melirik jam di tangannya. “Boleh. Kita pergi setelah Sahara mengganti seragamnya”“Mau kemana, Mi?” tanya gadis itu penasaran. Keningnya mengkerut saat dirinya di libatkan dalam obrolan kedua orang tua itu.“Ke butik, sayang. Fitting gaun pengantinmu!” jawab Mami Liana dengan antusias.Bahu Sahara merosot seketika, sendi kakinya mendadak lumpuh. Dia mengigit bibir dalamnya, meredam teriakan protes yang bersarang di tenggorokannya. Kenapa Tuhan tidak memberikannya waktu sedikit saja untuk berpikir?Kenapa secepat ini?Sepanjang perjalanan menuju butik Sahara lebih banyak diam, hanya sesekali saja dia menjawab pertanyaan dari Viona. Obrolan di dominasi oleh dua wanita paruh baya itu. Entah apa yang mereka bicarakan, Sahara tidak tertarik untuk sekedar menyimaknya. Otak gadis itu sibuk mensimulasikan rencana untuk menggagalkan pernikahan ini.Dia bahkan sempat ingin melakukan aksi mogok makan seperti biasa atau kabur dari rumah. Atau dia mengancam akan terjun dari atap rumahnya yang megah itu. Apapun itu dia ingin mencobanya nanti.“Ah, sudah sampai. Ayo Ra, turun!”Suara antusias sang Mami membunyarkan rencana yang mulai tersusun di kepalanya. Sahara mendengus sebal saat melihat wajah Liana yang begitu berbinar, seolah wanita itu yang hendak menikah. Setelah turun dari mobil, Sahara menarik tangan sang Mami untuk menepi sejenak.“Mami serius dengan pernikahan, ini?” Sahara berbisik pelan, menatap lurus wanita yang telah melahirkannya.Sedangkan Viona tidak menyadari Ibu dan anak yang tengah menepi d
Gadis itu memutar tubuhnya, mematut diri di pantulan cermin. Senyum manis merekah dibibir ranumnya. Sahara tidak pernah menyangka bahwa dia akan terlihat sangat anggun dengan kebaya yang melekat indah di tubuhnya. Dia tidak menduga akan secantik itu.Dulu, gadis cantik itu selalu bermimpi akan menikah dengan lelaki tampan dan gagah bak pangeran berkuda putih dalam negeri dongeng. Lelaki yang romantis.Namun itu hanya bunga dalam tidurnya, hanya mimpi. Mimpi seorang gadis remaja yang begitu mendambakan sosok lelaki yang akan menjadi pelindungnya kelak. Lelaki yang mencintainya. Sahara ingin lelaki seperti itu.Tetapi kini, kenyataan menamparnya untuk bangun dari mimpi indah itu. Realita yang mengharuskan dirinya menikah dengan lelaki yang begitu jauh perbedaannya usia keduanya. Alih-alih romantis justru lelaki yang begitu dingin, tidak ada cinta diantara keduanya.Dan Sahara akan menikah dengan lelaki seperti itu demi menjaga kehormatannya.“Sungguh ironis...” desis gadis itu meringis,
Melepas anak gadis untuk menikah tidaklah mudah, terlebih gadis itu putri satu-satunya yang dimiliki. Brata tidak merasa lega melihat putrinya menikah, meski pernikahan ini adalah kehendaknya sendiri. Pondasi pernikahan putrinya terlalu rapuh, untuk itu dia mewanti-wanti dan mengingatkan pria yang menjadi suami dari putrinya.“Sahara putriku satu-satunya” ucap pria tua itu memulai. “Aku menjaganya sepenuh hati, sejak dia hanyalah seorang bayi merah.” lanjutnya. Brata bahkan masih bisa merasakan kuap putrinya sewaktu masih bayi, tahu-tahu kini sudah menikah. Waktu terasa begitu cepat baginya.“Sekarang aku membagi tugas itu padamu.” Brata mencengkeram pelan bahu tegap Sagara. “Jagalah dia, lindungi putriku. Aku mempercayakan tanggung jawab besar ini untukmu. Jangan kecewakan aku.”Sahara berkaca-kaca mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut sang Papi, dadanya menghangat. Dia sangat menyayangi pria tua itu, sungguh. Di sampingnya Sagara hanya mengangguk patuh, dia mendenga
“Darimana kau mendapatkan benda, ini?” tanya Sagara menunjukkan benda yang berada di telapak tangannya.“Tentu saja dari situ!” jawab Sahara tersungut-sungut. Jari telunjuknya mengarah pada laci nakas yang masih setengah terbuka.Sagara mengumpat dalam hati, ini pasti perbuatan sang Papa, dia tahu itu. Sekarang bagaimana cara menjelaskan ini pada istrinya?Pria itu melirik Sahara yang wajahnya memerah, pasti gadis itu sedang berpikiran hal buruk tentang dirinya.“Hei, bocah. Ini bukan punyaku!” katanya menjelaskan. “Ini pasti ulah Papa. Papa yang—..”“Lalu aku percaya?” Sahara memotong ucapan itu. “Om mengkambing hitamkan Papa, untuk hal kecil itu. Kenapa tidak mengaku saja kalau kau memang mesum!”Rahang pria itu mengeras, dia berdacak pinggang. Sagara sungguh kesal mendengar Sahara yang terus memanggilnya dengan sebutan 'Om'.“Sudah kubilang itu bukan milikku!” ucapnya dengan lantang.“Kalau bukan milikmu, lalu milik siapa?” Sahara melipat kedua tangannya diatas perut, kebaya pengan
Sahara menatap kesal pada lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya. Padahal dia yang bersumpah akan membuat lelaki itu kesal dengan tingkahnya, justru dia yang dibuat terkesal-kesal. Bayangan dada bidang dan perut kotak-kotak masih berseliweran di otaknya, Bagaimana bisa Sagara masih bersikap santai setelah menodai mata sucinya, pikir gadis itu.“Apa-apaan?”Kedua alis Sahara terangkat sempurna saat pria itu menjejalkan sebuah bantal dan selembar selimut di tangannya.“Sana! Tidur di sofa!” titah Sagara seraya menunjuk sofa panjang yang tersedia di kamarnya.Perangainya kembali dingin, pria itu merutuki kebodohannya barusan. Dia tidak sadar telah melakukan hal konyol itu. Mungkin Sagara terbawa suasana. Apapun itu dia menyesal melakukannya.“Atau kalau kau tidak keberatan, tidur dilantai pun boleh.” lanjutnya lagi, melambai acuh pada Sahara yang sudah menganga lebar. Gadis itu tidak percaya mendengarnya.“Enak saja!” sembur Sahara. “Aku ini seorang istri, sesuka hati kau me
[Ra, kau tidak masuk sekolah lagi?]Pesan itu di kirim oleh Yuri. Sahara menikah di hari selasa kemarin, tidak ada satupun temannya yang di undang. Mereka hanya tahu dia cuti sekolah karena urusan keluarga. Sahara ingin merahasiakan pernikahannya rapat-rapat setidaknya sampai dia wisuda nanti.[Besok, Yur. Aku masuk!] Gadis itu membalas pesannya.Sebenarnya waktu cutinya habis itu lusa, bukan besok. Kalau boleh jujur Sahara lebih senang berada di sekolah saat ini. Dia bisa bertemu dengan teman-temannya, mengobrol dan memburu setiap makanan di kantin.Baru sehari gadis itu tinggal didekat Sagara, sudah hampir membuat kepalanya pecah. Belum lagi dia harus berjuang keras untuk mengenyahkan bayangan tubuh setengah telanjang suaminya itu.Sahara menggelengkan kepalanya berkali-kali, dia harus tetap waras. Gadis itu memilih untuk kembali menuju kamar seraya berbalas pesan dengan kawannya.Sedangkan Sagara, pria itu sejak tadi kesana dan kemari mencari keberadaan istrinya langsung merasa jen
Bukan tanpa alasan Sagara mengajak istrinya itu untuk pindah. Demi mengantisipasi keisengan sang Papa yang mungkin akan lebih ekstrem lagi guna membuat kedua untuk dekat. Sedangkan alasan lain, dia bisa lebih leluasa dalam bersikap tanpa harus bersandiwara menjadi suami yang baik.Tentu saja alasan yang kuat adalah agar dia tidak tidur sekamar lagi dengan Sahara, apartemen ini mempunyai dua kamar.“Bocah ingusan! Kamarmu disini” Ucap Sagara pada gadis cantik yang tengah sibuk menelisik mewahnya apartemen.“Oh oke” jawab gadis itu mengangguk.Sahara menarik pelan kopernya menuju kamar yang dimaksud oleh suaminya. Ini tidak terlalu buruk, dia senang-senang saja jika harus tinggal di tempat semewah ini. Namun saat hendak masuk, kening gadis itu mengernyit ketika dia melihat Sagara justru masuk ke kamar yang lain.“Om, kenapa masuk ke sana?” tanya Sahara akhirnya.Sagara berbalik menatap istrinya, alisnya terangkat sebelah.“Ini kamarku” jawabnya singkat.Wajah Sahara menunjukkan kebing
Sagara menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, melipat kedua tangan didada. Pandangan matanya menelisik ekspresi wajah Sahara yang ternganga lebar di sertai gelengan kecil saat membaca surat kontrak itu.“Om, apa-apaan ini?” tanya Sahara dengan alis terangkat, perasaannya campur aduk setelah membaca kontrak konyol itu.“Kau sudah membacanya, kan? Harusnya kau mengerti!” jawab Sagara dengan santai.“Mana bisa begitu! Apa ini? Menjalani pernikahan dengan kurun waktu selama tiga bulan, lalu setelah itu bercerai!” ujar gadis itu mengulang apa yang dia baca.Sahara sedikit shock dengan hal ini. Dia tidak pernah berpikir pernikahan kontrak semacam ini akan terjadi pada hidupnya.“Om pikir ini dunia novel!” bentaknya dengan kesal.Sungguh Sahara tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya itu, usianya saja yang dewasa namun pikirannya sangat kekanak-kanakan. Sahara masih muda tidak mungkin dia akan menyetujui perjanjian kontrak ini apalagi jika harus menyandang status janda.Apa kata