Share

5). Tantangan Yuri

“Turun!”

Sahara tersentak mendengar intonasi suara itu, sejak tadi matanya memang menatap jalanan, namun otaknya berada di tempat lain membuat gadis itu tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti tepat didepan gerbang sekolahnya.

Dengan penuh kekesalan Sahara membuka pintu mobil dan beranjak turun. Namun dia merasa sesuatu yang janggal, kakinya tidak kunjung menyentuh tanah dan gadis itu merasa tubuhnya tidak bisa bangkit dari jok mobil ini. Sekuat tenaga Sahara membawa tubuhnya untuk keluar dari mobil ini. Lagi-lagi gagal. Dia mendecak frustasi.

Sagara yang melihat hal itu lantas mendengus dan menggelengkan kepalanya dengan geli.

“Lepas dulu sabuknya, lalu turun!”

Suara dingin itu kembali menginterupsi, membuat Sahara melirik dadanya. Sabuk pengaman itu masih melekat kuat ditubuhnya, dia menepuk keningnya dengan malu. Sahara mengumpat dalam hati, mendadak dia merasa menjadi manusia paling bodoh di bumi. Mengapa dia tidak sadar akan benda itu, pikirnya.

“Te-ri-ma-ka-sih” ucap Sahara menekankan setiap katanya, dia berhasil turun.

Bugh!

Pintu mobil itu dibanting dengan keras. Sagara terlonjak kaget didalam sana sembari mengutuk gadis tersebut. Sahara tersenyum senang melihatnya.

Bergegas dia meninggalkan pria yang masih mengumpatinya, dia berjalan menuju kelas. Dua temannya menyambut ceria seperti biasa, melihat Sahara yang acuh dan langsung mendudukkan diri di kursi membuat keduanya saling pandang keheranan.

“Pagi-pagi begini kau sudah cemberut.” ucap Selly ikut mendudukkan diri seraya menopang dagunya.

“Betul. Kenapa sih kau ini, orang akan menganggap kau terlilit hutang yang menumpuk jika melihat wajah suram dirimu!” timpal Yuri berkelakar sembari cekikikan.

Sahara menatap kedua sahabatnya bergantian. Tidak mungkin dia menceritakan tentang perjodohan itu pada mereka, apalagi jika pihak sekolah tahu dia akan menikah, tamat sudah riwayatnya. Bukan dia tidak mempercayai Selly dan Yuri, gadis itu hanya waspada dan berhati-hati, tidak ingin rumor itu tersebar luas. Dia punya mimpi dan cita-cita, Sahara ingin menjadi dokter. Jadi kalau semua ini ketahuan hancur sudah harapan.

Mengingat perihal perjodohan itu kembali membuat hatinya jengkel.

“Kalian tahu tidak bagaimana menghadapi pria dingin?” Sahara bertanya penuh harap.

Mendadak gadis itu memiliki rencana, dia ingin membuat Sagara kesal dan muak dengan tingkahnya nanti. Dengan harapan pria itu akan membatalkan perjodohan ini. Sahara tersenyum licik saat membayangkannya.

Tidakkah dia tahu, apa yang akan Sagara lakukan untuk itu. Mereka berdua bersikeras menjadi korban versi masing-masing dalam perjodohan ini, lalu siapa yang akan menjadi tersangka?

“Pria dingin?” Selly dan Yuri menyahut bersamaan.

“Kau sedang dekat dengan pria dingin, Ra?” tanya Yuri memastikan sekali lagi, matanya mengerjap berbinar.

“Siapa, Ra. Kenalin dong!” seru gadis itu lagi mulai merengek.

Sahara mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Apa sih, Yur. Kenapa jadi heboh?”

“Kau tahu tidak, Ra. Pria dingin itu sesuatu yang sangat menantang.” Yuri bertambah heboh penuh antusias.

“Menantang bagaimana?”

“Pria dingin itu sulit ditaklukkan. Kalau kau bisa membuat seorang pria dingin bertekuk lutut padamu dan mengemis cinta. Kau boleh meminta apapun padaku sebagai hadiahnya!” Yuri menjelaskan dengan menggebu dan menantang sahabatnya itu.

Selly memutar bola matanya dengan jengah mendengar ocehan sahabatnya itu.

“Mulai deh lebay-nya!” dia mengusap kasar wajah Yuri.

“Selly, makeupku rusak!” sungut gadis remaja itu cemberut.

Sahara terkekeh geli melihat mereka.

“Bagaimana, Ra?” Yuri memandang gadis itu yang berhenti tertawa.

“Apanya?”

“Kau berani tidak menerima tantangan dariku?” Yuri tersenyum penuh arti dan menaik turunkan kedua alisnya.

Sahara tertegun sejenak dia merasa tertarik. “Kalau aku kalah dan jatuh cinta duluan?”

“Tentu saja kau yang akan menuruti permintaanku!” jawab Yuri tertawa kencang. Membuat Selly menggelengkan kepalanya.

“Memangnya pria mana yang sedang dekat denganmu?” Selly menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.

“Ah, benar itu. Siapa dia?” sambung Yuri setelah puas tertawa.

Sahara tersenyum misterius. “Rahasia”

*****

Selepas mengantar Sahara menuju sekolahnya, Sagara pergi menemui partner yang menyambi sebagai tangan kanannya. Ardi— nama pria itu, dia adalah salah satu teman Sagara di bangku kuliah dulu. Mereka janji bertemu di cafe untuk rapat kecil mengenai bisnisnya.

“Saga, kapan kau akan mulai pembangunan itu?” tanya Ardi. Perawakan pria itu tinggi, tubuhnya sedikit lebih ramping dari Sagara. Namun wajahnya cukup tampan.

“Aku sedang mengusahakan modalnya dulu.” jawab Sagara menenangkan.

Keuntungan dari hasil jerih payahnya sejak di bangku kuliah dulu hingga detik ini sudah dia belikan lahan yang cukup luas di luar kota. Sagara berencana ingin membangun gedung yang nantinya akan dia jadikan pant house atau villa, untuk dia jual kembali dengan harga tinggi atau menyewakannya. Sagara membutuhkan kucuran dana, tapi modal itu tidak kunjung dia dapatkan jika tidak menikahi Sahara.

“Yang lain bagaimana, apa ada kendala?” tanyanya pada Ardi.

“Untuk sekarang belum ada, semua aman-aman saja.” jawab kawannya itu.

Sagara mengangguk lega, Ardi memang sangat bisa diandalkan. Kinerjanya tidak pernah mengecewakan, sehingga Sagara mempercayai pria itu untuk membantunya membangun bisnis yang dia rintis.

“Ah, iya. Bagaimana cara kau mendapatkan modal itu?” Ardi bertanya lagi.

Sagara tersenyum tipis, “Aku tidak bisa mengatakannya.”

“Kenapa?” Ardi mengangkat kedua alisnya. “Bilang saja, mungkin aku bisa membantu.”

“Kau tidak akan bisa membantu” katanya. “Ini urusan orang tua dan anak” lanjut Sagara terkekeh kecil.

Ardi mengangguk mengerti. “Semoga usahamu dilancarkan.” ucapnya tulus.

“Sebentar...”

Dering ponsel menghentikan diskusi mereka, Sagara menepi untuk menjawab panggilan itu.

“Hallo, Ma?”

“Hallo, nak. Kau dimana, sudah makan?”

“Aku di cafe bersama Ardi. Ada apa, Ma?”

“Apa kau sibuk sore nanti?” suara wanita itu terdengar ragu.

“Tidak, kenapa?” cecar Sagara dengan cepat, dia mulai kehilangan kesabarannya.

“Hari ini Mama sudah merencanakan untuk mengunjungi butik langganan Mama dan akan menunggumu disana. Kau bisa datang, 'kan?”

“Untuk apa, Ma?” tanyanya heran, kalau hanya untuk menemani Mamanya itu berbelanja dia ingin menolak saat itu juga, Sagara punya hal yang lebih penting untuk dia lakukan.

“Tentu saja untuk mengukur tubuhmu!” ucap Viona dengan gemas. “Kau 'kan butuh jas pengantin.”

“Apa?” pria itu termegap, dia mengusap rambutnya resah.

“Kau tidak lupa dengan rencana pernikahanmu itu 'kan, Saga?” Viona memicingkan mata di seberang telepon.

“Ma, aku tidak bisa—...”

“Mama tidak mau mendengar alasan, Saga.” potong wanita itu. “Mama akan menunggumu disana, atau kau lebih suka melihat tubuh Mama menggantung di belakang rumah, eh?” ancamnya.

****

“Ah, itu dia!”

Sahara terkejut mendengar seruan itu. Dia baru saja pulang setelah seharian berkutat di sekolah, gadis itu merasa lelah. Dia merindukan kasurnya yang empuk.

“Ra, kemarilah. Ini Viona, dia Mama Sagara.” Maminya itu melambai dengan antusias meminta Sahara untuk mendekat.

Dengan langkah gontai dia menghampiri mereka, Sahara menatap ramah pada wanita yang sebaya dengan sang Mami.

“Hallo, Tante. Aku Sahara...” Sapanya tersenyum manis.

Viona tersenyum lebar menyambut gadis muda yang cantik dan manis itu. Dia membelai pipi mulusnya.

“Hallo sayang, kau bisa memanggilku Mama.” titah wanita itu mengedipkan mata penuh persekongkolan.

“Kau cantik sekali, nak” pujinya tulus. Viona menyukai gadis itu, dia tidak sabar ingin menjadikannya menantu.

“Terimakasih, Ma—” Sahara agak canggung dengan panggilan itu.

Viona mengangguk senang, dia melirik temannya. “Apa kita jalan sekarang saja, Li?”

Mami Liana mengangguk dan melirik jam di tangannya. “Boleh. Kita pergi setelah Sahara mengganti seragamnya”

“Mau kemana, Mi?” tanya gadis itu penasaran. Keningnya mengkerut saat dirinya di libatkan dalam obrolan kedua orang tua itu.

“Ke butik, sayang. Fitting gaun pengantinmu!” jawab Mami Liana dengan antusias.

Bahu Sahara merosot seketika, sendi kakinya mendadak lumpuh. Dia mengigit bibir dalamnya, meredam teriakan protes yang bersarang di tenggorokannya. Kenapa Tuhan tidak memberikannya waktu sedikit saja untuk berpikir?

Kenapa secepat ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status