"Assalaamu'alaikum," salam Edwin, setelah sampai di rumah mertuanya.Audrey membukakan pintu dan menjawab salam. Sejenak pandangan keduanya bertemu. Ragu, Audrey menjabat dan mencium tangan suaminya."Bagaimana kabarmu, Sayang?" tanya Edwin, lembut.Audrey memaksakan senyum. "Alhamdulillaah baik. Silakan masuk, Mas."Edwin dan Audrey duduk berdampingan di ruang tamu."Aku minta maaf, ya, Mas," ujar Audrey, sembari menunduk dan menitikkan air mata.Edwin menyandarkan kepala istrinya di pundak. "Aku yang seharusnya minta maaf, Audrey. Kita sama-sama belajar dari kejadian ini, ya? Mulai sekarang, kita harus saling percaya.""Sudah, lah, Mas. Kita tidak usah membahas apa yang sudah terjadi. Fokus dengan hari esok. Baik aku maupun kamu, sama-sama memupuk kasih dan sayang itu kembali, dan memperhatikan tumbuh-kembang Dianti," pinta Audrey.Keduanya mengurai pelukan. Edwin mengangguk sambil menghapus air mata istrinya. "Bapak sama Ibu, di mana?" tanya CEO itu."Beliau berdua lagi di sawah,
Zofia sedang mondar-mandir di ruang tamu. Joe, Sinta, Evan, dan Natasha duduk di sofa sambil menunduk. Tak ada yang berani melihat Mama mereka."Kalian ini gimana, sih? Masa nggak bisa mempengaruhi Edwin supaya balik ke rumah ini? Malah di rumah Fandi yang kecil dan super sederhana itu, padahal Papanya kaya, tanah di mana-mana! Keenakan Audrey. Ini bahaya, Edwin bisa makin mabuk cinta!" teriak Zofia, diiringi muka merah, membuat kerutannya semakin terlihat.Tangan wanita paruh baya itu mengepal, dada sesak, dan pikirannya seperti mendidih."Bu-bucin mak-sudnya, Ma?" Sinta memberanikan diri untuk bertanya."Ya itu! Terserah bahasa kalian mau menyebutnya apa. Yang jelas, kali ini, kalian sudah membuat Mama kecewa, terutama Sinta!" gertak Zofia.Sinta tak terima, lalu berdiri. "Apa maksud Mama? Memangnya, ini semua karena aku? Orang nggak tahu apa-apa juga! Athena yang udah buat fitnah! Aku cuma menerima laporan. Marahin calon menantu kesayangan Mama itu.""Udah, duduk!" nasehat Joe deng
Pagi yang cerah. Galang membeli banyak sekali perlengkapan bayi dan beberapa helai pakaian khusus busui. Dia duduk di belakang kemudi, lalu menunduk untuk melihat arlojinya."Dua jam lagi, Edwin pasti sudah berangkat ke kantor. Sebaiknya aku mengintai rumah orang tua Audrey," gumamnya, lalu menginjak pedal gas, melaju ke arah jalanan.Kendaraan tidak begitu ramai, sehingga perjalanan Galang cukup lancar. Dia mampir ke drive thru untuk membeli makanan dan minuman. sehingga bisa mengisi perut sembari menyetir. Sampai di sebuah perkampungan, dia memarkirkan mobil di pinggir jalan yang cukup luas, beberapa meter dari rumah Fandi. Sesuai harapan Galang, tampak dari jendela mobil depannya, Edwin keluar dan memakai sepatu. Setelah itu, Audrey menjabat dan mencium tangan suaminya."Drama yang bagus! Dari luar, tetangga mengira rumah tangga kalian harmonis. Namun, bagaimana dengan Audrey? Dia pasti kesepian!" Galang mengepalkan tangan, sambil matanya menyorot tajam ke arah Edwin di depan sana.
Menjelang petang, Edwin pulang. Dahinya berkerut saat melihat tiga paper bag."Apa ini?" gumamnya, lalu membuka isinya.Ada beberapa pakaian bayi, baju khusus busui, dan juga mainan untuk bayi. "Assalaamu'alaikum," salamnya, sembari memasukkan paper bag ke meja ruang tamu.Istrinya keluar dengan menggendong Dianti. Dia menjawab salam.Edwin mendekat, lalu bertanya, "Kamu beli baju busui sama buat Dianti? Terus, ada mainan juga?""Enggak, Mas. Itu tadi, mmm ...." Audrey tak meneruskan ucapannya, melainkan langsung meraih punggung tangan suaminya untuk dijabat dan dicium. "Sebentar." Edwin menaruh tas kerjanya, lalu membuka catatan kecil di tali paper bag. "Selamat atas kelahiran putri pertamanya, dan menjadi ibu baru. Semoga Adik Dianti menjadi putri yang salihah dan berbakti kepada kedua orang tua. Kalau ada apa-apa, bilang ke aku. Insyaa Allaah, selalu siap membantu. Jika suamimu jarang pulang, mungkin kamu bisa curhat padaku. Galang."Pupil mata Audrey melebar, tak menyangka Galan
"Mas, bangun, Mas! Sudah Subuh. Salat dulu." Audrey membangunkan Edwin yang tampak masih terlelap.Pria itu membuka mata, lalu menjawab, "Iya.""Salat dulu. Nanti siang, bisa tidur lagi, kalau kamu nggak ke kantor." Audrey berusaha mencairkan suasana.Lirih, Edwin mengucap doa bangun tidur, lalu beranjak untuk mengambil air wudu, tanpa membalas ucapan istrinya. Terdengar tangisan Dianti, yang langsung membuat Audrey menggendongnya."Iya, Nak. Ibu di sini. Oh, anak cantik udah bangun?" ujarnya ramah, lalu duduk di ranjang untuk menyusui Dianti. "Kamu jangan rewel, ya! Tetap menyusu dan jangan hiraukan Bapakmu yang sedang marah. Insyaa Allaah nanti akan segera reda."Putri Fandi itu mencoba menenangkan hatinya dengan memandang wajah mungil si bayi, lalu membatin, 'Seorang anak akan selalu setia dan sayang pada ibunya. Kalau suami masih bisa marah, benci, dan cemburu. Terima kasih, ya Allah. Karunia-Mu begitu besar, mengamanahkan Dianti yang cantik jelita ini pada kami.'Audrey segera be
Hari itu, Edwin bekerja seperti biasa. Dia berusaha untuk tetap profesional, meskipun di waktu senggang, terus memikirkan apa yang harus dia lakukan agar tetap mendapatkan cinta istri. Di ruangan Manajer Keuangan, Sinta sedang mondar-mandir menunggu Zofia mengangkat teleponnya. "Ayo dong, Ma! Diangkat," gumamnya. Tak lama kemudian, Zofia mengangkat telepon. "Halo? Ada apa? Kalau nggak penting, Mama tutup teleponnya!" Sinta tersentak, buru-buru menjawab, "Ed-Edwin abis bertengkar sama Galang, Ma!" "Apa?" Zofia tercengang sekaligus senang. "Mama tidak salah dengar, kan?" "Enggak, dong, Ma. Iya, tadi Edwin telat ke kantor, terus mukanya babak-belur. Dia bilang, baru aja berantem sama Galang," sahut Sinta, sedikit tenang, karena pasti Zofia senang dengan kabar itu. Zofia terkekeh. "Mama sudah prediksi, kalau ini akan terjadi. Ha ha! Memangnya enak, jadi menantu orang kaya? Jangan harap Audrey bisa mengeruk harta Papa dan Mama!" Tiba-tiba Edwin muncul dari balik pintu. "Apa? Jadi
"Permisi! Paket!" Suara seorang pria terdengar dari pintu depan. Lia yang hari ini libur ke sawah, menemui pria itu ke depan. "Iya?" "Penerima atas nama Bu Audrey?" ujar kurir itu. "Dari siapa, ya, Pak?" tanya Lia, sambil menerima paket. "Pengirimnya Pak Galang, Bu," jawab kurir. Lia menggeleng pelan, lalu membatin, 'Dia lagi, dia lagi.' "Mari, Bu." Kurir itu meninggalkan rumah Fandi. "Makasih, Pak." Lia masuk ruang tamu. "Nak! Ada paket, Nak!" Audrey keluar dari kamar dengan Dianti dalam gendongannya. "Dari siapa, Bu?" Lia mengangsurkan paket itu di atas meja, agar putrinya membaca sendiri siapa pengirimnya. Mereka duduk di sofa. "Loh, Galang? Kirim apalagi dia, Bu?" Audrey memberikan Disnti oada ibunya, lalu berniat membuka paket itu. "Entah." Lia mengedikkan bahu, lalu mengambilkan gunting. Setelah Audrey membuka paket, ternyata isinya adalah berbagai model setelan gamis lengkap dengan hijabnya. Ibu-anak itu saling berpandangan. Ibu Audrey menggeleng, sambil mengembusk
Saat Edwin pulang dari kantor, dia melihat paket dari Galang di meja ruang tamu. Pria itu tak mempermasalahkan dan meredam rasa cemburunya. Audrey pun senang, karena bisa berdamai dengan suaminya. Tak ada perdebatan lagi ataupun air mata yang jatuh lagi.Waktu terus berlalu. Tiba saat jatah curi dari kantor, merupakan kesempatan bagi Edwin, yaitu membuat sebuah kejutan mewah nan romantis di hotel. Pulang dari masjid, Edwin mengganti koko yang dipakainya, dengan kaus dan celana panjang. Kemudian, mengambil alih Dianti dari gendongan Ratmi yang ada di ruang makan. ART itu langsung pergi ke belakang untuk mencuci baju serta popok bayi."Loh, memangnya nggak ke kantor, Mas? Tumben, gendong dedek. Biasanya udah buru-buru mandi," tanya Audrey yang baru selesai salat berjamaah dengan Lia.Dahi Lia berkerut. "Iya, seharusnya kamu siap-siap ke kantor, kan?"Edwin mengembangkan senyum, lalu menjawab, "Selama lima hari ke depan, ada jatah cuti dari kantor. Kayaknya cukup untuk kita liburan seke