Share

Bab 5. Perbedaan Kasta

Tak berapa lama, mereka sampai di rumah Fandi dan Lia--orang tua Audrey--yang berada di sekitar persawahan. Mereka disambut dengan hangat.

“MaasyaaAllaah. Cucuku. Sini-sini, Sayang,” sambut Lia, langsung merebut bayi yang digendong Ratmi.

Setelah menyalami Audrey dan Edwin, Fandi tersenyum lebar ke arah cucunya. “Betapa lengkap kebahagiaan kita, Bu.“

Lia menoleh ke arah suaminya, sambil mengangguk dengan raut wajah sumringah.

Edwin dan Audrey tampak kikuk, karena rumah tangga mereka baru saja terguncang.

Apakah itu yang disebut dengan bahagia? Lebih baik merahasiakannya dari kedua orang tua, pikir Audrey.

Ratmi masuk membawa tas besar berisi pakaian kotor milik majikannya. “Permisi, Bu. Saya izin mencuci di belakang, ya.“

“Iya. Pakai mesin cuci saja, Rat!” saran Lia.

“Baik, Bu,” sahut Ratmi sambil tersenyum, yang memang sudah akrab dengan orang tua Audrey.

“Edwin, mesin cuci yang kamu belikan, masih bagus sampai sekarang.“ Lia tersenyum pada menantunya.

“Alhamdulillaah, Bu.“ Edwin menunduk sopan sambil mengembangkan kedua sudut bibirnya.

“Kamu kenapa, Nak?“ tanya Fandi pada Audrey.

Audrey tersenyum kecut. “Nggak papa, Pak. Hanya kecapekan saja.“

Lia menelisik raut muka anak dan menantunya. “Rumah tangga kalian baik-baik saja, kan?“

“Baik, kok, Bu. Hanya saja, sempat ada salah paham di antara kami,” jawab Edwin, menutupi apa yang telah terjadi.

“Syukurlah. Apa pun ujiannya, kalian harus tetap bersatu. Kalau ada masalah, hadapi bersama-sama, ya?“ pesan Fandi.

Audrey dan Edwin mengangguk. Mereka berdua telah sepakat tidak akan menceritakan masalah rumah tangga kepada Fandi dan Lia, kecuali jika memang sudah tak bisa mengatasinya sendiri.

**

Waktu terus berlalu. Aqiqah anak dari Edwin dan Audrey sudah selesai dilaksanakan. Di antaranya menyembelih seekor kambing lalu membagikannya ke para tetangga dan sanak saudara, mencukur rambut si bayi, dan memberinya nama.

Fani dan Lia telah tertidur di kamarnya, karena kelelahan. Ratmi sedang mencuci peralatan masak untuk aqiqah tadi siang, di belakang. Edwin dan istrinya hendak beristirahat di kamar Audrey yang dulu.

“Dianti Auliya. Nama yang cantik, seperti pemiliknya,” puji Edwin sambil menimang putrinya.

Audrey tersenyum lembut. “Semoga dia menjadi putri yang dihargai orang lain, ya, Mas.“

“Artinya apa, Sayang? Aku lupa,” timpal Edwin sambil menatap istrinya.

“Anak perempuan istimewa yang dihargai oleh orang-orang di sekitarnya,” jawab Audrey.

Kedua netra Edwin berbinar. “Indah sekali.“

“Seindah harapanku yang ingin anak kita dihargai. Tidak seperti ibunya, yang kehormatannya diinjak-injak oleh orang kaya,” jawab Audrey.

“Maafkan keluargaku yang belum bisa bersikap baik padamu.“ Edwin menaruh bayinya di box dengan sangat hati-hati, lalu merangkul pundak istrinya.

Audrey melepaskan tangan Edwin. “Aku tidak habis pikir, kenapa mertuaku sampai setega itu padaku? Memanipulasi keadaan dengan membuatmu sibuk di kantor, menyuruh Galang menjemputku, dan membuatmu cemburu.“

Edwin terdiam, merasa malu dengan sikap Mamanya.

“Sebaliknya, aku kesusahan menyusui Dianti di rumah sakit, lalu Athena dengan seenaknya memberimu obat tidur hingga mengigau malam itu, membuat tangisku tak berhenti, mengira kamu telah selingkuh dengannya! Apa Papa dan Mamamu sangat ingin kita bercerai?“ Air mata Audrey mulai berderai.

“Ssst!“ Edwin mendekatkan telunjuknya di depan bibir istrinya. “Jangan mengatakan hal seperti itu. Bukankah ucapan itu doa? Kita bicara yang baik-baik saja, ya? Kita akan bersatu selamanya, tak akan dipisahkan oleh apa pun.“

Audrey menghapus air matanya. “Aku tahu, kamu sangat mencintaiku. Namun, mungkin aku yang salah, mau menikah dengan orang kaya. Sedangkan diri ini hanya orang miskin. Kehidupan bahagia hanyalah mimpi, Mas.“

Edwin menggeleng cepat, sambil menangkupkan kedua tangan di pipi Audrey. “Tidak, Sayang. Aku mencintaimu karena hatimu. Bagiku, harta bukanlah segalanya.“

“Rasanya aku tidak sanggup kembali ke rumah, Mas. Selama satu tahun, sejak awal menikah, sampai sekarang, mereka tak pernah menghargaiku. Papa dan Mama tidak menyapa atau mengajakku bicara, bahkan sepatah kata pun. Apa saja kegiatan atau acara keluarga yang mereka adakan, tidak mengundangku sama sekali. Belum lagi kakak-kakakmu yang selalu merendahkan istrimu ini. Perbedaan kasta memang mengalahkan segalanya, sampai-sampai dalam keadaan tersulit saat akan melahirkan kemarin, Papa dan Mama tetap mengabaikan diri ini,” ungkap Audrey, mencurahkan isi hatinya, walaupun sebenarnya Edwin sudah mengetahui hal itu.

“Maafkan keluargaku, Sayang. Baiklah kalau kamu ingin kita tinggal di sini, asalkan kamu tidak marah lagi sama Mas. Tetaplah di sisiku apa pun yang terjadi. Jangan sampai kita tertipu daya oleh godaan setan, yang menginginkan suami-istri untuk bercerai,” sahut Edwin, sambil memeluk Audrey.

Istrinya membuang napas kasar. “Tipu daya setan, termasuk yang berwujud manusia, seperti keluargamu, Mas. Maafkan aku, karena hati ini terlanjur sakit.“

“Istigfar, Sayang. Aku tahu kamu marah. Namun, coba kendalikan, ya. Kalau kamu bahagia, Dianti juga akan bahagia, kan?“ Edwin mengelus rambut istrinya, yang memang sedang tidak memakai hijab.

Malam sudah semakin larut. Mereka beranjak tidur, karena aqiqah tadi siang cukup menguras tenaga mereka.

**

Tanpa terasa, usia Dianti menginjak satu bulan. Edwin dan Audrey sudah mulai bisa beradaptasi sebagai orang tua baru. Ratmi juga semakin cekatan mengurus si bayi. Fandi dan Lia juga tak segan membantu, karena sangat sayang pada cucu pertama.

Selama itu, tak pernah sekali pun Zofia atau Juna datang untuk menjenguk Dianti. Bahkan, sekadar menanyakan lewat telepon pun juga tidak. Saat Fandi dan Lia bertanya tentang besannya yang seperti acuh tak acuh, Audrey masih bisa mencari alasan, kalau kedua mertuanya selalu sibuk dengan urusan kantor.

Lama-lama, Fandi dan Lia curiga, kalau ada yang tidak beres dengan rumah tangga Audrey. Siang hari saat Ratmi menemani Dianti yang tidur di bix bayi, Edwin masih di kantor, Fandi dan Lia mengajak putri mereka bicara di ruang tamu.

“Nak, apa ada yang kamu sembunyikan dari kami, orang tuamu sendiri?“ tanya Fandi, memulai pembicaraan.

Audrey diam. Dia sadar Bapak dan Ibunya sudah mengetahui kebohongannya tentang kesibukan kedua mertua.

“Apa rumah tanggamu baik-baik saja? Kedua mertuamu tidak membencimu, kan?“ Lia ikut bertanya, tak sabar untuk mendengar apa yang telah terjadi.

“Se … sebenarnya keluarga Mas Edwin tidak pernah menerimaku, Pak, Bu ….“ Audrey terisak, sejenak mengambil napas.

Fandi menghela napas berat, lalu mengembuskannya kembali. “Katakan saja, Nak. Kami sudah menduga hal ini sebelumnya.“

Audrey pun menceritakan sikap mertua yang tak pernah bicara padanya, juga tidak menjawab ketika disapa olehnya. Tak pernah diundang jika ada acara keluarga, atau apa pun itu. Jika ada kesusahan, tak ada yang mau membantunya, selain Ratmi dan Edwin saja. Begitu juga dengan ipar-ipar yang selalu merendahkannya. Audrey juga terpaksa jujur dengan fitnah yang dibuat mereka kemarin, karena batinnya sudah tak tahan lagi.

“Astagfirullaah,” zikir Fandi dan Lia.

Seper sekian detik kemudian, Lia tak sadarkan diri.

“Bu … Bu!“ panggil Audrey dan Fandi, panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status