Lia terbangun setelah beberapa saat. Dia dibaringkan di kursi ruang tamu oleh Fandi dan Audrey.“Bu! Ibu sudah sadar?“ panggil Fandi, tak sabar melihat keadaan istrinya.Audrey mengusap air matanya. Dia sedih sekaligus panik kalau sampai ibunya sakit, karena kejujurannya tadi.“Iya, Pak. Aku ….“ Lia mengumpulkan kesadaran dalam beberapa menit, lalu ingat tentang kenyataan kalau Audrey telah dicampakkan oleh keluarga besannya.“Ibu … maafkan aku, terpaksa jujur. Seharusnya, aku bisa menutupi keburukan keluarga suamiku, dan menghadapi masalah sendiri, tanpa melibatkan Ibu dan Bapak,” keluh Audrey, merasa bersalah.Lia menggeleng cepat, sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi sang putri. “Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Ibu hanya syok, anak yang kami besarkan dan kami rawat dengan sangat baik … bisa-bisanya diperlakukan seperti ini! Ibu tidak terima, Nak!"“Sudah, Bu. Sabar, sabar!“ pinta Fandi, yang sepertinya tak didengar oleh Lia.“Pak, bagaimana Ibu bisa sabar? Mereka nggak pernah
“Ada apa, Bu?“ tanya Ratmi yang baru selesai Salat Subuh dan hendak mencuci.Audrey menyembunyikan anting-anting itu di balik sakunya. “Enggak apa-apa, Rat. Jasnya Mas Edwin yang ini nggak begitu kotor. Lagi pula mencucinya pakai tangan, besok aku aja, ya.“"Oh. Iya, Bu.“ Ratmi mengembangkan senyum di bibirnya.“Ya udah, tolong rebuskan air untuk minum!“ perintah Audrey, lalu berjalan ke kamar.Audrey mendapati suaminya sedang mengelus rambut Dianti dengan penuh kasih sayang.Perempuan itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berusaha untuk menepis pikiran negatif yang sempat muncul.“Mama datang, Sayang!“ seru Edwin, yang melihat kedatangan istrinya, lalu kembali memperhatikan Dianti.Langkah Audrey semakin mendekat. “Mas, aku mau tanya sesuatu.““Tanya apa?“ Edwin mengerutkan dahi.“Kamu beli anting?“ tanya Audrey, sambil duduk di samping Edwin.“Anting? Enggak,” jawab suaminya, dengan mengerutkan dahi.Audrey menunjukkan anting di tangannya. “Aku menemukan ini di ka
Edwin tersadar dari lamunannya, lalu menyusul Audrey ke kamar. Namun, pintunya tertutup."Sayang! Tolong buka pintunya! Aku mau bicara," panggilnya, sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mau bicara apa lagi, Mas? Aku butuh waktu sendiri!" sahut Audrey, dengan suara serak.Edwin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Aku mau siap-siap ke kantor."Tak berapa lama, Audrey membuka pintu, lalu langsung berlari dan berbaring di kasur dengan menangkupkan bantal di wajahnya.Edwin menyiapkan segala keperluannya sendiri, karena tahu Audrey sedang sedih dan tak mau diajak bicara.Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, dia sarapan sendiri tanpa Audrey.Makanan memang sudah disiapkan oleh Ratmi, tetapi terasa sepi karena tak ada sang istri yang menemani.Edwin segera berangkat ke kantor seperti biasa. Dia menyapa para karyawannya, lalu masuk ke ruangannya. Di tengah-tengah bekerja, dia memikirkan kejadian kemarin.“Aneh. Kenapa anting itu bisa ada di kantong jasku, ya? Lagi pula, aku
“Ya Allah!“ seru Edwin sambil membantu ibu itu hingga bisa berdiri, juga merapikan sayuran mentah yang berjatuhan ke dalam kotak kecil di atas sepeda kayuh.Ibu penjual sayur itu tersenyum. “Terima kasih banyak, ya, Nak. Kamu baik sekali."Edwin mengangguk sambil membalas senyuman beliau. “Sama-sama, Bu. Tadi kenapa bisa jatuh?““Begini, loh, Nak. Tadi, saya lewat jalan yang agak menanjak ini buat menuju kampung, jualan sayur. Biasanya aman-aman saja. Terus nabrak batu kecil. Sepedanya goyang-goyang, dan karena saya nggak bisa imbangin, terus jatuh. Sayurannya juga berceceran gini," jelas Ibu itu, sambil meringis kesakitan."Mari saya bantu, Bu," sahut Edwin, dengan sigap membantu perempuan paruh baya itu, sehingga sayuran-sayuran tertata kembali seperti semula.Ibu itu mengembangkan senyum, membuat guratan di wajahnya semakin jelas. "Terima kasih, Nak.""Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu," sahut Edwin, lalu mendekati mobilnya lagi.CEO itu agak terkejut, melihat Athena ada di sana."
"Hah! Ini pasti kerjaan si Athena!" gumam Edwin kesal, lalu keluar dari taksi, tak lupa membawa tas kerjanya. Di teras rumah, Audrey sedang menggendong Dianti, ditemani Fandi dan Lia. Edwin menarik napas dalam-dalam, sebelum mendekat. "Assalamu'alaikum." Mereka menjawab salam secara serempak. "Loh, Mas? Jam segini, kok, sudah pulang? Terus kenapa kamu berkeringat kayak gini, sih? Abis lari-lari?" tanya Audrey. Suaminya menjawab, "Athena menjebakku lagi, Sayang." Audrey terbelalak. "Apa?" Kedua orang tuanya terkejut, karena belum tahu siapa itu Athena. Lia mengambil Dianti dari gendongan Audrey. Sepertinya ada hal penting yang harus mereka bicarakan. "Maaf, Bapak, Ibu. Saya meminta izin untuk bicara berdua dengan Audrey," pinta Edwin, sopan Setelah diizinkan, Edwin dan Audrey menuju kamar. Tiba-tiba ada pesan dari nomor tak dikenal di ponsel Audrey. [Kamu yakin suamimu itu setia, Audrey? Coba cek ponselnya.] Istri Edwin itu tercengang. "Sayang, tadi Athena ...." Audrey me
Edwin sedang membiarkan badannya yang masih berpakaian kemeja dan celana kerja, terguyur air shower di toilet dalam sebuah kamar hotel yang disewanya. Dia merasa hancur saat Audrey mengusirnya dan tak percaya padanya. "Athena benar-benar licik! Apa yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kepercayaan Audrey? Aku sangat mencintainya. Kami baru saja bisa berdamai setelah badai rumah tangga yang menimpa. Lalu, Athena dengan begitu mudahnya, memutar balikkan fakta!" Edwin bicara sendiri. Beberapa menit berlalu. Edwin masih meratapi nasibnya yang tak lagi dipercaya oleh Audrey. "Bagiku, Audrey itu perempuan luar biasa. Dia berhati baik, lembut, amanah dalam segala hal, penyayang, tak pernah sombong, dan setia. Karena hal itulah, aku dulu menikahinya. Aku tidak boleh kalah oleh Athena! Perjuanganku mendapatkan Audrey sangat berat, jadi harus dipertahankan apa pun yang terjadi!" Kata-kata yang keluar dari mulut Edwin begitu lantang, untuk menyemangati dirinya sendiri. Tak ada orang lain y
"Ya Allah, ternyata perbuatan itu sama dengan perbuatan setan yang selalu menginginkan perceraian antara sepasang suami-istri, ya, Pak? Berarti, saya harus bisa mengalahkan setan itu dan mempertahankan rumah tangga saya?" tanya Edwin, sangat penasaran. Pak Ridwan menimpali, "Sungguh tak beradab apa yang dilakukan perempuan yang ingin merebut suami orang!""Benar," imbuh Pak Amar, "saran saya, cari tahu dan kumpulkan bukti yang bisa mematahkan fitnah wanita bernama Athena, Pak, lalu segera berikan pada istri Bapak dan kedua mertua Anda. O ya, satu lagi, lebih baik rahasiakan dulu masalah ini dari kedua orang tua, supaya mereka tidak memperkeruh suasana."Edwin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Alhamdulillah. Terima kasih, Pak. Akhirnya saya menemukan solusi dari permasalahan ini. Jujur, awalnya saya merasa buntu, sebab cinta terhadap Audrey yang begitu dalam. Sakit hati ini diusir dari rumahnya begini, Pak."Pak Amar mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Sama-s
Malam pun tiba. Gemerlap kota dimulai dengan segala hingar-bingarnya. Udara terasa dingin. Edwin berdiri di balkon kamar hotel yang disewanya, menatap jalanan di bawah sana yang selalu macet. Dia membawa "Bagaimana, ya, cara menyakinkan Audrey supaya dia mau maafin aku? Niatnya, sih, pengen cari bukti kalau Athena itu cuma fitnah aku, tapi, banyak kerjaan di kantor," gumamnya. Pria itu capek karena berdiri terlalu lama. Dia pun duduk di kursi santai yang menghadap ke luar."Udah lama aku nggak lihat bintang-bintang di langit seperti ini," ujarnya lagi.Edwin menyebut asma Allah berulang kali, karena mengagumi ciptaan-Nya yang begitu indah di langit. Sementara itu, di rumah Fandi dan Lia, Audrey sedang membuka album foto pernikahannya. Dia mengenang saat awal mengenal Edwin. **Dua tahun yang lalu. Audrey bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan milik Galang. "Aku nggak boleh telat, nih, sebelum Bos datang!" gumamnya, sembari berjalan cepat dengan mendorong tempat alat keb