Share

Bab 4. Perdamaian

"Aku sudah menikah dengan Audrey, Ma! Bukankah pernikahan itu akan terjadi, sekali saja seumur hidup?“ Mata Edwin melotot, tampak menakutkan sekali.

“Masih ada kemungkinan. Mama ingin kamu cerai sama dia! Anaknya sudah lahir, kan?“ bentak Zofia.

Edwin menggeleng, tak percaya dengan ucapan Zofia. “Tega Mama bilang seperti itu? Aku tidak akan menceraikan Audrey! Aku sangat mencintainya.“

“Percuma! Dia tak akan percaya lagi padamu. Lagi pula, siapa yang bisa mengira kalau ini akal-akalan Mama saja dengan Athena?“ Akhirnya Zofia mengaku.

“Aku yakin dia lebih percaya padaku,” sahut Edwin, lalu melangkah mundur. “Semua sudah aku rekam, Ma.“

CEO itu menunjukkan layar ponselnya. Zofia melotot, rencananya untuk menciptakan fitnah dalam rumah tangga Edwin mungkin akan gagal lagi.

**

Rumah sakit tampak sepi. Bau obat-obatan begitu menyengat. Langkah kaki Edwin sangat cepat, tujuannya hanya satu. Ruangan Audrey.

“Assalamualaikum!“ salamnya seraya memutar knop pintu, tetapi terkunci.

Edwin mengetuk pintu. “Audrey! Sayang?“

Lama tak ada sahutan.

“Ratmi! Ini aku, Edwin,” serunya lagi, tetap tak ada jawaban.

Edwin menelepon istrinya, tidak diangkat. Namun, ada pesan masuk di ponselnya.

“Maafkan aku, yang belum siap ketemu kamu, Mas. Hatiku terlanjur sakit, mengetahui kejadian semalam,” isi pesan dari Audrey.

“Tolong, bukakan pintu dahulu. Aku bisa jelaskan. Ini semua rekayasa dari Mama,” balas Edwin.

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Edwin segera berdiri. Tampak Ratmi yang sedang memberikan susu dalam dot pada putrinya.

“Silakan masuk, Tuan,” sapa Ratmi.

Edwin melangkah masuk, melihat Audrey yang tampak berantakan. Raut wajah kecewa, badan seperti tak terurus, makanan dari rumah sakit pun masih utuh.

“Mau apa kamu datang ke sini, Mas? Bukankah di hatimu hanya ada Athena? Kamu tahu, semalaman aku tak mau menyusui bayi kita karena terlanjur marah dan kecewa, sehingga Ratmi terpaksa membeli susu formula?“ kesal Audrey, tanpa menoleh ke arah Edwin.

“Kamu bisa dengar ini dulu, Sayang,” ujar Edwin, lalu menunjukkan rekaman suara tadi di ponselnya.

Mata Audrey terbelalak, lalu menangis. “Jadi, semua ini perbuatan Mamamu?“

“Maafkan aku. Kemarin sore, pulang dari sini, aku ke kafe langganan kita. Athena datang dan membawa minuman. Mungkin saja berisi obat tidur, sehingga jadi tak tahu apa-apa. Tadi pagi rasanya sangat pusing, tiba-tiba sudah di dalam kamar di rumah kita, dan langsung memergoki Mama,” jelas Edwin, dengan suara pelan.

Audrey menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. “Terus, saat kamu sibuk di kantor, hingga lebih penting dari aku? Istrimu!“

“Lihat rekaman CCTV ini dulu. Sinta pura-pura meminjam ponselku, mematikannya, dan memasukkannya ke laci. Hingga telepon ataupun pesan darimu, tak ada yang kuterima. Semua ini rencana mereka,” jelas Edwin, sambil memperlihatkan video perbuatan kakaknya pada Audrey.

Audrey tak bisa berkata apa-apa. Dia tak menyangka, mertua dan kakak iparnya sendiri bisa sekejam ini.

“Aku hanya mencintai kamu, Sayang,” bisik Edwin sambil merengkuh kepala Audrey ke pundaknya.

Beruntung, tadi pagi dikirimi rekaman CCTV oleh satpam, karena salah satu tugas penjaga keamanan adalah segala yang mencurigakan harus dilaporkan pada Edwin. Ternyata Sintia bekerja sama dengan Zofia.

Audrey menangis, sampai membasahi kemeja Edwin, menumpakan segala perasaan sedih yang melanda. Edwin mencium pucuk kepala istrinya yang tertutup hijab, untuk menenangkannya. Beberapa menit pun berlalu. Ratmi yang melihat semua itu, ikut tersenyum, melihat kedua majikan kini akur lagi.

**

“Anak kita mau diberi nama siapa?“ tanya Audrey di malam hari, saat Edwin kembali dari salat Isya' di masjid rumah sakit.

Edwin senang, Audrey mulai membuka pembicaraan dengannya. “Kamu sudah punya rencana?“

Audrey mengangguk. “Sudah. Nama depannya Dianti. Artinya anak perempuan yang istimewa.“

“Bagus sekali, Sayang. Nanti setelah pulang, kita pikirkan lagi, ya, nama belakangnya. Fokus sama pemulihanmu dulu,” ucap Edwin, lembut.

Audrey mengangguk.

“Biar kugendong bayinya,” kata Edwin.

“Ini, Mas.“ Audrey menyerahkan bayinya pada Edwin, tanpa khawatir jika akan mengompol karena sudah dipakaikan diapers, sehingga pakaian salat suaminya tetap suci.

Edwin menggendong putrinya dengan sangat hati-hati, sambil tersenyum bahagia atas nikmat Allah yang tak ternilai. “Istirahatlah, Audrey. Kamu pasti capek, kan?“

Audrey tersenyum, lalu menarik napas panjang. Dia segera berbaring, dan memejamkan mata. Perempuan itu sudah merasa tenang, setelah kemarin menangis semalaman. Tentu saja lebih percaya pada Edwin, daripada mertua dan kakak ipar yang tak pernah menerimanya sedari dulu.

Suasana kini sudah hening. Audrey terlelap di alam mimpinya, begitu pula putrinya yang tertidur di box bayi. Ratmi tidur di sofa pojok ruangan. Edwin duduk di kursi samping ranjang pasien, menatap dalam Audrey sambil mengelus kepalanya.

“Sayang, maafkan Mas, jika belum bisa menjadi imam yang baik buatmu. Aku janji, hal seperti ini tak akan terulang lagi. Aku akan berusaha menjadi orang tua yang baik untuk anak kita, Dianti. Tahu sendiri, kan, betapa sayangnya Mas padamu?“ kata Edwin, pelan.

Tentu saja Audrey tak bisa mendengarnya. Edwin mengecup punggung tangan istrinya yang kurus, berulang kali. Dia sangat mencintai Audrey.

Edwin teringat, dulu saat lajang, berkenalan dengan banyak wanita. Namun, ketika sudah saling dekat dan Edwin hendak melamar, mereka selalu menghindar, lalu menghilang tanpa kabar. Entah apa salahnya, hingga tak ada satu pun perempuan yang mau menikah dengannya.

Juna dan Zofia juga sempat mengenalkan beberapa perempuan padanya, tetapi tidak menarik hatinya. Hingga dia bertemu dengan Audrey, yang wajahnya cantik, berhati baik, dan kepribadiannya sederhana. Perempuan seperti Audrey adalah yang selama itu Edwin cari.

“Sayang, aku masih ingat, beratnya perjuangan kita berdua untuk bisa menikah. Maka, aku tak akan meninggalkanmu, meskipun ada fitnah yang diciptakan keluargaku. Maafkan Mama, Papa, dan kakak kita, yang belum bisa menerimamu sampai sekarang,” gumam Edwin lagi.

**

Dua hari kemudian, Audrey sudah diperbolehkan pulang. Dia kini berada di dalam mobil yang dikendarai Edwin, sementara putrinya digendong oleh Ratmi yang duduk di jok bagian tengah.

“Mas, aku nggak mau pulang ke rumah. Sementara kita tinggal di tempat Bapak dan Ibu, ya?“ pinta Audrey, dengan wajah memelas.

Edwin tersenyum manis ke arah istrinya. “Iya. Apa pun permintaan kamu, akan selalu kupenuhi, selama mampu. Semoga bisa menebus kesalahanku kemarin, ya.“

Audrey menarik napas panjang. “Udah, lah, Mas. Kita nggak usah bahas itu dulu. Fokus mengurus Dianti, sama pemulihanku. Hati yang sakit akan memperlambat kesembuhan seorang perempuan yang baru saja melahirkan, bukan?“

“Oh. I-iya. Maaf, Sayang. Aku lupa, kalau gejala baby blues bisa menyerangmu sewaktu-waktu. Jadi, aku akan menjaga perasaanmu, supaya tetap bahagia,” sahut Edwin, lalu fokus menyetir.

'Syukurlah, Nak. Kedua orang tuamu sudah baikan. Kamu pasti bahagia memiliki Papa dan Mama yang saling menyayangi,' batin Ratmi sambil memandangi putri majikannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status