Share

Bab 6. Anting dan Parfum Wanita

Lia terbangun setelah beberapa saat. Dia dibaringkan di kursi ruang tamu oleh Fandi dan Audrey.

“Bu! Ibu sudah sadar?“ panggil Fandi, tak sabar melihat keadaan istrinya.

Audrey mengusap air matanya. Dia sedih sekaligus panik kalau sampai ibunya sakit, karena kejujurannya tadi.

“Iya, Pak. Aku ….“ Lia mengumpulkan kesadaran dalam beberapa menit, lalu ingat tentang kenyataan kalau Audrey telah dicampakkan oleh keluarga besannya.

“Ibu … maafkan aku, terpaksa jujur. Seharusnya, aku bisa menutupi keburukan keluarga suamiku, dan menghadapi masalah sendiri, tanpa melibatkan Ibu dan Bapak,” keluh Audrey, merasa bersalah.

Lia menggeleng cepat, sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi sang putri. “Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Ibu hanya syok, anak yang kami besarkan dan kami rawat dengan sangat baik … bisa-bisanya diperlakukan seperti ini! Ibu tidak terima, Nak!"

“Sudah, Bu. Sabar, sabar!“ pinta Fandi, yang sepertinya tak didengar oleh Lia.

“Pak, bagaimana Ibu bisa sabar? Mereka nggak pernah mengajak Audrey bicara tentang hal apa pun. Bagi keluarga itu, kehadiran Audrey itu ada, tetapi seperti tidak ada. Disisihkan, tidak diajak kalau mengadakan acara makan, dan lainnya. Kita harus bicara sama mereka!“ ujar Lia dengan suara lantang, sambil bangun dari berbaring.

Audrey menggeleng cepat. “Tidak perlu, Bu. Bagiku, yang penting Mas Edwin selalu menghargaiku sebagai istrinya. Itu sudah lebih dari cukup. Kalau Mama dan Papa, atau kakak-kakak ipar, sih, biarkan saja. Toh, beda rumah. Makanya, supaya mentalku tetap sehat, aku memilih untuk tinggal di sini. Cerita yang tadi, hanya supaya Bapak dan Ibu tidak terus bertanya, mengapa kedua mertuaku tak menjenguk ke sini sama sekali.“

Lia memeluk Audrey dengan erat. “Sabar, Nak. Di sini, kamu punya Bapak dan Ibu yang selalu mendukung dan menyayangimu. Jelas saja, Zofia dan Juna tidak datang ke sini. Peduli sama kamu aja enggak!"

“Sudah. Sudah, Bu. Audrey saja bisa sabar. Kita sebagai orang tua pun tak boleh bersikap anarkis. Yang penting, rumah tangganya dengan Edwin, baik-baik saja.“ Fandi memberi saran pada istrinya.

Audrey dan Ibunya saling melepaskan pelukan. Mereka pun tersenyum, karena diberikan keluarga bahagia meskipun kehidupannya sederhana.

**

Sore hari pun tiba. Pulang dari kantor, Edwin langsung melajukan mobil menuju rumah. Rasanya, dia tak sabar untuk bertemu Dianti. Jalanan yang cukup macet membuatnya jengah.

Waktu terus berlalu, Edwin sampai juga di rumah. Dia langsung melepas sepatunya, dan berganti alas kaki dengan sandal yang ada di teras. Tempat tinggal mertuanya memang sederhana, berdinding kayu dan beralaskan tanah.

“Assalaamu’alaikum,” salamnya sembari masuk.

Fandi dan Lia yang sedang menimang Dianti di ruang tamu, menjawab salamnya.

Raut wajah Edwin yang semula tampak kelelahan, kini berubah cerah. "Assalaamu’alaikum, Sayang. Anak Papa yang paling cantik.“

“Kamu mau gendong Dianti?“ tanya Lia.

“Boleh, Bu,” sahut Edwin, sambil menaruh tas kerjanya di samping kursi yang dia duduki.

Ratmi menyediakan tiga gelas teh hangat ke depan. “Silakan, Tuan, Pak, Bu.“

“Terima kasih, Rat. Jangan lupa, biasa sepatuku, ya!“ pinta Edwin pada Ratmi.

“Siap, Tuan. Hati-hati menggendong Non Dianti, ya!“ Ratmi mengingatkan.

Edwin mengembangkan senyum sambil mencium Dianti yang kini berpindah ke pangkuannya. "Tenang, Rat! Naluri kebapakan saya sudah muncul sejak Dianti berada di dalam rahim istri tercintaku.“

Ratmi hanya geleng-geleng sambil mengembangkan senyum melihat sikap kepedean majikannya. Dia segera mengambil sepatu yang ada di teras untuk dipindahkan ke rak yang ada di belakang rumah.

“Nak, boleh Bapak tanya sesuatu ke kamu?“ tanya Fandi, serius.

“Boleh, Pak. Silakan,” jawab Edwin, melihat raut wajah mertuanya yang berubah.

Fandi menarik napas berat, lalu mengembuskannya kembali. “Apa benar, anak kami tidak dianggap sama keluargamu?“

Senyum Edwin karena melihat putrinya pun hilang, berganti dengan raut muka serius. “Apa Audrey sudah cerita, Pak?“

“Iya. Sudah cerita semua. Jawab pertanyaan Bapak!“ perintah Fandi, tegas.

“Ya, begitulah, Pak. Saya sendiri juga heran mengapa Mama-Papa dan kakak-kakak saya mencampakkan Audrey, padahal dia itu baik, salehah, dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Namun, mereka tidak menganggap Audrey ada. Meskipun begitu, saya tetap mencintainya, dan akan mempertahankan rumah tangga ini, apa pun risikonya,” sahut Edwin, yakin.

Lia menimpali, “Sebenarnya dari awal Ibu sudah menduga hal ini akan terjadi. Anak yang aku sayang dan kami rawat dengan baik, dihinakan begitu saja oleh keluargamu! Betapa sakit hati Ibu, Nak Edwin! Sampai-sampai, tadi Ibu sempat pingsan mendengar semua cerita Audrey.“

“Ma-maafkan aku, Ibu. Semua ini di luar kendali saya. Saya sudah memohon-mohon pada Papa dan Mama, juga terus membujuk kakak supaya memperlakukan Audrey layaknya keluarga. Namun, mereka tetap acuh tak acuh,” jelas Edwin, dengan suara memelas.

Fandi mengembuskan napas panjang. “Ya sudah. Semoga ini semua cepat berlalu. Yang penting, kamu tetap di sisi Audrey, apa pun yang terjadi. Jangan tinggalkan dia di saat-saat terpuruk seperti ini!“

Edwin mengangguk mantap. “Baik, Pak. Insyaa Allaah, saya selalu siap mendampingi Audrey, juga Dianti. Makanya, saya menurut saja saat dia mengajak untuk menginap di sini, supaya hatinya lebih tenang.“

Tanpa mereka sadari, Audrey mengintip dari balik pintu ruang makan, sambil menitikkan air mata. Sebenarnya dia malu pada orang tuanya, karena terpaksa menceritakan permasalahan rumah tangganya, sekaligus sedih harus bernasib seperti ini. Perbedaan kasta yang begitu mencolok, membuat Audrey harus menelan pahitnya keadaan. Namun, dia juga bersyukur memiliki Edwin yang sangat mencintainya, apalagi sekarang ada Dianti.

**

Keesokan harinya, saat semua selesai melaksanakan Salat Subuh, Audrey mengecek pakaian kotor milik suaminya, untuk ditaruh di tempat cucian. Fandi dan Lia beranjak ke sawah, karena mereka memang seorang petani. Edwin mengasuh Dianti yang baru saja terbangun, lalu di bawa ke ruang tengah. Ratmi sedang menunaikan kewajiban dua rakaat di kamarnya.

“Kemejanya ganti yang lain, kalau jas masih bersih,” gumam Audrey seraya mengambil baju-baju itu dari gantungan belakang pintu.

Gerakan tangan Audrey terhenti saat indra penciumannya menangkap bau parfum wanita yang menyengat, dari jas Edwin di bagian punggung. Dia segera membaunya.

“Kayak nggak biasa. Baunya bukan seperti parfum Mas Edwin. Kayak parfumku yang dulu banget,” katanya, mengerutkan dahi.

Audrey melangkah ke belakang, menaruh semua baju kotor di tempat cucian, menyisakan jas hitam milik Edwin. Dia merentangkan benda itu, membolak-balik, dan menciumnya satu per satu bagian. Tak ada yang luput. Jantungnya mulai berdebar cepat. Tangannya mengecek semua kantong, dan menemukan sebuah anting.

“Anting? Anting siapa ini? Kenapa cuma sebelah?“ tanyanya sendiri, sambil mengamati anting berlian itu di telapak tangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status