Share

Minta Uang

last update Last Updated: 2023-10-20 15:07:45

Mas Haris muncul di balik pintu. Jadi, dia mendobrak pintu rumahnya sendiri. Miskin akhlak memang.

"Dek, ngomong apa kamu sama ibu?" Baru saja sepiring nasi goreng gila ekstra pedas kuhabiskan, Mas Haris datang dengan wajah geramnya. Bahkan, piring bekasnya pun belum aku cuci. Niat hati mau nambah lagi, kuurungkan. Mendadak nafsu makan ini lenyap. Padahal, aku berencana menghabiskannya. Sayang 'kan, kalau sampai terbuang sia-sia.

"Jangan marah-marah, Mas," ucapku sambil berlalu meletakan piring kotor ke wastafel.

"Kamu ngomong apa tadi, sama ibu?" Dia semakin geram.

Aku mencuci tangan lalu mengelapnya.

"Rin...." Mas Haris geram karena aku tak kunjung menjawab. Toh, aku jawab juga pasti disalahkan, lebih baik diam saja.

"Kamu dengar aku enggak, sih?" bentaknya lebih keras lagi.

"Kamu bentak aku, Mas?" Aku tersenyum miring.

Lelaki bergelar suamiku kini mulai bisa membentakku. Aku mencoba menguatkan hati, meski ada yang tersayat sembilu.

"Dek, tadi kamu ngomong apa sama ibu dan Suci. Mas cuma mau tau aja." Kini nadanya mulai lembut. Entahlah dia tulus atau terpaksa, tapi, jauh di dalam matanya ada penyesalan.

"Enggak ngomong apa-apa kok, Mas. Emang ibumu bilang apa?" tanyaku setenang mungkin. Aku sudah bosan menghadapinya dengan emosi, karena membuang tenaga saja.

"Tadi Ibuk sama Suci nangis begitu sampai rumah, pastilah kamu bilang yang gak-gak sampai nyakitin hati mereka."

Deg!

Ada yang menghujam hatiku.

"Oh, jadi mereka mengadu?"

"Berarti benar 'kan, apa yang mereka bilang?" Nada bicaranya mulai meninggi lagi.

"Kamu mau percaya ucapanku atau mereka?"

"Jelas aku percaya sama Ibuku. Ibu tidak akan pernah berbohong. Ibu itu selalu benar."

Selalu benar dia bilang? Apa telingaku sudah konslet?

"Justru, di sini aku yang merasa tersakiti, Mas." Aku membela diri. Nyatanya di sini aku yang terdholimi. Ibu dan Suci yang memutar balikan fakta bahwa aku menyakiti mereka.

"Tersakiti dari mana? Jangan sok polos kamu!" Telunjuknya mengarah ke wajahku.

Kutepis tangannya. Ada yang nyeri di dalam sini.Baru kali ini ada yang menunjuk-nunjuk wajahku. Dia, lelaki yang bergelar suamiku.

"Kenapa sekarang kamu tega sama aku, Mas. Aku ini istrimu. Apa aku salah kalau mengingatkan kewajibanmu menafkahiku?" Makan hati memang jika menghadapi suami macam dia.

"Apa kamu pikir selama ini aku tidak memberimu nafkah, hah?" Dia tak kalah emosi.

"Kamu memang selalu memberi nafkah, Mas. Tapi kamu tidak bisa mencukupi kebutuhanku Mas. Sementara uang gajimu kamu berikan ke ibumu lebih banyak daripada untukku. Kamu tidak adil, Mas." Aku tak kalah emosi.

Siapapun akan emosi jika mempunyai suami seperti Mas Haris. Uang gaji seharusnya istri yang mengatur, bukan ibu mertua.

"Bahkan, sekarang kamu meminta semua uangku untuk kepentinganmu sendiri." Dadaku naik turun menahan emosi.

"Kamu memang pintar berkilah, Rin."

"Berkilah, kamu bilang, Mas?" Aku tersenyum mengejek. "kalau aku cerita yang sesungguhnya, apa Mas juga akan percaya?"

"Sudahlah, Rin. Kamu jangan berkelit lagi." Mas Haris meninggalkanku begitu saja. Dia berlalu menuju kamar.

Brak!

Aku tersentak. Aku memegang dada dengan jantung berdegup tak karuan. Serasa jantung ini mau lompat dari tempatnya. Mas Haris membanting pintu kamar. Begitulah dia, ketika marah akan membanting barang untuk meluapkan emosinya. Seakan barang-barang di depan matanya, ikut membuat kesalahan.

Aku sudah bosan menangis. Buat apa menangisi orang sepertinya. Hatiku sudah beku dengan kelakuannya. Entah apa yang mengubahnya jadi seperti ini.

Dulu, dia tidak terlalu perhitungan masalah uang. Meskipun, uang yang diberikannya hanya sekedar cukup untuk belanja, namun sikapnya tak pernah kasar terhadapku. Bahkan, aku juga dengan suka rela mengeluarkan hasil keringatku untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Namun, akhir-akhir ini dia jadi sering uring-uringan masalah keuangan.

Aku berlalu ke ruang televisi. Biasanya, aku selalu membujuknya kala ia marah. Namun kali ini aku sudah bosan. Aku bosan dengan sikap kekanak-kanakannya. Semua masalah selalu dihadapi dengan emosi.

*****

"Sarapan dulu, sudah aku buatkan nasi goreng," ucapku sewot. Biar bagaimanapun, aku juga masih punya perasaan. Aku masih menghormatinya sebagai suami. Padahal, kalau dipikir, hatiku masih kesal dengan sikapnya semalam.

"Nasi goreng lagi?" Refleks kuhentikan suapanku.

"Lagi?" Sengaja kutekankan ucapanku.

"Bosan aku makan nasi goreng tiap pagi," ucapnya berlalu meninggalkanku.

Kuhentikan aktivitas mengunyahku. Kuletakkan sendok, padahal masih ada setengah piring lagi. Selera makanku mendadak hilang.

"Bahan masakan di kulkas banyak yang habis." Aku menanggapinya datar.

"Ya kamu belanjalah, bosan aku sarapan nasi goreng terus. Sekali-kali masak daging!"

"Daging, Mas?" Mulutku sampai menganga tak percaya. Untung saja enggak ada lalat masuk.

Masak daging dia bilang. Tak bisa berpikir kah orang satu ini, harga daging itu mahal. Sedangkan, uang belanja yang dia kasih saja, hanya cukup untuk makan tahu dan tempe.

"Beri aku uang, biar bisa masak daging." Aku tak mau kalah. "Kamu hari ini gajian juga 'kan, Mas. Nanti antar aku beli daging, ya!" Aku tersenyum mengejek.

Aku sekarang harus bisa tega. Bukan berniat mau melawan suami, namun, aku juga mempunyai harga diri.

"Hem." Mas Haris menjawab malas.

Akhirnya dia menyantap juga masakanku, karena memang hanya masak nasi goreng yang tersaji pagi ini. Sebenarnya, bisa saja memasak daging, namun sekarang, aku malas untuk mengeluarkan uangku untuk urusan dapur.

Setelah semua selesai, aku bersiap pergi mengajar. Sekolah tempatku mengajar tidaklah terlalu jauh, sekitar lima belas menit perjalanan.

Kukeluarkan motor kesayanganku. Hadiah dari bapak waktu aku wisuda dulu. Sementara memanaskan mesin, aku berlalu ke dalam mengambil tas lalu memakai sepatu.

"Tunggu, Rin. Aku minta duit dulu, buat beli bensin!" Mas Haris setengah berteriak.

Aku mendadak berhenti. Memastikan apa aku tidak salah dengar.

"Apa, Mas, bensin?"

"Iya, aku sudah gak ada uang. Tadi malam sudah kuberikan sama Ibu," ucapnya tanpa rasa malu.

"Minta saja sana, sama ibumu!"

Kulajukan motorku meninggalkan Mas Haris yang melongo.

"Syukurin." Aku bersorak dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Fitnah

    "Kenapa lagi?" tanyaku."Nanti malam, aku ke rumah ya, sama mama dan papa?" tanyanya setengah memaksa."Dalam rangka apa? Bukankah sudah kubilang, jangan temui aku dulu, sebelum hakim ketuk palu," ucapku semakin grogi, tapi juga senang. "Aku ingin, orang tua kita tahu, kalau aku serius denganmu. Boleh, ya?" "Kamu nanya, atau maksa?" ejekku geram, namun hatiku sungguh berbunga-bunga. "Pokoknya, nanti habis Isya, aku ke sana. Mama juga sudah kangen sama kamu, katanya." Aku senyum-senyum sendiri, merasakan bunga-bunga bermekaran di hati. Seumur-umur, belum pernah aku mendengar kata rindu dari mertua. Ah, aku sudah berlebihan, menyebut mama Ibas, sebagai mertua. "Yuk buruan, aku sebentar lagi ada meeting!" Ajaknya, setelah membayar di kasir."Bas, apa mamamu sudah tahu, kalau aku ...," ucapku terjeda."Sudah ribuan kali kubilang, aku tidak mempermasalahkan statusmu. Jadi kumohon, jangan bahas ini lagi. Aku mencintai dan menyayangimu apa adanya." Ucapnya seraya memandangku lekat, bah

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Dilamar

    "Halo, Alvin ...!"TutPanggilan terputus. Dasar bocah, belum selesai bicara, sudah dimatikan. Ada masalah apa, sebenarnya? Apa jangan-jangan, niatnya sudah diketahui Ibuk mertua."Kenapa dimatikan, kan belum selesai bicara?" semburku begitu Alvin angkat telpon."Anu, Mbak, pulsaku habis," jawabnya malu-malu, membuatku ingin tertawa. Mau tertawa tapi kasihan, akhirnya aku tertawa dalam hati. "Oh ya, bagaimana dengan BPKBnya?" cecarku tak sabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa mengambil BPKB itu. "Katanya Suci, BPKB dibawa Ibunya, dan gak tahu disimpan di mana."Huft. Aku menghembuskan nafas kecewa. Kalau barang dibawa Ibuk, pasti akan sangat susah didapat. Aku harus memutar otak, bagaimana caranya mendapatkan BPKBnya."Terus, kamu gak berusaha lebih gitu, misalnya merayu Suci kah, agar bisa ambil BPKBnya?" "Merayu gimana, Mbak?" tanya Alvin polos."Haduh, kamu pernah pacaran gak sih sebelumnya? Masa merayu saja gak bisa. Sadar Vin, kamu itu hanya dimanfaatkan Suci!" Ucapku geram,

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Balas Dendam

    "Astaghfirullah!" aku menutup mulut tak percaya.Haris dan wanitanya, melaju kencang, saat lampu masih merah. Sedangkan dari arah kiri, ada juga motor yang sedang melaju. Alhasil, untuk menghindari tabrakan, Haris malah menabrak tiang listrik yang, tak salah apa-apa. Aku begitu shok, melihat Haris kecelakaan tunggal, yang melibatkan tiang listrik. Beberapa orang berkerumun, aku ikut mendekat, setelah lampu berganti warna hijau."Makanya, Mas, kalau masih lampu merah, jangan ngebut. Untung yang ditabrak tiang listrik," suara sumbang seseorang, sambil membantunya berdiri."Makanya, jangan pacaran di jalan!" Entah suara siapa lagi itu, aku tidak begitu peduli."Kalau nabrak kasur mah enak, lah ini malah tiang listrik," kelakar sesebapak, mengundang tawa orang lain.Kulihat, mereka berdua selamat, hanya lecet sedikit. Motornya pun, tidak ada kerusakan yang berarti, hanya bagian depan, yang pecah."Lain kali, hati-hati. Aku duluan," pamitku, setelah berhasil menyibak kerumunan Kupastikan

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Kerja Sama

    "Aha, aku ada ide."Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang melintas di otakku, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membayangkan, betapa sakitnya Suci, kalau ideku berhasil. Bahkan, bukan hanya Suci, seluruh keluarganya pun, akan merasakan. "Kenapa kamu?" tanya Ibas mengagetkanku. "Apa, sih. Orang lagi berpikir, malah diganggu, jadi ambyar kan!" sungutku. Tak lama, mobil sudah memasuki kawasan Pengadilan Agama. Kulirik jam tangan, sudah lewat dari jam sebelas. "Maaf ya, aku gak bisa nganter ke dalam." Ibas tampak sibuk dengan gawainya. "Iya, gak masalah. Betewe, terima kasih sudah diantar," biar bagaimanapun, aku tidak enak, kalau merepotkannya terus menerus."Pulangnya nanti gimana? Atau biar dijemput Alvin?" usulnya."Kalau gak merepotkan.""Baik, biar dia yang jemput. Aku pergi dulu, ya. Maaf gak bisa nemenin," pamitnya.Perlahan, mobil Ibas sudah meninggalkanku, yang mematung seorang diri, di tempat parkir. **Aku keluar dari gedung ini, tepat tengah hari. Aku celingukan, mencari k

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Profesi Alvin

    Marah, jengkel, kecewa melebur jadi satu. Aku merutuki ban yang bocor, tanpa kompromi. Dengan terpaksa aku mendorong motor, mencari bengkel yang ada. Banyak orang lalu lalang, namun tak ada yang peduli denganku. Apakah benar-benar sudah krisis, rasa kemanusian di abad ini, sampai ada seorang wanita yang kesusahan, dibiarkan saja.TiinAku terlonjak kaget, ketika klakson mobil hitam mengkilat, berbunyi nyaring tepat di sampingku. Kalau dipikir, aku sudah berjalan di pinggir, tapi kenapa masih diklakson. Sepertinya, memang pengendara mobil ini sengaja, mengagetkanku."Gak punya akhlak!" rutukku kesal.Aku kembali melanjutkan mendorong motor, yang kurasa semakin berat. Ditambah, matahari siang ini, terasa begitu menyengat. Peluh sudah dari tadi membanjiri dahi, melewati pipi, dan hampir jatuh lewat daguku. Ujung jilbab, kujadikan sebagai lap keringat, karena tidak ada stok tisu di dalam tas.Namun, ada yang aneh, mobil ini seakan mengikutiku. Dari tadi, tidak juga melambung, malah melaju

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Tidak Akan Bercerai

    Kami kompak berhenti, saat Haris bilang tidak akan menceraikanku. Apa aku takut? Tidak. Aku tahu, dia hanya menggertak saja. "Aku yang akan menggugatmu!" Ancamku tidak main-main."Semua keputusan ada di tanganku, kalau aku bilang tidak, hakim tidak akan menyetujui gugatan ceraimu," ucapnya pongah. "Hem, kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang," aku tersenyum mengejek, lalu pergi meninggalkannya. Tak ada gunanya juga, lama-lama di sini.Mungkin dikira aku takut, kalau tidak bisa bercerai dengannya. Pikirannya sungguh sempit sekali. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah pergi, diikuti Paklik dan Bulik. Terlihat, Ibuk masih mengomel tak jelas, sampai mobil yang kami naiki, meninggalkan halaman rumah Haris. Tak butuh waktu lama, kami sampai rumah. Jalanan memang sedikit lengang, karena ini hari libur. Aku dan Bulik bergegas turun, sementara Ibuk, langsung keluar, begitu mendengar deru mesin mobil, berhenti."Banyak sekali, Nduk?" Ibuk keheranan, melihat barang hampir satu pick up

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Ikhlaskan Uangmu

    "Astaghfirullah, Ibuk!" Aku terkejut, melihat Ibuk limbung ke lantai. Suci dan Haris, sibuk mengangkat tubuh Ibuk yang bongsor. Mereka terlihat sangat kewalahan, karena tenaganya tidak seimbang. "Bulik, Ibuk pingsan," teriakku panik, di ambang pintu.Semua yang ada di rumah ini, langsung menuju kamar. Mereka berbondong-bondong, melihat keadaan Ibuk. "Nduk, tolong ambilkan minyak kayu putih!" perintah Bulik dengan nada cemas.Aku pun bergegas mencarinya, di tempat biasa aku meletakan. Meskipun hatiku masih sakit, atas ucapan Ibuk, namun aku juga masih punya hati. Biar bagaimanapun, sisi kemanusiaanku terketuk."Lama amat sih, Mbak," sungut Suci.Andai saja tidak dalam kondisi begini, sudah kujitak, kepalanya dari tadi. Mulutnya luwes sekali, kalau untuk mencari kesalahan orang lain. "Haris ..., Suci ...," ucap Ibuk pelan.Akhirnya beliau sadar juga, setelah Haris memberikan minyak kayu putih, tepat di bawah hidungnya."Ibuk mau minum?" tanya Haris. Dia begitu perhatian pada Ibunya.

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Maling

    "Eh ...eh ..., kenapa perabotan anakku di maling?" Suara khas yang sangat kukenal, tiba-tiba masuk, diikuti anak perempuannya. Sontak, Bulik menghentikan aktivitasnya. "Rin, kamu cerai, mah, cerai aja, gak usah bawa-bawa barang anak saya!" cerocos Ibu mertua.Aku yang sudah kebal, tak terlalu menggubrisnya. Namun, Bulik terlihat agak takut, terlihat dari wajahnya, yang mulai pias."Nduk, bagaimana, ini?" tanya Bulik lirih. Aura ketakutan jelas sekali nampak dari wajahnya."Tenang Bulik, ada Rini." Aku mencoba menghiburnya, walau hatiku juga tidak tenang."Rin, jangan kurang ajar. Sudah minta cerai, sekarang malah maling di rumah suaminya," hardiknya."Iya, nih, Mbak. Jangan bikij malu!" Suci ikut menambahi.Seketika, aku begitu marah. Kuhentikan aktivitasku, lalu melangkah ke depan. Kuhampiri mereka berdua, dengan tangan masih memegang spatula. "Maaf Ibuk mertua yang terhormat, tolong disaring dulu, kalau mau berbicara. Anda sebagai orang tua, tentunya tahu, mana yang baik dan tidak

  • Aku Bosan Menjadi Istrimu   Penggantiku

    Setelah semua selesai, kami akhirnya memutuskan pulang. Kasihan juga Ibuk, kalau lama-lama di luar, terkena angin malam. Udang asam manis, yang belum habis tadi, jadi kami bungkus. Sesuai janji, Ibas yang membayarkan semuanya. Setelah membayar, kami beriringan menuju mobil Ibas, yang berjejer dengan mobil-mobil pengunjung lainnya. Pulangnya, kami lebih banyak diam, terutama aku, mungkin efek kekenyangan. Semuanya hening, larut dalam pikirannya masing-masing. "Gak mau turun?" Ibas membangunkanku. Ternyata tadi aku ketiduran, efek kekenyangan, mata juga ikut kelelahan."Mau kemana, kita?" kukucek mata, saat menoleh ke belakang, Ibuk sudah tidak ada."Ke rumah, lah, kemana lagi? Mau diajak ke pelaminan sekalian?" tanyanya seraya tersenyum mengejek. "Apaan sih, gak lucu tahu," sungutku kesal. Orang tanya serius, malah diajak bercanda.Dengan menahan kantuk, akhirnya aku ikut turun, setelah pintu dibukakan oleh Ibas."Kenapa gak bilang dari tadi, kalau sudah sampe rumah?" aku menoyor ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status