Share

Mengadu

"Rin, di mana kamu?" Suara Ibu mertua memanggil.

Kulepas mukena merah marun yang dibelikan Mas Haris. Ini adalah satu-satunya hadiah yang dia berikan selama tiga tahun pernikahan kami.

Kubuka pintu kamar, kulihat ibu mertua dan Suci, adik satu-satunya Mas Haris tengah duduk di ruang tamu dengan pongah.

"Iya, Bu." Kucium tangan Ibu mertua. Biar bagaimanapun, aku harus menghormatinya sebagai mertua.

"Kamu enggak ikhlas, Haris memberiku uang?" tanya ibu tanpa basa-basi.

Aku menghela nafas. Benar, 'kan, dugaanku, kalau Mas Haris mengadu lagi kepada ibunya. Begitulah Mas Haris, tiap ada masalah rumah tangga, selalu mengadu. Tak bisakah dia menyelesaikan sendiri?

"Kamu, nih Mbak, jangan pelit jadi orang, nanti rejekimu seret, lho." Suci menasihatiku. Ipar yang satu ini, memang enggak ada akhlak Enggak ada sopan-sopannya sama yang lebih tua.

"Maksudnya apa, ya, Buk?" Aku berpura-pura tak mengerti.

"Enggak usah sok polos deh, Mbak!" Tuh kan, mulutnya, pengen tak hiiih.

"Tadi Haris ke rumah, bilang kalau kamu ungkit-ungkit uang yang diberikan pada ibuk. Benar begitu?" Ibu mertua menyelidik.

Sebelum menjawab pertanyaan beliau, kuraup oksigen sebanyak mungkin, demi meredam amarah yang sudah membuncah. Aku tak mau sampai lepas kendali.

"Rini bukan mengungkit, Buk, hanya mengingatkan Mas Haris kalau aku juga berhak atas gajinya. Saya hanya mengingatkan, takutnya Mas Haris lupa kalau mempunyai kewajiban menafkahiku," ucapku setenang mungkin, padahal hatiku bergemuruh hebat.

"Kan kamu juga kerja, buat apa uangmu kalau tak dipakai?"

Aku menghela nafas sejenak, menetralkan emosiku kembali. Tidak mudah memang menjelaskannya. Jangan sampai aku meledak-ledak menghadapi mereka berdua. Aku harus bersikap setenang mungkin, agar mereka semakin jengkel.

"Meskipun saya bekerja, bukan berarti Mas Haris melepas kewajibannya memberi nafkah, Bu. Sudah menjadi kewajiban anak Ibu, untuk memberiku nafkah lahir dan batin. Kalaupun aku bekerja, Mas Haris tidak berhak atas uangku. Uang istri, suami tidak berhak memintanya, kecuali istri dengan suka rela memberikannya."

Ibuk dan Suci menyeringai kecut, sepertinya mereka tidak bisa menerima jawabanku.

"Gajimu itu banyak, lho, tanpa Haris memberikan uangnya, toh kebutuhan kalian juga tercukupi."

"Mas Haris memintaku menabung semua uang hasil keringatku, Bu. Sementara aku juga punya kebutuhan lain. Bukankah, uang istri, suami tidak berhak mencampurinya?"

"Betul kata Haris, harusnya kamu itu jadi istri yang cerdas dan hemat, menabung. Bukannya menghabiskan uang suami."

"Menghabiskan uang suami?" Aku melipat kening.

"Kamu pake acara beli skincare segala, apa itu tidak menghabiskan uang suami. Kamu itu seharusnya bisa lebih hemat, bukannya malah menghambur-hamburkan uang!"

"Kurang hemat bagaimana aku selama ini, Bu? Gaji yang diberikan mas Haris jauh dari kata cukup. Bahkan, urusan perut, aku yang menutupi, Bu.l"

Aku akhirnya berkata jujur. Selama ini, aku berusaha menutupi semuanya. Mas Haris hanya memberiku jatah uang belanja satu juta untuk satu bulan. Kurang hemat bagaimana aku?

"Kamu jadi istri enggak ada bersyukurnya. Kamu juga melarang suamimu berbakti pada ibunya, durhaka kamu."

Glegar!

Pedas sekali ucapan ibu mertuaku ini. Apa dia hobinya ngemil cabe?

"Maaf Ibu, saya durhaka bagaimana, ya? Selama ini saya sudah cukup bersabar dengan sikap anak Ibu itu." Akhirnya aku kehilangan kesabaran. Darahku mendidih sampai ke ubun-ubun.

"Kok kamu gak sopan bicara sama ibu, Mbak?" ucap Suci.

"Gak sopan di bagian, mana, ya? Apa kalian ke rumahku maghrib begini, juga sopan? Apa bicara kalian juga sopan dari tadi?" Aku jengah dengan mereka berdua. Aku sudah mencoba bersabar, namun semakin aku mengalah, mereka semakin semena-mena.

"Sudahlah, Rin. Jangan cari topik lain. Ibu kesini cuma mau kasih tau kamu, jangan pernah menghalangi Haris untuk memberi uang ke ibu dan Suci." Ibuk berdiri lalu pergi di susul Suci tanpa pamit.

"Aku tidak pernah menghalangi kok, Bu, hanya mengingatkan saja."

Ibu dan Suci menghentakan kaki sambil melenggang pergi. Minim akhlak memang.

"Hem, ada yang lupa salam. Apa perlu aku ajarin adab bertamu?" Aku nyeletuk.

"Aku pulang, malas lama-lama di rumah ini. Assalamualaikum," ucap Ibuk sewot.

"Wa alaikum salam, hati-hati, ya."

Setelah kepergian mereka, kututup pintu dan menuju dapur. Kulampiaskan kemarahanku dengan banyak makan. Ketika banyak masalah, aku memang sering merasa lapar. Untungnya badanku tidak membengkak meski banyak makan.

Brakk!

Suara pintu dibanting.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status