Share

Bab 06 - Pingsan

Author: AnnaHN
last update Last Updated: 2024-03-01 11:54:21

Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring.

Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda.

"Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar.

"Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku.

"Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar memeluk Mas Haikal.

"Dasar!" Mas Haikal mengacak-acak gemas pucuk kepala Rania. "Kamu mau ngapain ke sini?"

"Pasti mau nanyain ikat rambut," tebakku dalam hati. Akan tetapi, sayangnya dugaanku salah. Rania datang untuk meminta Mas Haikal menemaninya ke Puncak.

"Acara kampus, ya?" tanya Mas Haikal kepada Rania.

Gadis itu menggeleng. "Reouni SMA, Mas," sahutnya, kemudian mengangkat wajah dan melihat ke arahku dengan mata melebar seolah baru menyadari ada orang lain selain mereka berdua di sini.

"Hai, Kak Gita!" sapanya riang dan berjalan mendekat padaku sambil merentangkan tangan. Aku spontan menyambut kedatangannya, lalu melakukan pelukan singkat dengan senyumku yang ikut mengembang. Ekor mataku tak sengaja menangkap gerakan samar Mas Haikal tengah melirik sekaligus tersenyum kecil ke arah kami berdua.

Tetapi hal itu tak berlangsung lama, saat mataku dan matanya tak sengaja bertemu. Lantas ia pun megalihkan lagi pandangannya pada Binar.

"Hai, Ran. Kamu apa kabar?" tanyaku sambil memaksakan senyum. Berbeda dengan senyum Rania yang merekah indah di hadapanku saat ini. Tampak begitu lepas dan berseri.

"Seperti yang Kakak lihat ...," katanya sambil mengedikkan bahu dan merentangkan ujung dressnya, "aku sangat baik, sehat dan bugar!"

"Kok cuma Haikal dan Anggita aja yang dipeluk, Bude dilewatin gitu aja, nih?" Rania melerai diri, kemudian tersenyum tipis dan mendekati Bu Sukma.

"Idih, ceritanya Bude lagi cemburu, nih," balas Rania menimpali guyonan mertuaku. Keduanya tampak begitu dekat dan akrab. Seperti hubungan anak dan ibu.

Rasa iri di hatiku seketika timbul begitu saja. Namun, itu hanya sepintas saja tepat ketika Bu Sukma kembali bersuara dan ditujukan kepadaku.

"Kalau anak lagi ada yang jagain gini tuh mamanya harus sigap dan bisa manfaatin waktu dengan baik, Git. Ibu lihat baju kamu lusuh banget, emangnya gak ada baju lain apa?" kelakarnya sambil beranjak dari sofa dan bediri menghadap ke arahku.

"Ah, iya, Bu. Aku belum sempat, tadi baru selesai ...."

"Untung aja di sini cuma ada keluarga inti, kalau enggak ... pasti udah pada ngusir kamu. Mana mau sampai peluk-peluk seperti yang dilakukan Rania tadi. Lihat dia ...! Rapi, wangi, enak dilihat gitu, lho, Git. Lagian kamu, kan, masih muda. Belum tua-tua am ...."

"Mandi sana, Git!" pekik Mas Haikal memotong pembicaraan ibunya.

Jangan tanyakan keadaan perasaanku saat ini. Bagaimana bisa Bu Sukma membandingkanku dengan gadis belia seperti Rania? Jelas kami tak sama. Sehari-harinya aku hanya mengurus rumah dan cucu kesayangannya. Untuk sekadar minum air putih saja, terkadang aku lupa.

Sementara Rania, ia yang single dan banyak waktu untuk merawat dirinya sendiri tidak akan mengalami hal demikian. Aku yakin gadis itu bahkan bisa menghabiskan seluruh waktunya seharian hanya untuk memoles dan mempercantik diri di salon langganannya.

"Astaghfirullah!" Aku terus beristighfar di dalam hati. Kutundukkan kepala ini, memerhatikan selusuh apa baju yang kukenakan. Dan ... benar kata Bu Sukma, penampilanku begitu kuyu dan kumal. Kaos kebesaran milikku ini bahkan kondisi warnanya sudah memudar, dipadu dengan rok tutu di bawah lutut berwarna hitam yang sedikit basah akibat tadi aku selesai membantu Bi Ratih membersihkan perabotan kotor.

"Gita ..., sana!" Suara Mas Haikal menarik kesadaranku. Namun, aku bahkan tak berani mengangkat wajah dan menatap orang-orang. Aku hanya mengangguk singkat, lalu berbalik badan dan pergi dari sana.

Kutekan dada ini kuat-kuat, menahan sesak yang terus menyebar memenuhinya. Mataku terasa panas, tetapi sekuat hati aku menahannya. Hal seperti ini tak patut aku tangisi, aku harus tegar dan kuat supaya menjadi pribadi yang tak mudah ditindas. Namun, tentu itu tidaklah mudah. Semua hanya di mulut saja. Nyatanya aku tidak sanggup jika terus-menerus diperlakukan seperti ini.

Kutenangkan diri ini sejenak, duduk di tepian tempat tidur memandang ke arah jendela kamar yang terbuka. Semilir angin berembus lembut menyapaku, menyapu pelan bulu mata dan wajahku, seolah ada sepasang tangan halus yang berusaha membelainya. Sontak aku terpejam dan menikmatinya.

"Tak apa, Gita, tak apa. Semua akan baik-baik saja." Mulutku terus bergumam, sambil menyilangkan kedua tangan seakan sedang memeluk diriku sendiri. Ujung jemariku menepuk pelan, berharap bisa mengalirkan ketenangan dan melupakan apa yang baru saja terjadi.

Beberapa menit berlalu, perasaanku telah kembali membaik. Kubuka perlahan kelopak mataku seraya bibir yang membentuk senyuman. Aku terbiasa melakukan hal ini ketika emosiku sedang memuncak, coba mengendalikan diri dengan bermeditasi beberapa saat. Harus kuakui, cara ini cukup ampuh bagiku yang kesehariannya sering mendapat tekanan.

"Aku harus segera mandi," ucapku, baru teringat pada tujuanku ke kamar. Lekas aku menyambar handuk yang tergantung di balik pintu kamar, lalu setengah berlari memasuki kamar mandi.

Sebetylnya, tak jauh berbeda dengan penampilanku sebelumnya. Setelah berias diri seadanya di cermin, aku sadar betul sekeras apa pun berusaha, aku tetaplah Anggita yang lusuh dan jauh dari kata menarik.

"Setidaknya aku jadi jauh lebih segar dan wangi," ucapku menghibur diri. Selesai berbenah diri, aku bergegas meninggalkan kamar. Bersamaan dengan itu, ponsel di saku celana panjang yang kukenakan ini berdering kencang dan menghentikan langkahku, tepat ketika aku kembali menutup pintu.

"Halo, Bu," jawabku cepat. Entah kenapa aku selalu panik jika menerima telepon darinya. Mungkin karena kondisi Ayah yang kian sakit-sakitan, kekhawatiranku pada mereka pun bertambah berkali-kali lipat.

"Neng, kamu bisa pulang sekarang, nggak?"

"Memangnya, ada apa, Bu?" tanyaku cemas.

"Ayah ..., Ayah tadi pingsan."

Tanganku seketika gemetar, seiring ponselku yang terlepas dari tangannya. Beruntung, dengan cepat seseorang menangkapnya.

"Ceroboh!" kata Mas Haikal sambil meletakkan ponsel ke tanganku.

"Mas, tadi Ibu telepon, katanya ...."

"Nanti aja ceritanya, Mas Harus segera berangkat ke Puncak."

Apa lagi ini? Aku bahkan belum selesai menjelaskan, tetapi Mas Haikal langsung pergi begitu saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 11 - Ketahuan

    Malam kian larut, desiran angin dan detik jarum jam berpadu di tengah kesunyian yang menyapa. Aku meringkuk seorang diri, ditemani kegelisahan dan kepiluan yang membuncah di dada. Sisa isakanku sesekali lolos, menelisik ruang hampa dan keheningan suasana. Sudah pukul 11 malam, tetapi baik Mas Haikal maupun kedua mertuaku belum jua tampak kehadirannya. Sebenarnya, ke mana mereka? Tak biasanya tengah malam seperti ini masih berada di luar rumah. Mungkinkah di tempat Rania sedang ada acara? Kuraih gawai yang semula kusimpan di samping bantal, lalu berselancar di dunia maya. Membuka satu per satu akun anggota keluarga suamiku, berharap bisa menemukan jawaban atas cemasku. Pada zaman serba sharing ini, orang-orang cenderung memiliki kebiasaan membagikan segala jenis kegiatan mereka di sosial media, dan Rania adalah salah satu yang memiliki kebiasaan demikian. Akan tetapi, nyatanya aku tidak menemukan apa pun, hanya foto selfie dirinya yang diposting terakhir kali di suatu toko perhias

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 10 - Ternyata Kalian ....

    "Jangan pernah kamu bahas soal Rania lagi! Menjaganya adalah kewajibanku. Dia nggak punya saudara laki-laki, atau ayah yang bisa diandalkannya. Jadi, kamu jangan mengarang cerita hanya berdasarkan kecurigaanmu yang tanpa dasar itu!""Aku bisa aja terus ngalah dari kamu atau pun Ibu, Mas. Tapi, jika ada orang lain yang mengusik rumah tanggaku, aku tidak akan tinggal diam!" Aku hanya bisa mengatakannya di dalam hati, membiarkan suamiku beranggapan bahwa aku telah setuju. Lelah yang mebdera, membuatku malas berdebat. Bukan aku tidak percaya padanya, hanya saja apa yang Rania lakukan sebelumnya telah berhasil mengusikku. Photo yang gadis itu kirim tanpa keterangan sungguh memancing rasa penasaranku, dan aku berencana menyinggungnya ketika dia datang ke rumah. Aku yakin tidak lama lagi dia akan datang."Kamu juga tahu, kan, Git. Mas begini karena sedang merin ....""Tahu, kok. Mas gak perlu khawatir, aku nggak akan salah mengartikan. Bahkan kalau iya pun, aku akan tetap beranggapan seprti

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 09 - Amarah Berujung Pasrah

    Tiga puluh menit terasa jauh lebih lama, apalagi ketika diliputi kecanggungan yang tercipta di antara kami bertiga. Diam-daim aku merutuki situasi tak terduga ini di dalam hati. Bukan kerena aku tidak senang dijemput oleh suamiku, atau tidak menerima niat baik dari Mas Azzam. Namun, mengapa mereka harus datang dalam waktu bersamaan? Meskipun raut wajah kedua laki-laki itu tampak biasa saja di mataku, tetapi dari gerak-gerik Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam dan tak menyapaku menjadi masalah tersendiri bagiku. Seusai Mas Azzam dan Mas Haikal bergantian menemui ayahku di kamarnya, kini keduanya duduk di kursi teras ditemani oleh Ibu. Sementara aku kembali ke dalam rumah dengan alasan kerepotan oleh BInar yang tidak bisa diam."Silakan diminum teh hangatnya, Nak Azzam, Nak Haikal!" Kulihat, Ibu menyodorkan dua gelas minuman hangat di atas meja yang berada di teras, sedangkan aku berdiri kebingungan tak jauh dari pintu. Harus pulang sekarang, atau menunggu interupsi dari Mas Haikal?

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 8 - Pertemuan Mendebarkan

    Hari pertama di rumah orang tuaku cukup membuatku sadar akan perbedaan. Perbedaan ketenangan, ketenteraman, serta kenyamanan diri dalam setiap pergerakan. Kupikir, tekanan yang selama ini melingkupiku pasti sirna, kesedihan yang satu tahun ini menderaku akan otomatis tergantikan dengan kebahagiaan kala aku bersama Ayah dan Ibu. Kenyataannya tidak seperti itu. Alasannya tak lain karena bagaimanapun juga segalanya sudah tak lagi sama. Semalaman aku tak bisa tenang, beberapa kali mengecek ponsel, berharap Mas Haikal akan menghubungiku barang sekali saja. Namun, hingga hari kedua aku di Bandung, gawai berbentuk persegi ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. "Setidaknya kamu nanyain kabar Binar, Mas," gerutuku kesal sembari mencebikkan bibir. Tidak hanya itu saja, potret mesra yang Rania kirimkan pun turut menghantui pikiranku. Dugaan dan kecurgiaanku pada keduanya kian liar entah ke mana.Aku tertelan oleh kekhawatiran dan asumsi-asumsiku sendiri. Semakin dalam hingga tak tentu arah."K

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 07 - Curiga

    Kubiarkan air mata ini mengalir bebas di pipiku, sementara arah pandangku terus tertuju keluar kaca jendela mobil dengan rinai hujan yang berderai lembut tanpa henti. Perjalanan Jakarta—Bandung kali ini mengingatkanku pada masa lalu. Ketika aku bertolak ke Jakarta dengan perasaan cemas yang serupa. Namun, pedih hatiku saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih menyakitkan, hingga membuat kewarasanku hampir hilang karena dihantam kenyataan."Ma ..., huwaaaa!""Huwaaa!"Lamunanku buyar. Rengekan Binar yang tiba-tiba dan sejak tadi tidur pulas di pangkuanku seakan menjadi sebuah peringatan untukku agar berhenti menangis. Kutepuk lembut dada Binar agar kembali terlelap, tetapi sayangnya itu tidak berhasil. Bukannya reda, tangis Binar malah kian menjadi."Ssst ..., Binar Bobo lagi, ya! Perjalanan kita masih jauh, Sayang." Seiring usahaku menenangkan si kecil, sopir travel yang duduk di balik kemudinya sesekali mencuri pandang ke arah kami. Aku yang sadar diperhatikan seperti itu, mulai me

  • Aku Bukan Istri Bayangan   Bab 06 - Pingsan

    Benar apa yang dikatakan Bi Ratih. Sore harinya, Rania datang ke rumah dan memecahkan suasana dengan suaranya yang nyaring. Di usianya yang menginjak angka 20-an, Rania tampak begitu segar dan cantik, tubuh mungil nan berisinya dibalut gaun mini di atas lutut berwarna pink lembut menunjang penampilannya semakin terlihat memesona. Gadis itu berjalan begitu semangat disertai senyumnya yang cerah, sesekali jemari lentiknya memainkan ikatan rambutnya yang dikuncir quda."Kak Haikaaaal, Rania dataaang!" Rania langsung memeluk suamiku dari arah belakang, tangan Mas Haikal refleks merangkul pinggang Rania dengan posisi yang sama. Mas Haikal sedang duduk di atas karpet bersama Binar."Ya ampun, pelan-pelan, Ran. Nanti kamu kepeleset!" peringatnya pelan, Rania tersenyum lebar sambil menempel sempurna di punggung suamiku."Biarin, kan ada Kakak yang nolongin." Rania menjauhkan diri sebentar, lalu memiringkan kepala dan menatap wajah suamiku dari samping dengan kedua tangan yang masih melingkar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status