Napas Sasha tercekat kala ia menatap jenazah adiknya yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit dengan wajah yang tertutup oleh selimut. Dengan langkah yang berat ia mulai mendekat secara perlahan, matanya mulai mengembun kala tangannya yang bergetar berhasil menyingkap selimut yang menutupi wajah ayu dari sang adik. Air mata sudah tak dapat dibendung, dadanya terasa sesak dan tangisnya mulai pecah. Melihat mata yang tertutup itu mengingatkan Sasha akan mata bening yang selalu terpancar ketika melihat kedatangannya. Bibir tipis yang kini memucat itu mengingatkannya akan senyuman manis ketika menyambutnya.Kemarin sebelum Sasha mabuk, ia masih bisa menghubungi kabar sang adik. Namun setelah dia susah menghubungi adiknya, tiba-tiba dia mendapat kabar bahwa adiknya meninggal akibat tabrak lari dari orang yang tak bertanggung jawab. Segera Sasha bergegas ke bandara, ia memilih menaiki pesawat agar cepat sampai menuju Surabaya, tempat adiknya berada.Dan disinilah dia sekarang, berdir
Voice note dari Sasha terus berulang kali diputar oleh Riana setelah ia pulang dari rumah duka. Suara itu terdengar nyaring di dalam ruangan yang hening. Tadi pagi dia segera bergegas pulang ke Surabaya setelah mendengar sahabatnya itu meninggal karena bunuh diri. Langkahnya begitu berat untuk menemui kawannya yang sudah terbaring kaku menjadi mayat. Rasa sesak di dada membuatnya berulang kali mengeluarkan air mata. Semuanya terjadi begitu cepat. Ibunya terbaring koma dan kini sahabatnya meninggal setelah menenggak kopi yang dicampur dengan racun sianida.Riana menatap langit luar melalui jendela kamarnya. Dalam benaknya mempertanyakan pada Tuhan tentang ketidakadilan dalam hidupnya. Mengapa hidupnya penuh rintangan dan cobaan, tidak seperti hidup orang lain yang mulus seperti jalan tol tanpa ada halangan.'Kenapa hidup ini begitu tidak adil untukku?' keluhnya dalam hati.Menurut yang Riana dengar, Sasha tak meninggalkan pesan apapun selain voice note yang dikirimkan untuk Riana, sete
Biji mata Ruslan membulat sempurna saat ia mendapati Stephanie sedang duduk bergelayut manja di sebelah papanya. Meskipun Ruslan tahu bahwa hubungan mereka adalah orangtua dan anak angkat, namun tetap hal yang asing baginya melihat kedekatan keduanya yang tidak biasa."Oh, maaf aku tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu." Ruslan menatap lurus ke arah Stephanie yang terlihat kaget sekaligus bingung dengan situasi ini. Wanita itu terlihat menyisir rambut panjangnya dengan tangan sambil menatap ke arah lain. hal yang sangat Ruslan hapal ketika wanita itu sedang gugup."Tidak apa, apa yang kamu inginkan?" Hendra berusaha bersikap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang. Hendra kembali menghisap puntung rokoknya sembari menatap datar ke arah Ruslan. Ia tak ingin putranya itu mencurigai hubungannya dengan Stephanie, masih belum waktunya bagi Ruslan untuk tahu. Suatu saat Ruslan akan tahu, tapi itu nanti setelah tujuannya memiliki perusahaan keluarga Axel tercapai.Ruslan menggeser pandang
"Bagaimana?" tanya Hendra pada Ruslan yang masih memperhatikan rekaman cctv.Sebenarnya Ruslan sudah pernah melihat rekaman cctv itu, mirip dengan yang dikirimkan oleh Xena. "Apa papa sudah menemukan si pelaku?""Sudah."Kening Ruslan mengernyit. "Secepat itu?""Itu hal yang mudah bagi papa," jawab Hendra dengan enteng."Apa papa yakin? Jika memang Axel yang berada dibalik ini semua, seharusnya dia tak mungkin begitu saja membiarkan papa menangkap pelakunya."Hendra merasa tersinggung. Perkataan Ruslan seolah tengah meragukan kemampuannya. "Apa kau meragukan papamu ini?""Tidak, hanya saja aku merasa ini sedikit aneh." "Ruslan!" bentak Hendra mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Ruslan. "Yang kau butuhkan hanyalah menuruti perintahku. Bukan malah membantah apalagi meragukan kemampuanku!""Maaf, pa. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya takut jika ini hanyalah jebakan darinya atau suatu hal buruk yang lain."Tatapan Hendra begitu tajam seolah ingin melahap putranya denga
"Kenapa kamu keras kepala sekali? Aku hanya ingin memberimu tumpangan." Axel berusaha melajukan mobilnya pelan, agar sejajar dengan langkah Sofia yang berjalan di trotoar."Saya akan mampir ke tempat lain, jadi maaf saya menolak." Tangan Sofia menggenggam erat tas lengannya, berusaha untuk meyakinkan diri lagi bahwa dia tidak boleh terlena dengan Axel. Perasaannya masih ringkih, sedikit saja mendapat belaian dari seorang pria seperti Axel, maka Sofia akan luluh dengan mudahnya. Dan itu membuat Sofia menjadi takut, takut untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria karena masa lalunya bersama Ruslan yang menyedihkan."Oh, ayolah! Kenapa kamu masih bicara formal? Inikan sudah di luar kantor." Axel gemas dengan kelakuan Sofia yang terus menolaknya. Wanita itu seperti sedang bermain tarik ulur dengan hatinya. Kemarin merayunya, lalu sekarang menolaknya.Sofia menghentikan langkahnya, menatap Axel yang sedang duduk di balik kemudi setirnya dan menghela napasnya panjang. "Baiklah, aku
"Kesalahanmu? Kesalahanmu itu sangat banyak, bahkan sampai esok pun tak akan selesai untuk menjabarkannya!" Reynald menatap Sofia dengan penuh kebencian. Kebenciannya pada Ruslan sangat mendalam, hingga Sofia yang tidak bersalah apa-apa pun menjadi sasaran amuknya, hanya karena Sofia pernah menikah dengan Ruslan.Sia-sia Sofia kesini, berharap mendapatkan hal yang mungkin akan mengubah rasa dendam dihatinya. Sofia datang karena ingin memberi kesempatan pada Riana dan Reynald yang notabene hanya pengikut saja, bukan pelaku utama. Namun ternyata sifat mereka masih sama, membenci Sofia tanpa alasan yang jelas. "Aku akan memaafkan kalian, kalau kalian mengakui kesalahan kalian masing-masing."Riana tertawa mengejek, baginya ucapan Sofia hanyalah lelucon disiang bolong. Ancaman Sofia tak ada apa-apanya dibanding ancaman Stephanie yang terdengar lebih menakutkan. "Daripada kau kesini hanya untuk mengigau, lebih baik kau pulang dan bawa simpananmu pergi!"Tangan Sofia mengepal erat di sampin
Dengan suasana hati yang semakin memburuk, Ruslan terus mengemudikan mobilnya tanpa arah. Ia hanya ingin terus melaju tanpa berpikir hendak kemana tujuannya sekarang. Kepalanya semakin pening dengan serangkaian masalah tak terduga yang semakin menambah setiap harinya. Hingga Ruslan merasa, bisa jadi kepalanya ini akan meledak suatu saat nanti jika kedepannya masih akan ada masalah yang terus berdatangan. Ruslan memukul setir kemudinya dengan keras, mengeratkan giginya dan menggeram rendah. Seharusnya bukan seperti ini yang berada dalam angan-angannya. Seharusnya tak membutuhkan waktu yang lama untuknya, berada diposisi puncak di perusahaan seperti yang diimpikan ibunya. Lalu dia bisa bersenang-senang kembali dengan kedua anaknya, atau mungkin kembali menerima Sofia disisinya. Tapi siapa sangka, jika Sofia sekarang malah berani memukulnya mundur setelah dilepas mentah-mentah olehnya?Seharusnya pula Stephanie berada di belakangnya, selalu mendukung atas setiap langkah yang ia pilih.
Degup jantung Stephanie berdetak lebih kencang setelah dia mendengar kabar Zen kecelakaan. Tangannya terus meremas blouse yang ia kenakan, membuatnya kusut tak karuan. Bibirnya memucat dengan dahi yang penuh dengan keringat."Tenanglah, aku yakin Zen tidak apa-apa." Tangan Hendra yang kiri meremas tangan Stephanie untuk menenangkan. Sedang tangan kanannya fokus untuk memegang setir kemudi. Beruntung jalanan sedikit lengang saat mereka lewat karena memang waktu sudah menunjukkan dini hari. Belum banyak orang-orang yang turun ke jalanan untuk memulai aktivitas. Tadinya mereka sedang dalam perjalanan pulang sehabis bertemu dengan salah satu pengacara, rencananya mereka akan diskusi perihal hukum. Hendra ingin memanipulasi kasus Rianti agar Axel yang nantinya menjadi tersangka. Usaha apapun akan Hendra tempuh, untuk melengserkan Axel dari posisinya sekarang."Tolong dipercepat lagi, Pa. Aku sudah tak sabar ingin melihat keadaan Zen." Sesuai permintaan Stephanie, Hendra pun melajukan mob