Share

Kesalahpahaman

Kutatap menu makanan itu. Segelas susu segar, salad, kentang rebus dan dua lembar roti tawar lengkap dengan pilihan selai, strawbery atau kacang.

“Winda, aku tidak akan kenyang hanya makan ini,” keluhku dengan wajah memohon untuk sekiranya bisa diberikan nasi. Dia membuka buku agendanya, lalu menggeng, “tapi nasi tidak tercatat dalam list sarapan anda pagi ini, Nyonya, maafkan saya,” ucapnya.

Kepala kutundukkan, rasanya mau menangis.

“Tuan Roman tidak akan tahu jika kamu tidak bicara. Ini hanya rahasia kita berdua, aku jamin.” Aku coba bernegosiasi dengan wanita yang ternyata sudah berusia empat puluhan ini, itu yang dia katakan padaku tadi.

Tetap saja dia menggeleng, “Maaf, Nyonya, aku tidak bisa melakukannya.”

“Astagaaaa, apa yang diberi Mas Roman sampai pegawai-pegawainya ini begitu takut dengannya?” aku menggerutu dalam hatiku. Masih dengan mengumpat, aku memakan semua menu yang tersaji itu. Setiap gigitan yang kulakukan kubayangkan itu adalah Mas Roman, kulampiaskan kejengkelanku pada setiap gigitanku.

Sepuluh jam aku mengikuti semua jadwal yang dibuat Mas Roman untukku. Winda pun seperti tidak ada lelahnya bolak-balik mengingatkan aku untuk setiap pergantian jadwal. Memastikan bahwa aku menjalani semua jadwal itu sesuai dengan perintah dan tidak ada yang terlewati.

Makan malam kupilih disiapkan di balkon kamar hotel. Lumayanlah sambil menikmati indahnya pantai di malam hari yang tadi malam hanya bisa kusaksikan sebentar dari balik tirai. Pukul tujuh, aku sudah selesai dengan makan malam.

“Terima kasih atas kerjasama anda, Nyonya. Saya pamit, sebentar lagi Tuan Roman pulang.” Winda keluar dari kamar hotel, meninggalkan aku sendirian masih duduk di balkon dengan menatap ke arah laut yang nyaris tidak terlihat lagi airnya, hanya suara debur ombak yang bisa dengan jelas kudengar. Menandakan bahwa pantai itu masih di tempatnya.

Kulirik layar ponselku, tidak ada sama sekali pesan chat apalagi panggilan dari Mas Roman. Mungkin dia benar-benar tenggelam dengan pekerjaannya hingga lupa jika dia sekarang sudah beristri, dan istrinya itu manusia yang punya hati dan perasaan.

Menatap layar ponsel di mana foto backgroundnya adalah foto keluarga kami, tentu tanpa ada bayang Bapak di situ, aku jadi ingat dengan mereka. Seharian ini aku terlalu tenggelam dengan rasa kesal sehingga lupa menghubungi mereka.

[“Khanza, kamu baik-baik saja? Maaf untuk perkataan Ibu kemarin.”] itu ucapan Ibu bahkan sebelum aku mengucapkan sepatah katapun. Aku tersenyum, terharu dengan keluasan hati Ibu yang selalu saja tahu cara membuatku nyaman.

[“Aku baik, Ibu. Aku yang harusnya minta maaf.”]

[“Tidak, mereka baik-baik saja. Roman menjamu kami dengan sangat baik. Kami disediakan mobil untuk jalan-jalan berkeliling Jogja, hotel yang disediakan juga sangat-sangat nyaman. Baiklah pada suamimu.”] Kalimat Ibu yang terakhir membuat tenggorokanku tercekat, sampai untuk menelan ludah pun aku kesulitan.

“Apakah ini cara dia meminta maaf untuk protes yang kuucapkan padanya kemarin?” aku mencoba menebak-nebak setelah kemarin dia terlihat cuek dengan keluarga besarku.

[“Khanza, kamu masih di situ, Nak?”]

[“Eh, iya, Bu. Aku baru minum,”] ujarku berbohong. Tidak ingin membuat Ibu kepikiran dengan diamku. Ya, begitulah kami berdua, sama-sama sangat sensitif dengan sesuatu yang berhubungan dengan perasaan.

[“Ibu dan yang lain akan pulang kapan?”]

[“Ibu menunggu keputusan yang lain. Mereka masih mau di sini setelah kemarin Roman berpesan pada pegawainya untuk memberi kebebasan sampai kapanpun kami mau di sini.”]

[“Benarkah?”] aku seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ibu. Apa benar Mas Roman seperti itu? Dia orang yang sangat terjadwal.

[“Sejak kapan kamu tidak percaya dengan Ibu? Heehm? Makanya Ibu bilang, baiklah menjaga Roman, dia pria yang baik. Ibu sungguh tidak ingin apa yang terjadi pada Ibu akan terulang padamu. Ibu kira kamu sudah paham bagaimana rasanya kehilangan sosok Bapak.”]

Kutarik napas panjang, “Kenapa Ibu harus mengingatkan masa kelam dan kebencian itu di hatiku? Di saat aku masih saja meragukan kemampuanku untuk kuat menjalani pernikahanku ini.”

Harus kuakui jika sedikit banyak aku terpapar dengan trauma perceraian orangtua, aku sempat tidak percaya dengan mahkluk berjenis pria. Di mataku, mereka semua sama seperti Bapak, mahkluk penakut yang tidak ingin disebut kalah hingga memilih untuk lari.

Memang Mas Roman jauh berbeda, secara ekonomi dia sangat kuat, tidak seperti Bapak yang katanya meninggalkan kami karena mendapatkan wanita yang dapat membuatnya terpenuhi semua kebutuhan hidup. Itulah kenapa aku menyebut ‘pria itu penakut’.

Pembicaraan dengan Ibu terputus ketika kulihat Mas Roman memasuki kamar hotel kami.

[“Maaf, Bu, Mas Roman sudah kembali, nanti kita bicara lagi.”] Langsung kumatikan ponselku dan meletakkannya di atas nakas. Berjalan mendekati Mas Roman dengan kesal yang masih tersimpan rapih gara-gara jadwalnya yang menyiksaku.

Belum sempat aku berbicara dan mengomel, dia sudah duluan meminta bantuan. Meluluhkan hatiku yang sudah siap-siap dengan kalimat-kalimat pedas.

“Khanza, tolong bantu buka jasku,” katanya sambil berbalik badan, menghadapkan punggungnya yang lebar seperti lemari itu ke hadapanku. Aku pun menarik jas itu ke arah belakangnya. Belum sempat aku meletakkan jas itu di sandaran kursi, Mas Roman sudah berbalik badan menghadap aku.

Aku bisa membayangkan bahwa ini akan menjadi tugasku sehari-hari, pagi saat dia akan berangkat kerja, dan sore atau malam saat dia pulang.

“Tolong dasinya,” ucapnya kemudian.

Kedua tanganku terangkat dengan gemetar, aku berada sangat dekat dengannya, bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya meniup rambutku.

“Kenapa dia harus menatapku seperti itu?” gumamku dengan rasa gugup yang mulai kuat menyerang.

Baru saja aku akan menarik dasinya yang sudah terbuka, Mas Roman memegang telapak tanganku dan menciumnya.

“Aku sangat lelah, Khanza,” ungkapnya sambil memejamkan matanya dan dengan terus mencium tanganku. Aku tertegun melihat sisi lain Mas Roman. Ingin mengomentari tetapi aku sendiri bingung akan berkomentar seperti apa.

“Maaf, aku tidak sempat membangunkanmu tadi,” ucapnya kemudian.

“Tidak apa-apa,” ujarku dengan menunduk, merasa bersalah karena sempat berpikir yang tidak-tidak pada suamiku ini.

Tangan Mas Roman kemudian memegang daguku dan mengangkat wajahku untuk bertatapan langsung dengannya. Ini sesuatu yang berbeda, dia pria dengan hati seperti batu es, lalu malam ini dia menjadi sehangat api unggun.

“Apa sebenarnya yang ada di kepalanya? Mungkinkah dia akan meminta layananku malam ini?” mengingat itu membuat jantungku berdegup kencang. Telapak tangan dan kakiku mulai terasa lembab, pori-pori keringat di daerah situ mulai bereaksi. Lututku seperti melemah.

Kupejamkan kedua mataku, begitu wajahnya kulihat semakin mendekat ke wajahku. Yang kubayangkan adalah dia akan menciumku lalu kami akan bergulat di ranjang. Sesuatu yang wajar untuk pasangan yang baru saja menikah.

“Kamu terlihat gugup, Khanza? Ada apa? Apakah pegawaiku melakukan kesalahan?”

Pertanyaan Mas Roman yang benar-benar membuatku ingin mengetok kepalanya. Setelah dia membuatku hanyut dalam impian malam pertama, lalu dia kembali menjadi sosok pria yang menjengkelkan.

“A – aku pikir, kita akan – “

“Ssstt, jangan khawatir. Aku akan menyentuhmu setelah kita mendapatkan hasil pemeriksaan dari dokter spesialis kandungan.”

Pernyataan Mas Roman yang nyaris membuatku pingsan, ups.. bukan, nyaris membuatku mengamuk di depannya.

“Ke dokter kandungan? Untuk apa?” tanyaku dengan emosi. Aku tersinggung berat karena ini.

“Kita perlu memastikan jika kamu – ?

Perkataan Mas Roman langsung kupotong, “Aku apa? Kamu pikir aku wanita yang bisa tidur dengan pria lain selain yang akan jadi suamiku? Kamu pikir meski aku miskin lalu aku akan menjual diriku?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status