Memperhatikan sikapnya yang pasrah, Ikbal pun ikut merebahkan tubuh, mendekat lalu melingkari tangan ke perut Keysha yang kini terbaring membelakanginya."Ngambek, ya?"Keysha menggeliat geli mendengar bisikan dan dibalas dengan gelengan. Ikbal tahu, jika Keysha merasa sesuatu yang tidak mengenakan di hati, dia lebih memilih menghindar dan diam tanpa memberitahu perasaan sesungguhnya."Kalau aku bilang boleh, kamu masih ngambek nggak?"bisiknya lagi.Mendengar kata boleh, seketika membuat mata Keysha berbinar dan tersenyum lebar. Dia mengubah posisi tubuh dan berbalik menghadap suaminya. "Beneran boleh?" Dia memastikan apa yang didengar tadi bukanlah mimpi."Aku nggak bilang boleh. Aku cuma bilang kalau." Ikbal menekan kata kalau."Ih, nge-prank, ya?" Wajah tekuknya dimunculkan lagi sambil mencubit perut Ikbal.Ikbal meringis kesakitan sambil sesekali terkekeh. "Cium dulu dong, nanti aku bolehin." Ikbal mengerlingkan mata dan mengulum senyuman genit.Keysha menangkap tingkah 'nakal' s
Iris mata Keysha bergerak melirik Bastian, tidak memberi tanggapan apa pun lalu kembali menatap ponsel yang ada dalam genggaman. Hatinya bimbang, tidak mungkin menyatakan hal jujur, maksud dia bekerja karena ingin membayar utangnya. Bahkan, dia tidak tahu apa yang akan dipikirkan Bastian tentangnya. Apa dia malah akan menjengkal Ikbal karena menganggapnya tifak sanggup memberi nafkah kepada keluarga."Ma, Kak Keysha masih ...." Terdengar suara di bibir pintu samar-samar lalu suara itu hilang ketika si pemiliknya melihat Keysha dan Bastian di ruang tamu."Eh, ada Mas Bastian." Elina tersenyum segan."Hai, Lin." Bastian menyapanya."Eh, Kak, bentar, ya, jangan pulang dulu, ini aku mau nge-print di depan." "Ih, besok aja. Ini udah sore." Keysha berdiri dan menghampirinya."Enggak bisa, Kak. Besok dosen pembimbingku mau periksa bahan ini. Bentar aja, kok." "Kenapa tadi nggak sekalian, ini udah jam pulangnya Mas Ikbal. Aku belum masak." Suaranya sengaja dipelankan supaya tak terdengar Ba
"Ada apa, Key? Kayaknya ada kabar gembira?" Naila membaca ekspresi riang di rona wajah Keysha."Iya, Ma. Akhirnya ada panggilan interview. Besok." Senyuman terbit di bibir sedari tadi sejak terima kabar dari Linda."Ibu Lita bisa, kan ngasuh Gita?" Keysha mengingatkan Naila."Kemaren dia bilang iya, daripada di rumah nggak ngapa-ngapain." Ibu Lita adalah tetangga berusia 30-an tahun, tetapi belum mempunyai anak. Suaminya meninggal karena kecelakaan. Di rumah, dia tinggal berdua bersama adiknya yang kini jadi buruh cuci komplek sebelah."Ya, sudah, nanti Mama tolong hubungi dia, mastiin lagi, dia mau atau tidak. Aku mau hubungi Mas Ikbal dulu, kasih tahu kabar ini." Baru saja ia hendak mengirim pesan, ada pesan masuk dari Linda. Isinya dia diundang besok pagi jam sembilan untuk mengikuti interview disertai dengan share lokasi. Lalu, Keysha menekan tombol lokasi tersebut."Eh, ini bukannya kantor Mas Ikbal ya?" Keysha membatin, mengernyitkan dahi.***"Key, besok pas diinterview, kamu
"Pak Ikbal, " sapa lelaki berkemeja hitam yang berjalan ke arahnya."Iya, Pak." Refleks Ikbal membalikkan badan dan membalas senyuman lelaki tersebut. Lelaki itu adalah general manager perusahaan."Laporan kemaren yang sudah ditandatangani, boleh dilanjutkan kerjasamanya dengan klien di Bandung karena sudah disetujui atasan." Sang GM menyampaikan maksudnya."Baik, Pak. Nanti segera saya follow up kembali dan lanjutkan proyeknya." ***Butuh satu jam, Keysha menjalankan interview di ruang Linda."Interview kita sampai di sini dulu. Karena Ibu melamar menjadi sekretaris direktur utama di perusahaan kami, jadi Ibu akan kami alihkan ke pak direktur langsung untuk diwawancara lebih lanjut ya, Bu." "Iya, Bu. Kapan saya akan di-interview?" Tangan Keysha terasa dingin, selain karena suhu ruangan itu memang sejuk, juga rasa gugup yang masih menyelimuti hatinya."Sebentar, Bu. Saya coba menghubungi Pak Dirut dulu, kapan beliau bisa melakukan interview kepada Ibu."Linda mengambil gagang telep
Aku, Bastian Prabaswara dijuluki si jenius oleh semua orang yang mengenalku. Gelar sarjana kudapatkan hanya dalam kurun waktu tiga tahun dengan hasil cum laude. Namun sayang, otak encer tidak sebanding dengan kehidupan ekonomi di keluargaku. Aku seorang putra dari ibu seorang pedagang nasi bungkus di pinggir jalan, daerah kampus di mana aku kuliah dulu.Perbedaan status membuatku harus dijengkal oleh orangtua wanita yang aku cintai, terutama Arya Adiwijaya, papa Keysha. Hubungan kami pun ditentang karena status ekonomi.Selain dapat beasiswa di bangku kuliah S1, aku bahkan dapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan S2 di Hitotsubashi University Bussiness School di Jepang. Awalnya, aku menolak tawaran beasiswa tersebut, tetapi keadaan yang memaksaku untuk mengambilnya waktu itu.Dua tahun aku mendapatkan gelar MBA di negara sakura, lalu di sanalah aku bekerja dan bertemu dengan Sir.Hiro, salah satu pembisnis di Jepang. Aku diajak bekerja sama menyalurkan barang elektronik seperti oven,
Bodoh, kenapa aku bisa berpikir dia akan menungguku? Pamit aja, aku enggak. Namun, ini bukan sepenuhnya kesalahanku. Kalau saja kondisi itu tidak terpaksa, aku tidak akan meninggalkan Jakarta.Namun tidak apa, lihat saja, semesta pun seolah memihak kepadaku. Jika tidak dapat info dari Ayu, setidaknya aku bisa mendekati keluarganya. Iya, masih ada Bu Naila dan Elina. Aku jadi tahu alamat rumah setelah aku membantu membawa mamanya ke rumah sakit kala dia pingsan. Namun jujur, bantuan itu ikhlas tanpa pamrih. Bahkan uang perawatan rumah sakit yang sudah aku keluarkan, itu semuanya ikhlas tanpa harus dikembalikan. Aku disambut hangat Bu Naila dan Elina kala aku mengunjunginya. Hidup lebih sederhana dengan rumah yang mereka huni sekarang. Aku masih belum mengetahui keadaan mereka beberapa tahun belakang. Namun, aku sudah tahu kalau papanya sudah meninggal karena sakit.Sampai sore itu, kala aku mengunjungi Bu Naila di rumah sekadar ingin tahu keadaannya, sengaja kubawakan mie ramen untuk
Keysha berusaha membuang muka, tidak ingin melakukan kontak mata terlalu lama dengannya. Dia masih takut memandang wajah yang akan membuat ingatan tentang kenangan masa lalu hadir di pikirannya. Lebih baik menghindar daripada semua akan berakhir runyam.Bastian meraih tangannya tanpa sungkan dan membawa menuju ke sofa empuk ruangan. Entah mengapa, wanita tersebut tidak menolak mengikuti langkahnya. Berhadapan dengan Bastian, tidak kuasa menampik seolah terbius atau terhipnotis."Mulai hari ini, kamu bisa bekerja di sini bersamaku." Bastian mengutarakan niatnya."Aku nggak bilang akan terima pekerjaan ini." Keysha menyahut lalu berdiri hendak keluar dari ruangan. Baru beberapa langkah, kakinya tertahan karena pria berjambang tipis itu mencengkal pergelangan tangannya."Key, kenapa? Bukannya kamu butuh pekerjaan?" Dia tidak terima penolakan karena tak mau usaha membawa Keysha masuk ke kandangnya pun sirna. Niat ingin bersama agar dapat memperbaiki yang telah terjadi."Iya, tapi bukan d
Bukan Keysha tidak mau menyahut, tetapi dia terlalu takut untuk mengakuinya apa yang dirasakan Bastian serupa dengan apa yang dirasakannya. Aroma tubuh lelaki yang sangat nyaman, memanjakan indra penciuman. Bahkan, dentuman jantung Bastian tak beraturan terdengar jelas, membuat Keysha sadar bahwasanya dia juga mempunyai perasaan yang sama. Cinta yang sama seperti saat mereka bersama dulu.Serasa ada magnet yang membuatnya terjerat dan tidak ingin melepaskan. Hanya saja, Keysha memaksakan diri untuk menyudahi karena tiba-tiba bayangan Ikbal dan Gita menari di pikiran. Ada rasa bersalah dalam hati kecil, tak sepantasnya dia terlalu larut dengan perasaan."Bas, aku mau pulang." Terdengar suaranya lirih.Bastian mendengarkan tetapi tak menggubriskan. Dengan mata yang masih terpejam, dia terlihat sangat menikmati momen bersama. Dia berharap, bumi berhenti berputar, biarkan peristiwa ini tidak segera berakhir."Bas!" Keysha memanggil dan menarik diri.Kali ini, Bastian melepaskan pelukan. K