Share

Diusir

"Nad, apa kamu sudah gila?" decihku setelah Nadia membisikan rencananya kepadaku.

"Tidak Nia, aku tidak gila! Aku hanya menyelamatkan kamu dari manusia-manusia rakus itu." Nadia melipat kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum sinis.

Aku tak bergeming. Memijat kepadaku yang tiba-tiba saja berdenyut setelah mendengar rencana Nadia yang sangat berbahaya sekali untuk rumah tanggaku.

"Aku tidak serius memintamu bercerai dengan Adam. Ini hanya untuk membuat efek jera saja, Nia. Jika memang dia mencintai kamu. Maka dia harus menerima segala kekurangan kamu. Bahkan saat kamu tidak memiliki apapun." Sebuah senyum kemenangan tersungging dari kedua sudut bibir Nadia dengan kedua alisnya yang terangkat.

"Hmm ... Ini sulit sekali, Nad!" ucapku ragu.

Bagaimana bisa aku diam di rumah dan bersikap layaknya seorang seorang ibu rumah tangga. Yang ada Mas Adam pasti akan mengusirku dari rumahnya.

Nadia menyambar tas yang berada di atas meja. "Hanya satu bulan Dania, tidak lebih. Ini hanya untuk menguji cinta Adam sama kamu!" beo Nadia yang menghilang di balik pintu kantor.

****

Kuseret langkah kakiku ragu menghampiri ibu dan Mas Adam yang sedang menyantap makan malam. Sekilas Mas Adam melirik ke arah kedatanganku. Sementara ibu, sepertinya dia sudah menebak jika langkah kaki itu adalah langkahku.

"Dari mana, Nia?" tanya Mas Adam padaku yang baru tiba. Terlihat Mas Adam Sedang menyantap nasi bungkus. Begitu juga dengan Ibu. Bibirnya mecucu, pasti karena tidak ada makanan di rumah. Biarin saja, aku sengaja tidak memasak hari ini, memangnya dia pikir aku adalah pembantunya. Seenaknya saja, sementara dia enak-enak kumpul bersama teman-temannya untuk apa, yang pasti untuk menguliti keburukanku.

"Dari kantor Nadia, Mas!" sahutku.

"Lain kali kalau pergi itu masak dulu. Jangan main pergi aja," decih Mas Adam menyudahi makan malamnya.

"Iya Mas!" jawabku.

"Kamu kan di sini sebagai istriku. Jangan samakan seperti Nadia. Dia tuh masih gadis jadi, bebas." Mas Adam memberikan penekanan pada akhir kalimatnya. Sekilas ia melirikku sinis sebelum pergi meninggalkan meja makan.

Aku mendengus berat. Niatku untuk mengambil segelas air putih terpaksa aku urungkan. Rasa haus itu sirna begitu saja.

Kulihat Mas Adam yang bersandar pada ujung ranjang sedang asyik dengan gawainya. Apalagi kalau bukan main game. Aku yang sudah selesai membersihkan diri beringsut duduk mendekati Mas Adam.

"Mas!"

"Hem!"

"Aku mau ngomong!" ucapku memperhatikan lelaki yang memfokuskan tatapannya pada layar ponsel.

"Ngomong aja, Nia!" sahut Mas Adam tanpa menoleh.

"Mas, kemarin ibu minta uang lagi sama aku!"

"Tapi nggak kamu kasih kan?" sela Mas Adam dengan nada ketus. Gerakan tangannya begitu lincah menari di atas layar ponsel.

Aku mendengus berat. "Mas, kan tau sendiri aku sudah tidak menulis lagi. Dan gajiku ..." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Adam mengalihkan tatapan yang menghunus padaku.

"Jangan suka bohong deh, Nia! Bilang saja kamu tidak mau memberikan ibu uang lagi. Ibu sudah cerita semuanya kok!" decih Mas Adam dengan wajah kesal.

'Memang ibu cerita apa?' batinku.

"Memangnya Ibu menceritakan apa sama Mas Adam?" balasku penasaran.

"Semuanya. Jika kamu tidak memiliki uang mengapa kamu memberikan uangmu pada panti asuhan Pak haji. Kamu pikir Mas ngak tau!" decih Mas Adam dengan nada sinis.

"Aku kan sudah menjelaskan semuanya pada Mas Adam, kalau 2,5% dari hasilku menulis akan aku sumbangkan di panti asuhan Pak haji. Kenapa sekarang Abang justru mengungkit-ungkit hal itu," cetusku kesal.

Mas Adam meletakan ponselnya kasar. "Nia, sedekah itu kalau ada uang. Buat mencukupi kebutuhan kita saja masih kurang, ngapain kamu sedekah!" balas Mas Adam sinis.

Aku meradang. "Maaf ya Mas, masalah tanggung jawab itu sebenarnya adalah urusan Mas Adam. Karena aku adalah seorang istr, jadi Mas jangan memprioritaskan aku sebagai tulang punggung. Selama ini aku sudah cukup sabar, Mas! Oh iya, masalah aku beramal itu bukan urusan, Mas. Toh itu hasil jerih payahku sendiri," balasku berkecak pinggang di depan Mas Adam. Aku keluarkan semua sesak yang selama ini menganjal dalam dada.

"Oh, jadi kamu mau hitung-hitungan sekarang?" Rahang Mas Adam mengeras.

"Iya!" sahutku mantap.

Mas Adam mematung, pasti dia tidak menyangka jika aku akan seberani saat ini.

"Jadi kamu tidak ikhlas?" balas Mas Adam.

"Tidak, saya tidak ikhlas!" balasku geram. "Sudah cukup ya Mas menjadikan aku sapi perah di keluarga ini." Dadaku bergemuruh bergerak naik turun.

"Jika kamu tidak mau menjadi sapi perah di sini, pergi saja dari rumah kami. Biar sekalian kamu jadi gembel di jalanan!" decih suara ibu hampir membuat jantungku mencelos keluar.

"Ibu!" Seru Mas Adam pada wanita yang berdiri di ambang pintu kamar. Mas Adam terlihat terkejut.

"Tenang saja Adam, tidak ada gunanya kamu melihara wanita tidak berguna seperti Nia. Wanita yang tidak akan pernah bisa memberikan keturunan!" sinis Ibu.

Rahangku bergemeletuk, sedikitpun aku tidak menoleh ke arah ibu yang berdiri di ambang pintu. Ucapannya bagaikan angin yang meniupkan bara api.

"Baik saya akan pergi, Mas!" decihku menatap tajam pada Mas Adam dan wanita yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Biarkan dia pergi Adam, jangan kamu mencegahnya!" sergah Ibu menaikan nada suaranya.

Lagi-lagi Mas Adam hanya terdiam menatapku dengan tatapan dingin. Tidak ada sedikitpun aksara yang keluar dari bibir lelaki itu. Sekedar mintaku bertahan atau memintaku pergi.

****

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status