Share

Toko Bunga

Aku mengemasi semua barang-barangku yang berada di rumah Mas Adam tanpa tersisa. Sepertinya inilah saatnya aku menyudahi kesabaranku selama ini. Kuseka airmata yang membasahi pipi sebelum aku melangkah menuju pintu kamar.

Ada ibu dah Mas Adam yang duduk pada bangku ruang tamu. Lelaki dengan kemeja putih itu sudah seperti manekin ibu mertuaku.

"Sudah kamu bawa semua barang-barang kamu?" catus Ibu memicingkan matanya padaku yang baru keluar dari dalam kamarnya. Sekilas ia melirik pada koper yang berada di tanganku.

"Sudah!" balasku dengan nada kesal.

"Bagus kalau begitu, pokoknya jangan sampai ada satupun barangmu yang tersisa!" ucapan itu terdengar sangat sinis sekali. Sepertinya air garam yang di siramkan pada luakku yang mengangga, sakit.

Aku melirik pada Mas Adam, sedikitpun lelaki yang sudah hidup bersamaku hampir lima tahun itu sama sekali tidak menoleh ke arahku. Membuatku semakin mantab untuk meninggalkan rumah ini.

"Oh iya, Nia, besok Adam akan mengurus suara perceraian kalian. Jadi kamu tenang saja, kami tidak akan meminta uang lagi pada kamu. Kalau hanya untuk mengurus surat perceraian kamu, Adam masih mampu." Ibu melirik pada Mas Adam yang duduk di sampingnya. Sebelum kembali mengalihkan tatapan sinis itu padaku.

"Baik Bu, aku tunggu Mas Adam di pengadilan!" balasku penuh penekanan. Seketika Mas Adam menatap padaku dengan wajah terkejut. Sementara aku, tetap memasang wajah' datar tidak peduli saat ini hatiku sangat hancur.

"Bagus! Bagus!" Ibu mengangguk-angguk. "Bukan begitu, Adam?" Ibu menoleh pada Mas Adam.

"I-iya!" jawab Mas Adam dengan bibir bergetar.

Tanpa menunggu, aku segera menarik koperku menuju pintu keluar. Aku sudah tidak sanggup untuk menumpahkan air mata ini.

"Tunggu Nia!"

Suara Mas Adam mengehentikan langkah kakiku. Apakah dia akan mencegahku?

Aku menoleh menatap pada Mas Adam. Lelaki itu bangkit dan menatap kepadaku.

"Tolong, kembalikan cincin itu?" Mas Adam mengarahkan jari telunjuknya pada jari yang melingkar di jari manisku.

"Oh, iya itu cincin dari ibu ya, Adam!" Bergegas ibu menghampiriku dan menyambar cincin yang segera kulepaskan dari jari manisku.

'Dasar!'

"Apakah ada lagi?" sergahku meradang.

"Tidak, sudah tidak ada!" lirih Mas Adam menatapku dingin. Baru kali ini aku melihat tatapan Mas Adam sedingin es, membuatku semakin membeku.

"Sudah, silahkan pergi dari rumah kami. Jika ada sesuatu yang terjadi. Jangan pernah meminta tolong pada kami. Ingat itu, Nia!" cetus Ibu penuh penekanan. Sebuah senyuman tersungging dari kedua sudut bibirnya saat melihat kepergianku.

*****

"What? Adam menceriakan kamu?" Wajah Nadia berbinar sekaligus terkejut. Bagaimana tidak, tanpa aku harus menjalankan rencana Nadia Mas Adam sudah lebih dulu menceraikan aku. Semua itu gara-gara ibu mertuaku yang selalu ikut campur urusan rumah tanggaku.

"Begitulah!" sahutku getir. Bagiamanapun, aku tidak pernah mengharapkan perceraian ini. Tapi, ya sudahlah.

"Udah tenang saja, hilang satu tumbuh seribu. Yang terpenting saat ini adalah karier kamu dulu,Nia!" Nadia menepuk bahuku memberikan semangat.

"Tadi Pak Ram kesini, dia menunggu jawaban kamu."

"Benarkah!" ucapku dengan wajah berbinar.

"Tentu saja, ini adalah kesempatan emas buat kamu, Nia. Aku yakin, suatu saat Adam pasti akan menyesal sudah melepaskan kamu." Nadia seperti sedang menyemangatiku. Aku tersenyum kecil pada Nadia.

Tok! Tok!

"Masuk!"

Seorang lelaki muncul dari balik pintu yang terbuka setelah aku mempersilahkan masuk.

"Mbak Dania!" Lelaki yang tidak asing itu mengeryitkan dahi saat melihat kehadiranku duduk pada bangku Bos. Iyalah, secara ini adalah kantorku.

"Duduk, Rian!" seloroh Nadia mempersilahkan lelaki yang sejenak mematung itu untuk duduk.

Lelaki bernama Rian itu mengacungkan jari telunjuknya padaku dan Nadia secara bergantian.

"Oh, iya aku lupa! Langsung saja bicara sama Dania, dia bos di sini!"

Wajah Rian semakin bingung. Ia terlihat mencoba mencerna ucapan Nadia.

"Ba-baiklah, Mbak Nadia!" ucapnya.

"Saya diminta Pak Ram untuk menjemput Mbak Dania. Ada beberapa hal yang ingin beliau bicara dengan Mbak Dania. Tadi beliau sudah ke sini, tapi katanya Mbak tidak ada," tutur Rian masih dengan wajah aneh.

"Memangnya kamu siapanya, Pak Ram?" tanya Dania penasaran. Seingatnya lelaki bernama Rian itu hadir disaat peresmian kantor barunya.

"Saya, saya adalah supir Pak Ram!" balas Rian pada Dania yang mungkin usianya terpaut beberapa tahun dengannya itu.

"Oh, aku kira kamu adalah penulis yang ingin diterbitkan di sini juga," sahutku mengangguk lembut.

"Itu juga Mbak, saya juga seorang penulis. Sekedar menyalurkan hoby." Lelaki yang berada di hadapanku melemparkan senyuman kecil padaku.

****

Rian menepikan mobil yang ia kendarai di depan sebuah toko bunga.

"Kenapa berhenti?" tanyaku pada Rian.

"Mbak Nia bisa membantuku memilihkan aku bunga?"

"Ehm, pasti mau di kasih ke pacar ya!" Ledekku.

Rian tidak menjawab dia hanya tersenyum kecil lalu turun dari dalam mobil.

Aroma harum dari bunga-bunga segar itu menyambut kedatanganku. Rian sudah lebih dulu memilih bunga-bunga yang berada di dalam toko. Sementara aku lebih asyik memilih bunga yang dipajang di depan toko.

"Wah, ini berapa, Pak?" tanyaku pada lelaki muda yang berjaga seraya menunjukkan bucket bunga mawar merah kepadanya.

"Itu mahal, Mbak!" sahutnya menjatuhkan tatapan pada bunga' yang berada di tanganku.

"Berapa memangnya?" tanyaku.

"Lima juta, Mbak," jawab lelaki muda itu.

Sesaat aku menatap bucket bunga yang ada ditangaku.

"Kamu tidak akan sanggup membayarnya, Dania!"

Seketika aku menoleh ke balik punggungku. Seseorang yang sedang menyalahkan bara api dalam dadaku kini ada di sini.

*****

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status