Share

1. Kebenaran

Ruangan yang sebelumnya dipenuhi rasa bahagia kini diliputi kebingungan. Sosok perempuan lain yang hadir menghentikan pernikahan membuat suasana menjadi tegang. Bisik-bisik semakin sentar terdengar.

Beberapa orang mulai memikirkan hal yang tidak-tidak, bahkan beberapa pandangan yang terarah pada Nada mulai terlihat sinis. Namun, tidak sedikit pula yang menatapnya iba.

"Mas. Bukankah itu mantan istri kamu?" tanya Nada yang kini buka suara. Wanita itu menatap calon suaminya dan seseorang yang berada di ambang pintu dengan tatapan sulit diartikan.

Rina—orang yang katanya istri dari Saka mendengar apa yang diucapkan oleh wanita dengan kebaya yang melekat di tubuhnya tersenyum miring.

"Mantan istri?" Suara yang keluar dari bibir sensual itu terdengar sinis. "Saya masih sah menjadi istrinya Mas Saka."

"A_apa?" Suara Nada tertahan di tenggorokan, ia memandang Saka dengan isyarat menuntut akan sebuah jaawaban. Sayangnya, keterdiaman Saka membuat dia menangkap suatu hal kalau perempuan itulah yang benar.

Dia menatap Saka dan Rina secara bergantian dengan mata berkaca. Saka, pria itu masih tetap menunduk, seperti menguatkan apa yang baru saja dia dengar.

"Ya. Laki-laki pengecut itu masih sah menjadi suami saya." Rina kembali mengatakan dengan sejelas-jelasnya.

"Apa-apaan ini?" Pak Baron yang sebelumnya hanya diam kini bangkit dengan wajah penuh kemarahan. Rasa pening yang menyerang, beliau tekan sekuat mungkin demi untuk menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.

Rina mengangkat satu alisnya. "Apakah perkataan saya kurang jelas? Laki-laki itu, yang duduk sebagai mempelai pria dari anak Bapak, masih sah menjadi suami saya." Rina menunjuk keberadaan Saka yang kini masihdiam.

"Jadi Nada ini pelakor begitu?" Salah satu tamu berbisik pada temannya.

"Entahlah, Bu. Bingung." Suara tetangga Nada mulai terdengar.

"Tapi kalau bukan pelakor apa namanya menikahi pria yang masih menjadi suami orang?" Baiklah. Mulut ibu-ibu yang sudah mendengar atau melihat sebuah hal yang tidak terduga pastinya tidak akan bisa berhenti.

Yunus. Paman Nada yang mengetahui kondisi mulai tidak kondusif turut angkat bicara, ia berdiri memberikan senyum ramah pada para tamu undangan. "Ibu-ibu, Bapak-bapak. Maaf. Sepertinya acaranya ditunda dulu, ya. Ada sedikit kesalahpahaman di sini. Kami mengucapkan banyak-banyak minta maaf."

Apakah akan semudah itu?

Tentunya tidak. Rina yang masih berdiri di depan pintu kini kembali mengeluarkan suaranya. "Kenapa mereka semua diminta pergi? Apa kalian takut malu karena salah satu keluarga kalian ketahuan merebut suami orang?"

Saka yang sedari tadi menunduk kini mendongak, menatap tajam ke arah Rina. "Cukup, Rina! Cukup! Sudah cukup kamu membuat kerusuhan."

"Dan membiarkan kamu melakukan kedzaliman? Mengkhianati kami dan menikahi perempuan itu? Tidak akan, Mas!" teriak Rina membalas ucapan Saka.

"Sikapmu tidak adil pada kami, Mas." Tatapan meremehkan Rina sebelumnya kini berubah menjadi kemarahan.

"Satu Maret." Di menatap Nada. "Suamiku mulai terlihat berubah. Sebelumnya aku juga merasakan hal itu, tetapi hari itu semuanya tampak jelas perubahannya." Rina mulai memaparkan sesuatu.

Mata Nada berkaca. Tanggal satu Maret adalah tanggal di mana ia menerima cinta Saka setelah hampir dua Minggu mereka saling kenal, sikap baik yang ditunjukkan Saka membuat ia luluh dalam waktu sekejap.

"Dimulai hari itu, suamiku tidak pernah lagi peduli pada aku dan putrinya. Dia yang biasanya selalu menuruti apa pun permintaan putri kami, sekecil apa pun itu, hari itu dia mulai mengabaikannya."

"Ah. Saya ingat." Suara pekikan seseorang membuat semua atensi menatap asal suara.

Ibu Susi, perempuan dengan gamis cokelat membuka mata lebar. "Putri saya, Safira. Adalah teman kerja Nada. Dia pernah bilang kalau Nada memiliki hubungan dengan pria yang statusnya belum jelas. Apakah ini ...." Dia seperi sengaja menggantungkan kalimatnya.

Ibu Susi memandang sekitar. Ia menutup mulut secepatnya kala melihat semua pandangan terarah padanya. "Maaf. Tolong lupakan ucapan saya."

Sedangkan Rina tersenyum miring mendengarnya. Dia melanjutkan. "Di hari kenaikan kelas, tanggal lima Mei. Suami saya tidak datang ke sekolah putri kami. Padahal, dulu dia yang paling marah jika saya membuat kedatangan kami terlambat ke sekolah. Dan untuk pertama kalinya hari itu dia menolak ketika saya ajak untuk mengambil raport anak kami."

Ingatan Nada berputar, lima Mei adalah hari pertama Saka mengajaknya untuk berkencan. Mereka melakukan perjalanan ke puncak. Dan di sana, mereka mereguk kebahagiaan manisnya madu terlarang.

"Sepuluh Agustus," lanjut Rina. "Putriku berulang tahun. Sampai jam dua belas malam dia menunggu kedatangan papanya. Tapi apa? Suamiku tidak pulang sama sekali. Bahkan sampai tiga hari ke depan."

Suara Rina kini terdengar parau, mata wanita itu berkaca, tetapi sorot yang ditampilkan seakan mengatakan bahwa dia harus kuat menghadapi semua ini.

Nada dipaksa untuk kembali berpikir. Di tanggal itu, Saka dan dirinya berada di Bali, dua hari sebelumnya pria itu mengajak dirinya ke sana dengan alasan ingin merayakan ulang tahun Nada yang masih akan terjadi lima hari lagi.

Oh tidak. Bagaimana bisa dia tidak tahu semuanya?

"Selang seminggu kemudian, dia pulang. Tahu apa yang dia katakan padaku? Dia meminta izin untuk menikah lagi dan mengancam akan menceraikan aku jika aku tidak mengizinkannya." Rina menarik napas dalam.

"Dan puncaknya adalah sebulan yang lalu. Tanggal sebelas Oktober. Putriku Zahra harus dilarikan ke rumah sakit, tapi dia tidak bisa dihubungi sama sekali. Bahkan setelahnya dia tidak datang untuk menjenguk putrinya sekalipun dia sudah tahu mengenai kondisi Zahra."

Sosok kuat, sombong dan angkuh yang sebelumnya terlihat pada diri Rina kini hancur sudah. Wajah wanita itu sembab dengan lelehan air mata. Memperlihatkan kesakitan di sana.

Katakan. Wanita mana yang tidak akan terluka jika dia mendapatkan perlakuan demikian dari suaminya? Bukan dia. Akan tetapi putrinya.

Kali ini Nada pun turut menjatuhkan air mata. Sebelas Oktober. Hari itu adalah hari di mana dia telah—

"Dan baru aku tahu kalau di hari masuknya Zahra ke rumah sakit adalah hari di mana suamiku melamarmu!" teriak Rina sangat keras. Dia menumpahkan segalanya di depan semua tamu yang hadir.

"Astagfirulloh." Hampir semua orang memegang dadanya sembari beristigfar. Tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan Nada.

"Biasanya saya melihat laki-laki sekejam itu di sinetron ikan terbang. Tapi sekarang saya menyaksikannya langsung."

"Iya. Amit-amit jabang bayi. Laki-laki seperti itu beneran ada. Semoga anak saya tidak seperti itu, Bu. Kasihan yang disakiti. Sama pasti bikin malu keluarga."

"Iya. Semoga anak perempuan saya dijauhkan dari laki-laki macam itu."

Tangan Saka mengepal, dia tidak suka dengan bisik-bisik itu. "Tapi aku memang sudah menceraikanmu!" teriaknya menggelegar.

"Mana? Mana surat cerainya? Mana?" Saka diam, dia tidak bisa membalas ucapan Rina. Karena nyatanya dia hanya baru menceraikan Rina sekedar talak, belum sampai tahan pengadilan.

Melihat keterdiaman Saka, Mila ibu Nada yang sedari tadi terpaku mendengar apa yang terjadi tiba-tiba saja jatuh pingsan, beberapa keluarga terkejut akan hal itu.

Tak terkecuali Nada sendiri. "Ibu, Ibu." Bahkan wanita itu kini menangis melihat kondisi ibunya.

Pak Baron semakin diliputi kemarahan. Dia memandang Aska yang sedari tadi diam. "Nak Aska. Apa maksudnya ini? Kalian ingin mempermalukan keluarga saya?"

Aska. Pria berwajah tegas itu kini berdiri, membungkuk di hadapan Pak Baron. "Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Saya tidak ada niatan mempermalukan keluarga Bapak. Sesungguhnya saya pun juga tidak tahu kalau adik saya belum menceraikan istrinya. Dia hanya bercerita kalau rumah tangganya sudah selesai, lalu tiba-tiba meminta saya untuk meminangkan anak Bapak untuknya," jelasnya. Tidak ada rasa takut yang terlihat. Hanya ada ekspresi datar di sana.

Namun, Saka tahu ada kemarahan dari sorot mata kakaknya. "Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya salah karena tidak benar-benar mencari tahu. Saya salah karena tidak begitu peduli dengan kehidupan adik saya akibat pekerjaan yang saya tangani selepas kematian orang tua kami. Maaf. Sekali lagi maaf."

"Lebih baik kalian pergi dari sini." Pak Baron menunjuk ke arah luar.

Saka gelagapan. "Pak. Lalu bagaimana dengan pernikahan ini? Saya mencintai Putri Bapak?"

Mata Pak Baron melotot. "Kamu masih bertanya soal pernikahan? Dasar laki-laki edan. Tidak punya malu. Kamu sudah mempermalukan keluarga saya, kamu sudah melempar kotoran pada keluarga saya. Dan kamu berharap pernikahan untuk ini? Tidak akan. Pergi. Pergi dari sini."

"Tapi, Pak—"

"Pergi." Pak Baron terus mengusir Saka.

"Pak—"

"Pergi saya bilang." Kali ini dia menyeret Saka keluar dari rumahnya. Tidak peduli jika nanti dia dilaporkan ke polisi atas kasus penyiksaan.

Pak Baron mendorong tubuh Saka sampai tersungkur di halaman. "Pergi dari sini. Jangan tampakkan lagi wajahmu di rumah saya."

"Pak—"

Aska mengambil alih. "Sekali lagi saya minta maaf, Pak Baron." Tidak menjawab, Pak Baron hanya membuang muka.

Aska yang mengerti kekecewaan pria paruh baya itu mulai berlalu. "Kita selesaikan di rumah," ucapnya ketika melewati Rina. Kali ini, dia yang menyeret Saka secara paksa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status