Share

2. Kemarahan

Penulis: Evie Edha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-10 11:39:23

"Bu." Nada menangis melihat keadaan ibunya yang seperti ini. Dia memandangi dokter yang tengah memeriksa keadaan sang ibu dengan perasaan khawatir.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Pak Baron. Pria itu menunjukkan mimik tegang dan takut secara bersamaan.

Pria dengan kacamata bening itu tersenyum pada Pak Baron. "Penyakit darah tinggi ibu kambuh, Pak. Sepertinya beliau syok. Saya tuliskan resep obatnya nanti diminum kalau ibunya sudah sadar. Jangan membuatnya terlalu banyak pikiran, ya."

Pria dengan kemeja putih itu menyerahkan selebaran resep pada Pak Baron. "Kalau begitu saya permisi."

"Mari, Dok saya antar." Pria tinggi dengan kulit kecokelatan mengambil alih, dia tersenyum pada Pak Baron sebelum mengantar dokter kepercayaan keluarganya yang akan pulang.

Sepeninggal dua orang itu, Pak Baron menatap istrinya sendu. Lalu beralih pada putrinya yang masih memakai kebaya putih. Tanpa kata dia menyeret Nada keluar dari kamar.

"Pak—" Panggilan dari Nada tidak sama sekali dia gubris, langkah Kaki pria paruh baya itu menuju kamar Nada berada begitu cepat.

Membuka pintu kasar lalu menghempaskan tubuh itu begitu saja. "Bikin malu!" teriak Pak Baron. Dia memandang putrinya garang.

"Pria seperti itu yang kamu mau setelah menolak bapak jodohkan sama Rizal? Iya? Pria beristri maksud kamu?" tanya Pak Baron dengan geram.

Nada yang sedari tadi terduduk di lantai menangis dengan menggelengkan kepala. "Bukan, Pak." Suaranya terdengar lirih.

"Bukan apa?" teriak Pak Baron lebih keras lagi. Dia semakin melotot melihat penyangkalan anaknya padahal jelas-jelas apa yang sudah terjadi di acara tadi.

"Kamu sudah membuat bapak malu. Kamu sudah membuang kotoran ke muka bapak dengan kelakuan bejat kamu merebut suami orang. Bapak nggak pernah mendidikmu menjadi pelakor."

"Nada bukan pelakor, Pak," ucap Nada membantah ucapan ayahnya.

Pak Baron mendekati Nada, menjambak rambut putrinya yang digelung rapi. "Kalau bukan pelakor apa namanya?" Dia tidak peduli lagi kalau suaranya akan terdengar sampai ke tetangga.

"Mas. Sudah, Mas. Kasihan Nadanya," ujar Yunus yang tak tega melihat keponakannya dipukul oleh sang kakak.

Pak Baron masih menatap Nada dengan tajam. "Kamu sama saja dengan kakakmu itu." Bentuk kekecewaannya sudah sangat dalam. Putri yang dibanggakannya telah mencoreng mukanya.

"Nada juga tidak tahu kalau Mas Saka belum bercerai dengan istrinya. Mas Saka mengatakan kalau dia sudah mentalak istrinya," jawab Nada dengan suara yang terputus karena isak tangis. Jujur saja rasa sakit juga menjalari kepalanya akibat tarikan dari ayahnya.

Bola mata Pak Baron membulat. "Kenapa kamu bisa sebodoh ini, Nada? Pria itu mengatakan kalau dia mentalak istrinya, bukan menceraikan istrinya." Lagi-lagi Pak Baron mendorong Nada sampai wanita itu kembali tersungkur.

"Mas. Sudah." Yunus kembali mencoba mencegahnya.

"Pak, Pak, Pak. Pak Baron, Pak. Sudah, Pak. Kasihan Nada kalau Bapak bersikap seperti itu." Rizal, setelah mengantar dokter tadi dia segera berlari masuk saat mendengar teriakan dari Pak Baron.

Dia menahan pria yang lebih tua darinya untuk tidak kembali memukuli Nada. Napas yang memburu dengan dada naik turun cepat menandakan bahwa ada kemarahan yang besar di dalam diri pria paruh baya itu.

"Sabar, Pak. Tenangkan dulu diri Bapak. Ingat kesehatan Bapak lebih penting. Ada Ibu juga yang lebih membutuhkan perhatian kita sekarang." Rizal mengelus dada Pak Baron.

Pak Baron memejamkan matanya rapat-rapat. Dia menarik napas dalam melalui hidung dan mengembuskannya melalui mulut sesuai instruksi dari Rizal. Aneh, ditenangkan adiknya tak mempan, tetapi ditenangkan Rizal mempan. Yunus sampai menatap heran kakaknya.

Tanpa kata, dia pergi meninggalkan kamar putrinya. Tidak peduli jika Nada masih menangis dengan terkulai di atas lantai, lalu diikuti oleh Yunus.

Rizal memandang Nada dengan sebuah senyuman miring. Dia berdecak beberapa kali. "Nada-Nada." Pria itu mendekati Nada, berjongkok tepat di hadapan wanita yang masih mengenakan kebaya putih pernikahan. Bedanya, penampilannya kali ini sungguh berantakan.

Dia menengok ke balik punggung, merasa aman sebuah seringai pun terbit di bibirnya. Tangan kanan bergerak cepat, mencengkeram dagu Nada dengan kasar.

Rizal berbisik lirih penuh tekanan, "Kalau saja kamu mau menikah denganku, pasti hidupmu sekarang sudah bahagia menjadi istriku. Bergelimang harta dan semua keperluan keluargamu bisa aku tanggung."

Bola mata Nada yang dipenuhi air mata melotot seketika, ada kemarahan di balik mata berkaca. Secara kasar dia menampik tangan Rizal dari dagunya.

"Aku tidak sudi menikah dengan pria lintah darat seperti dirimu," ucap Nada sinis. Meski kini dia dalam keadaan bersedih, tetapi Nada masih memperlihatkan rasa tidak sukanya terhadap kehadiran pria itu.

Bukannya marah Rizal malah terkekeh. "Tidak mau dengan pria sepertiku? Tapi mau dengan pria beristri maksud kamu? Begitu?" Tatapan Rizal penuh ejekan.

Nada segera mengalihkan pandangan dari Rizal, dia masih tidak suka membahas kebodohan yang telah dilakukannya.

"Berarti benar kalau sebutan pelakor itu memang pantas untuk kamu sandang."

"Sudah aku katakan kalau aku bukan pelakor!" teriak Nada yang masih tidak terima dengan sebutan itu.

Rizal hanya mengangkat tangan tak acuh. Dia kemudian berlalu dari kamar Nada karena tidak ingin Pak Baron berpikiran buruk tentang dirinya. Pria dengan kemeja kotak-kotak itu kembali ke kamar Pak Baron berada.

"Kenapa Kak Nada berteriak tadi?" Tari—adik Nada mencegat Rizal di depan pintu kamar orang tuanya.

Gadis itu menatap tidak suka dengan pria yang dulu dijodohkan dengan sang kakak. Tatapannya memicing, terlihat jelas sorot kebencian di mata Tari.

Rizal memasang wajah memelas. "Aku mencoba menenangkan dan menasihatinya. Hanya saja aku tidak sengaja menyebut sebutan pelakor yang malah membuatnya marah. Maaf."

Mulut Tari terbuka, siap mencaci maki pria di hadapannya. Akan tetapi urung saat suara Bapaknya mengambil alih. "Biarkan saja anak tidak berguna itu. Jangan pedulikan lagi."

Melengos, Tari memberi lirikan tajam ke arah Rizal. Sedangkan pria itu masih tersenyum tipis. Dia melangkah memasuki kamar Pak Baron. "Bagaimana keadaan Ibu, Pak?"

Pak Baron menggeleng. "Belum sadar."

"Semoga lekas sembuh, Pak." Rizal tersenyum melihat pria di hadapannya mengangguk. "Kalau begitu, saya pulang dulu, Pak."

Kali ini Pak Baron menatap Rizal. "Terima kasih Nak Rizal. Kamu sudah membantu Bapak dengan mendatangkan dokter keluarga kamu," ucap Pak Baron penuh sesal. "Bapak minta maaf telah mengecewakan kamu mengenai perjodohan itu."

"Ah. Lupakan saja. Kita sesama manusia harus membantu, Pak. Saya permisi." Keduanya berpisah setelah Rizal keluar dari kamar Pak Baron.

***

"Jelaskan. Ada apa sebenarnya. Kenapa kamu membuat Kakak malu, Ka?" Aska menatap Saka marah di ruang tamu rumahnya. Dia melirik sekilas keberadaan Rina, lalu kembali menatap tajam sang adik.

"Bagaimana bisa kamu belum bercerai dan ingin menikah kembali, Saka?"

"Tapi aku sudah mentalak Rina, Kak," ucap Saka cepat.

Suara gebrakan yang sangat keras mengejutkan Saka dan Rina yang sedari tadi diam di sudut kanan meja. "Kalau sudah mentalaknya, kenapa tidak mengurusnya ke pengadilan sekalian? Kenapa langsung menikahi perempuan lain?" Suara Aska meninggi.

Pria berperawakan tegas itu menangkap betul kebodohan dan keserakahan sang adik. Bodoh tidak menuntaskan hubungan dan serakah sudah ingin memikat perempuan lain.

Aska menatap Rina. "Dan kau, kenapa tidak mengatakannya padaku?"

Rina yang sedari tadi membuang muka kini menatap kakak iparnya. "Kakak pikir aku bisa memikirkan hal itu di saat fokusku hanya pada kesembuhan Zahra?"

Aska menghempaskan tubuhnya pada sofa, dia memijit keningnya berharap rasa pening segera hilang dari sana. Dirinya cukup menyadari kalau dia memang kurang memerhatikan keadaan keluarganya.

Ah, bahkan hal serupa juga dulu pernah dia alami. Kenapa sekarang bisa kembali terulang?

Membuang napas kasar, dia menatap sang adik. "Kamu sudah membuat Kakak malu, Ka. Secara tidak langsung kamu sudah membuat nama Kakak tercemar."

Sunyi. Hanya ada keheningan di antara mereka. "Kenapa kamu menceraikan Rina?" Suara Aska terdengar tajam dan datar.

Kali ini Saka yang membuang pandangan. "Jawab, Saja." Rina menimpali dengan tatapan sinis.

"Karena Rina tidak mengijinkan aku menikah lagi." Tanpa diduga pukulan keras mendarat di wajahnya. Keadaan Saka yang tidak tahu membuat pria itu lengah dan jatuh tersungkur. Rina yang melihat itu terkejut sampai menutup mulutnya dengan tangannya.

"Kau ingin menjadi bajingan? Kau ingin menjadi sosok kedua dari Ibu kita? Mengkhianati keluarga dan membuat anakmu terlantar seperti kita?"

Sebuah hal baru yang Rina dengar. Sebuah hal yang tidak sama sekali dia tahu. "Aku sudah mewanti-wanti dirimu sejak kecil. Jangan menjadi brengsek dengan mengkhianati pasanganmu. Kalau memang tidak cocok lebih baik berpisah baik-baik daripada mendua!" teriak Aska keras. Suaranya menggelegar di kediaman Bagaska.

Saka yang masih duduk di lantai sedikit mendongak. Pandangannya jatuh pada foto keluarga di mana dia dan kakaknya masih berumur di bawah sepuluh tahun.

Senyum ibunya terlihat lebar. Terlihat tulus. Bahkan dia mengagumi itu sebelum keduanya menyadari bawah semuanya hanya palsu.

Langkah kaki berat yang terdengar memberitahunya bahwa sang kakak telah berlalu. Saka menunduk, ada kemarahan di sana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Bukan Pelakor   84. Akhir Dari Segalanya

    Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san

  • Aku Bukan Pelakor   83. Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

    Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja

  • Aku Bukan Pelakor   82. Sah

    Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den

  • Aku Bukan Pelakor   81. Pergi ke Makam

    "Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka

  • Aku Bukan Pelakor   80 Menemui Danu

    Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank

  • Aku Bukan Pelakor   79. Perawatan Nada

    Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status