Share

4. Kebenaran Kehamilan

Waktu masih pagi. Beberapa ibu-ibu sudah berkumpul mengelilingi gerobak sayur yang kebetulan berhenti di depan salah satu rumah warga. Mereka berbelanja sekaligus membicarakan hal apa yang terjadi di sekitar mereka.

Terutama mengenai kejadian beberapa hari lalu yang menimpa putri pertama keluarga Pak Baron yang mengalami kegagalan pernikahan karena calon suaminya masih memiliki seorang istri. Kabar itu menggegerkan kampung Anyelir dalam sekejap.

"Enggak nyangka ya, Ibu-Ibu kalau Nada seperti itu," ucap seorang ibu-ibu yang memilah sayuran di hadapannya.

Seorang ibu lain yang memakai daster bunga-bunga menimpali, "Iya. Ternyata dia mau menikah dengan suami orang."

"Padahal, banyak pemuda di kampung yang terang-terangan menyukai dia dan bermaksud melamar dia. Termasuk anak saya si Sapto. Tapi Nadanya malah nolak. Eh, nggak tahunya malah maunya sama pria yang udah punya istri."

Dari jauh terlihat Ibu Susi yang berjalan dengan cepat menuju kumpulan para ibu di gerobak sayur. Wajahnya sumeringah seperti baru saja memenangkan sebuah lotre.

"Pagi, Ibu-Ibu," sapanya ketika sudah berada di dekat gerobak. Dia semakin menampilkan senyum lebar pada semua orang.

"Pada ngomongin apa ini? Seru sekali kelihatannya?" tanyanya sembari memperhatikan satu persatu orang-orang yang ada di sana.

"Ya ngomongin yang lagi hangat, Bu. Apa lagi memangnya?" jawab salah satu dari mereka.

"Oh. Masalah Nada anaknya Pak Baron, ya?" Semua orang mengangguk. Bu Susi melirik semua orang yang kembali memilih belanjaan mereka. Senyumnya tidak pernah luntur sedikit pun. Dia seperti menunggu sesuatu.

"Eh, ibu-ibu," panggilnya yang berhasil mendapat perhatian dari warga yang lain. "Si Nada, kan dulu sering keluar dengan calon suaminya yang tidak jadi tuh. Kalian apa enggak curiga?"

Beberapa orang di sana saling berpandangan dengan seseorang yang ada di sampingnya, sebelum kembali menatap pada Ibu Susi. Tampak jelas kebingungan pada wajah-wajah itu. "Maksud Bu Susi apa, sih?" tanya salah satu dari mereka.

Lagi-lagi Ibu Susi memperlihatkan senyum misteriusnya yang membuat semua orang semakin merasa bingung juga penasaran. Ibu Susi memang terkenal dengan biang gosipnya. Akan tetapi memang tidak dipungkiri juga kalau berita yang dibawa perempuan janda itu memang selalu ter up to date.

"Kita pakai pikiran terbuka ya, Ibu-Ibu. Ng ga munafik ini saya. Begini, ya. Apa, sih yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan menginap berdua-duaan kalau enggak ...." Kali ini Ibu Susi menggantungkan ucapannya. Akan tetapi dia mengangkat tangan kanan dengan dua jari tegak yaang mengangguk-angguk beberapa kali sebagai sebuah isyarat.

"Kita pikir secara logika saja lah, Bu. Apalagi kalau laki-lakinya sudah pernah merasakan itu." Ibu Susi menekan kata itu pada kalimatnya. "Dan kita juga bisa menebak kalau laki-lakinya kemarin mengalami masalah dengan sang istri yang pastinya mereka tidak akan melakukan hubungan suami istri. Laki-laki sekarang mana ada, sih, Bu yang tahan berduaan dengan lawan jenis. Apalagi kalau ada kesempatan. Nggak menutupi nih ya, Bu. Pikiran saya nih trapeling loh, Bu."

"Trapeling apa, Bu?" tanya salah satu ibu-ibu di sana.

Bu Susi berdecak. "His. Trapeling tuh bahasa inggri, Bu. Itu tuh yang artinya keliling-keliling," jasa Bu Susi dengan menggebu. Namun, ada keraguan dalam jawabannya sendiri.

Detik kemudian dia mengibaskan tangan. "Ya pokoknya itulah Ibu-Ibu. Pikiran saya ini jadi macam-macam. Masa sih laki-laki sama perempuan pergi berdua nggak melakukan itu? Nggak mungkin," ujarnya kemudian.

Semua orang mengangguk. "Bener juga," timpal salah satu dari mereka. "Enggak mungkin, kan kalau mereka main remi."

"Anak saya Safira juga pernah bilang loh, Bu kalau calon suami Nada yang kemarin itu sempat menyuruh salah satu OB di kantor untuk membelikan tespek," jelasnya. Gerakan ibu-ibu penggosip pun refleks dia lakukan dengan menjawil salah satu orang yang berdiri di sampingnya.

"Yang bener, Bu?" tanya beberapa ibu-ibu dengan nada terkejut secara berbarengan. Tentu saja itu mengejutkan mengingat selama ini Nada adalah sosok yang kalem.

Ibu Susi mengangguk. "Benar, Ibu-Ibu. Kejadiannya juga belum lama. Coba pikir. Kalau bukan buat Nada, buat siapa? Sedangkan kita tahu kemarin kalau calon suaminya Nada itu ada masalah sama istrinya."

"Wah. Jangan-jangan Nada hamil lagi?" Beberapa orang mengangguk.

"Enggak sangka, ya. Padahal, kan anaknya kalem."

"Eh jangan salah," ucap Ibu Susi tiba-tiba. "Yang kalem, kan biasanya yang menghanyutkan." Semua kembali berbisik membenarkan apa yang dikatakan Ibu Susi.

Pandangan salah satu dari mereka menangkap kehadiran dari seorang gadis yang terlihat mendekat ke arah mereka. Dia pun segera memberi tahu yang lainnya perihal kedatangan orang itu.

"Eh. Sudah-sudah. Ada Tari tuh," ucapnya sembari melirik ke arah kedatangan Tari.

Semua pun diam. Sosok gadis berambut panjang sudah datang mendekat. "Selamat pagi, Ibu-Ibu," sapa gadis itu dan semuanya pun menjawab sapaan itu secara bergantian.

Beberapa dari mereka saling melirik saat Tari mulai memilah sayuran di hadapannya. Terakhir semua menatap Ibu Susi pertanda bahwa perempuan itu harus menanyakan perihal yang mereka bahas barusan. Tahu dari mana akan hal itu? Entahlah. Hanya mereka yang tahu.

Bu Susi memutar bola matanya malas. Kenapa perihal eksekusi harus selalu dirinya yang beraksi? Namun, tak ayal dia tetap melakukannya juga. Bu Susi berdehem. "Nak Tari?" panggilnya.

Tari yang baru saja memegang sayur kangkung menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Iya, Bu?"

"Bagaimana kabar kakak kamu?" tanya Bu Susi.

Tari sudah menduga. Bagaimanapun kejadian beberapa hari lalu mengenai pernikahn sang kakak pasti akan tetap menjadi bahan omongan untuk beberapa hari ke depan. Dia pun sudah mempersiapkan diri tadi sebelum berangkat belanja mengenai ini.

Tari tersenyum. "Alhamdulillah baik, Bu." Dia menjawab dengan tenang.

Ibu Susi mengangguk. "Syukurlah." Setelahnya Bu Susi diam. Namun, hal itu tidak membuat beberapa ibu-ibu di sana merasa kurang puas karena bukan itulah yang dia maksud.

Salah satu dari mereka yang berada di samping Bu Susi menyikut lengan perempuan berdaster hijau itu sehingga membuat si empunya menoleh. "Cepat tanyakan." Pelaku penyikutan itu berbicara dengan menggerakkan bibir tanpa suara.

Ibu Susi memutar bola matanya malas, tetapi dia tetap melakukannya. Dia kembali memanggil Tari dan mulai bertanya, "Apa benar kakak kamu sedang hamil?" tanyanya tanpa basa-basi.

Kali ini Tari memperlihatkan wajah terkejut, juga tidak suka akan hal itu. "Maksud Ibu Susi apa, ya?"

"Em, bukan apa-apa. Ibu hanya ingin bertanya langsung saja pada keluarga Nada. Daripada simpang siur enggak jelas. Soalnya ada yang tahu beberapa waktu lalu sebelum acara nikahan kalau calon suami kakak kamu menyuruh salah satu OB di kantornya untuk membeli tespek," jelasnya dengan melirik semua yang ada di sana.

Tari diam. Ingin rasanya dia menyumpal mulut Ibu Susi yang memang terkenal dengan biang gosipnya. Ingin sekali dia mengatakan kalau mungkin saja tespek itu untuk istri pria kurang ajar yang sudah menipu kakaknya. Akan tetapi dia mengurungkannya karena itu sama saja kalau dia mempermalukan kakaknya kembali.

"Iya, Nak Tari. Coba cari tahu. Kalau memang iya segera carikan jodoh untuk kakak kamu. Atau kakak kamu menerima perjodohan dengan Rizal yang dia tolak dulu. Daripada keburu besar perutnya." Salah satu ibu-ibu berbicara memberi saran.

Tari tidak ingin berlama-lama di sini. Sayur kangkung yang ada di tangan segera dia bayar. Padahal seharusnya masih banyak lagi yang harus dia beli. Hanya saja keadaan ini membuat dirinya ingin segera pulang.

Tari segera menuju ke kamar sang kakak. Dia melihat kakaknya tengah duduk di ujung ranjang tepat di depan jendela dengan padangan kosong ke luar ruangan. Hal yang biasa kakaknya lakukan beberapa hari ini.

Namun, pandangan Tari jatuh pada tangan sang kakak yang memegangi perutnya. Kenapa? Apakah kakaknya lapar? Sekelebat pertanyaan di tukang sayur tadi pun memenuhi otaknya.

Tari berjalan mendekat ke arah Nada, duduk di samping sang kakak lalu memaksa kakaknya untuk menghadap ke arahnya. "Kak. Katakan yang sejujurnya," ucap Tari dengan mimik wajah bersungguh-sungguh.

"Apa benar Kakak hamil?" tanya Tari langsung pada intinya.

Sayangnya, tidak ada jawaban yang dia terima. Kakaknya itu hanya menunduk membuat dia merasa gemas.

Tari mendesis. "Katakan, Kak. Apakah Kakak hamil?" tanyanya lagi dengan mengguncangkan bahu sang kakak.

Nada yang merasa dituntut pun akhirnya mengangguk. "I---iya."

"Apa!" teriak seseorang dengan suara menggelegar di ambang pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status