Share

5. Terusir

Seorang pria datang bertamu ke kediaman Pak Baron hari ini. Beberapa buah-buahan menjadi buah tangannya untuk datang. Dia cukup bangga kala mendapatkan sambutan ramah dari sang tuan rumah.

"Keadaan Ibu bagaimana, Pak?" tanya pria itu yang tidak lain adalah Rizal. Seseorang yang sebelumnya sempat dijodohkan dengan Nada tetapi perempuan itu menolak.

Pak Baron tersenyum. "Sudah mendingan, Nak Rizal. Terima kasih. Ini semua berkat Nak Rizal yang sudah mau memanggilkan dokter keluarga Nak Rizal," ucap Pak Baron tampak tidak enak.

Rizal membalas senyuman itu. "Ah. Itu bukan apa-apa, Pak. Selagi saya bisa membantu, akan saya bantu. Karena keluarga Pak Baron sudah saya anggap keluarga sendiri." Pria itu memang Pintar berkata-kata manis.

Pak Baron semakin merasa tidak enak pada Rizal. "Boleh saya melihat keadaan Ibu, Pak?"

"Oh. Boleh-boleh." Pak Baron dengan senang hati mempersilakan. Pria paruh baya itu masih beruntung karena Rizal masih mau berhubungan baik dengan dirinya setelah putrinya menolak Rizal. Padahal, banyak orang tua di sini yang ingin menjadikan Rizal menantu. Apalagi setelah tahu kalau Nada menolak.

Keduanya melangkah memasuki rumah Pak Baron. Namun, langkah keduanya berhenti saat mendengar suara Tari yang sedikit meninggi. "Katakan, Kak. Apakah Kakak hamil?"

Jantung Pak Baron serasa dipukul seketika mendengar pertanyaan putri bungsunya. Bertanya pada siapa Tari? Arah suara yang dia dengar sangat tahu dari mana membuat Pak Baron menebak.

Nada. Dalam hati dia berharap apa yang didengarnya adalah kesalahan. Dia berharap bahwa Nada akan menjawab tidak. Pak Baron segera melangkah mendekati kamar sang putri.

Namun, semua itu hanyalah keinginan yang hanya akan terjadi dalam mimpinya kala Nada mulai menjawab, "I—iya."

"Apa!" teriaknya tidak percaya. Tatapannya nyalang pada dua perempuan yang kini duduk saling berhadapan di samping Jendela.

Nada dan Tari yang melihat keberadaan sang ayah terkejut seketika. Kedua bola mata mereka membola seketika. "Ba—Bapak," panggil Nada dengan suara bergetar.

Pak Baron melangkah cepat mendekati putrinya, memandang tajam Nada dengan kemarahan yang sudah tidak dapat dibendung lagi.

"Katakan. Apa benar kamu hamil? Tidak, kan? Bapak tadi salah dengar, kan?" tanya Pak Baron dengan suara bernada tinggi. Bola matanya melotot dengan warna merah penuh amarah.

Nada hanya bisa menunduk dan menangis. Takut dengan ekspresi bapaknya saat ini. Dia hanya bisa meremas tangannya yang ada di pangkuan.

"Katakan!" teriak Pak Baron kembali.

Hal itu mampu membuat Nada terkejut sampai berjingkat. Bahunya naik cepat, lalu mengangguk pelan dan menjawab, "Ma—maafkan Nada, Pak." Bukannya menjawab perempuan itu malah semakin menangis kencang dan meminta maaf pada bapaknya.

Hal itu sudah cukup bagi Pak Baron apa yang dia tanyakan adalah benar. Tanpa kata tangan kanan Pak Baron terangkat, mengayun pada wajah Nada dan menampar pipi putih pucat itu.

"Dasar anak kurang ajar. Bikin malu!" teriak Pak Baron. Dia menunjuk putri pertamanya yang tersungkur di lantai dengan bengis. "Anak tidak ada guna."

Pak Baron mendekati Nada kembali, dia menjambak rambut putrinya dengan marah-marah. "Salah apa kami sama kamu? Kenapa kamu tega melakukan ini pada kami?"

Nada menangis tergugu di lantai. Dia memandang bapaknya dari balik mata berkaca. Menahan sakit di kepala akibat tamparan dari bapaknya.

"Maafkan Nada, Pak. Nada salah," ucap Nada di sela tangisnya. Dia memegang tangan Pak Baron yang menjambak rambutnya untuk menahan rasa sakit di kepala.

Namun, Pak Baron tidak menggubris apa yang dikatakan Nada. Dia tetap menjambak rambut putrinya sedang tangan yang satu mencengkeram dagu Nada membuat perempuan itu mendongak dengan wajah basah.

"Masmu membuat nama keluarga ini hancur. Dan kamu sekarang menambahknya lagi? Bukannya memperbaiki malah membuat semakin parah? Kalian sudah menghancurkan keluarga ini." Beberapa kali Pak Baron mendorong kepala Nada.

Tari yang melihat bagaimana kemarahan bapaknya merasa takut, tetapi menatap sang kakak yang kesakitan membuat dirinya menjadi kasihan.

Tari mendekati bapaknya. "Pak sudah. Kasihan Kak Nada," ucap Tari yang memegang tangan Pak Baron. Dia berusaha melepaskan tangan bapaknya dari kepala sang kakak.

Nada hanya bisa menangis. Menahan perih dan sakit yang semakin menjalari kepala. "Sakit, Pak. Ampun, Pak," ucapnya dengan wajah memelas. Berharap bapaknya mau melepaskan jambakan itu. Sayangnya, itu tak mungkin.

"Pak, sudah. Kasihan, Kakak." Tari masih mencoba.

Namun, Pak Baron segera menghempaskan tangan Tari, menatap wajah anak bungsunya itu. "Jangan ikut campur!" teriak Pak Baron.

Bola matanya yang melotot dan memancarkan kemarahan mampu membuat Tari merasa takut. Mau tidak mau, dia pun membiarkan bapaknya yang kembali memarahi sang kakak sembari memukul punggungnya.

Tari menatap Rizal yang hanya diam di ambang pintu. Wajah pria itu tampak bingung dan terkejut. "Rizal. Bantu Tari," ucap gadis itu dengan mengentakkan kaki.

Rizal pun gelagapan. Dia mengerjapkan mata dan segera mendekati Pak Baron. Pria itu memegangi tangan pria paruh baya yang masih marah-marah pada Nada.

"Pak, Pak Baron sudah, Pak. Pikirkan kesehatan Ibu, Pak. Takutnya Ibu kambuh lagi penyakitnya kalau mendengar ini semua,," ucap Rizal yang mencoba menenangkan Pak Baron.

Pria tua itu akhirnya berhasil berhenti memarahi anaknya. Dia menatap Nada masih dengan kemarahan yang kentara.

"Pak, sabar. Bapak harus tenang." Rizal kembali berujar.

Pak Baron masih mengatur napasnya. "Bagaimana bisa Bapak sabar, Nak Rizal? Dia sudah membawa aib bagi keluarga Bapak. Setelah calonnya masih memiliki istri dan membuat pernikahan mereka batal, sekarang dia malah hamil di luar nikah," jelas Pak Baron dengan menggebu.

"Ya Tuhan. Apa yang harus Bapak lakukan?" Pak Baron meremas kepalanya.

Pandangan Pak Baron tertuju pada Nada. "Perut dia akan semakin membesar. Tidak akan kita bisa menyembunyikannya terus." Dia menunjuk ke arah Perut Nada

Pria paruh baya itu mendongak, mengusap kasar wajahnya. Detik selanjutnya dia menatap nyalang putri sulungnya. "Tidak ada cara lain. Kamu harus gugurkan kehamilan itu." Tangan Pak Baron menunjuk ke arah perut Nada kembali.

Nada mendongak dengan mata melotot. Dia terkejut dengan apa yang diucapkan bapaknya mengenai menggugurkan bayi ini. Kehadiran bayi ini karena sebuah dosa, dia tidak ingin menambah dosa lagi.

Nada menggeleng. "Tidak, Pak. Nada tidak mau."

Kemarahan Pak Baron kembali mencuat. "Kamu?"

Namun, pukulan yang akan diberikan pria itu urung saat Rizal kembali menahannya. "Pak. Rizal tahu solusi baiknya."

Pak Baron menatap pria yang ada di sampingnya, menunggu pria itu mengatakan sesuatu. "Saya akan menikahi Nada, Pak. Saya akan menutupi kehamilan itu dengan pernikahan ini," lanjut Rizal.

Pak Baron terkejut. Tentu saja. Dia tak menyangka kalau Rizal akan mengatakan hal itu. Itu sungguh pengorbanan yang sangat besar.

Sebuah senyum tiba-tiba saja terbit di bibir Pak Baron. "Kamu benar, Nak Rizal?" tanya tidak percaya. Namun, anggukan dari pria itu seolah membawa angin segar dalam hidupnya.

"Kamu benar akan menerima Nada dan anak yang dia kandung? Kamu tidak apa jika Nada tidak perawan?" tanyanya lagi.

"Iya, Pak." Rizal mengangguk dengan ekspresi penuh keyakinan.

Pak Baron segera memeluk Rizal erat. "Terima kasih, Nak Rizal."

Saat Pak Baron merasa lega, Tari dan Nada terkejut akan hal itu. Kedua kakak beradik itu saling pandang.

Nada menatap bapaknya, dia menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Nada tidak mau," ucapnya lantang. Air matanya kembali jatuh.

Pak Baron yang masih memeluk Rizal mendengar kata-kata, Nada. Dia melotot. Dia melepaskan pelukan lalu menatap Nada dengan tajam. "Apa kamu bilang?"

"Nada tidak mau menikah dengan Rizal, Pak." Nada kembali mengatakan.

Pak Baron bersungut. Napasnya memberi dengan dada naik turun. "Kamu harus menikah dengan Rizal."

"Tapi Nada tidak mencintai Rizal, Pak."

Pak Baron mengibaskan tangan. "Di saat seperti ini kamu memikirkan cinta? Lalu apa maumu, hah?"

"Nada ingin merawat anak Nada sendiri daripada menikah dengan Rizal."

Di belakang sana Rizal berdecak, memutar bola matanya malas. Dalam hati menggerutu, "Sudah dalam keadaan apes pun masih sok jual mahal."

"Dan membuat orang tuamu semakin malu dengan kehadiran anakmu itu yang tanpa suami? Begitu?" teriak Pak Baron dengan suara yang menggelegar.

Nada pun tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Hanya bisa menunduk dengan memeluk perutnya seolah takut terjadi apa-apa dengan calon buah hatinya.

Pak Baron menggeram marah. "Baiklah. Jika kamu tidak mau menggugurkan bayi itu dan tidak mau menikah dengan Rizal, lebih baik kamu pergi dari sini," ucap Pak Baron sembari meraih tangan Nada.

Pria paruh baya itu menarik Nada secara paksa, menyeretnya keluar dari rumah. "Pergi kamu dari sini. Kamu bukan lagi anakku karena tidak mau menuruti perkataan orang tuamu."

"Pak. Jangan, Pak. Nada tidak mau!" teriak Nada yang tidak ingin pergi dari rumah.

"Pak. Jangan, Pak." Tari mengikuti dari belakang.

Namun, Pak Baron mengabaikan hal itu. Dia tetap menyeret Nada keluar dari rumah. Mendorongnya sampai Nada tersungkur di halaman rumah.

Apa yang terjadi membuat perhatian beberapa orang yang lewat malah berkumpul tidak jauh dari sana, menatap ke arah rumah Pak Baron dan Nada. Mau bertanya apa yang telah terjadi, mereka takut. Akhirnya mereka hanya menonton saja.

Nada menangis memandang bapaknya dengan mengiba. Berharap ada belas kasih untuk dirinya. "Nada tidak ingin pergi, Pak."

"Jika kamu tidak mau menikah dengan Rizal. Pergi dari sini!" usir Pak Baron menunjuk ke arah yang jauh.

Dia berbalik, menarik Tari untuk masuk ke rumah. "Ayo masuk. Biarkan dia pergi."

"Tapi, Pak—"

"Masuk!"

Evie Edha

Hallo. Selamat pagi. Cerita Aku Bukan Pelakor akan tayang setiap hari Senin dan Kamis. Semoga kalian suka dengan ceritanya,😊 😊 😉

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status