Beranda / Romansa / Aku Bukan Pelakor / 3. Kabar Burung

Share

3. Kabar Burung

Penulis: Evie Edha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-10 11:39:57

Saka bangkit lalu menatap Rina tajam. Dia mendesis penuh kemarahan. Dengan langkah lebar dia mendekati perempuan itu. Tanpa diduga, Saka mendorongnya sampai punggung membentur dinding, mencekik leher mantan istrinya.

Rina yang sudah menduga hal ini akan terjadi masih tampak tenang meksipun lehernya sudah terasa sakit. Bahkan sejak Saka memandang dirinya tajam, dia sudah siap dengan semua ini.

Saka berdesis di depan wajah Rina. "Kenapa? Kenapa kau menghancurkan acara pernikahanku?"

Tidak takut, Rina malah mendengus sinis. "Kamu pikir aku akan diam dengan apa yang kamu lakukan padaku, Ka? Tidak akan. Aku butuh keadilan akan sikap yang telah kamu perbuat padaku dan Zahra."

Rina melirik ruang kerja Aska di mana kakak suaminya ini tadi berlalu, berharap pria itu akan keluar dari sana. Sayangnya Rina lupa jika ruang kerja Aska kedap suara.

Oh, tidak. Kenapa dia bisa lupa? Baiklah. Sepertinya Rina harus mencari cara lain.

"Itu adalah salahmu sendiri karena tidak mengizinkan aku untuk menikah lagi. Kalau saja ... kalau saja kamu mengizinkan aku untuk menikah lagi, aku tidak akan mentalakmu."

"Kamu pikir aku mau dimadu? Tidak Sudi. Lebih baik aku membunuhmu daripada aku menerima madumu," ucap Rina berapi-api.

"Kurang ajar," desis Saka.

Rina tersenyum sinis. "Kamu memang hanya menuruti nafsumu, Ka. Buktinya kamu tidak mengatakan hal yang jujur mengenai statusmu yang masih beristri pada keluarga wanita itu. Bahkan pada wanita itu." Masih dalam keadaan tercekik, Rina berusaha bersikap tidak lemah di hadapan Saka.

"Seharusnya mereka tidak mempermasalahkan kedatanganku tadi bukan kalau kamu memang berniat untuk memaduku? Nyatanya, mereka pun kamu bohongi. Jangan mengatasnamakan Sunnah Rasul jika keinginan bejatmu hanya untuk calap-celup lobang sana sini."

"Ah. Sialan." Saka melepaskan tangannya dari cengkeraman di leher Rina, membuat perempuan itu jatuh terduduk dan terbatuk.

Rina mendongak menatap Saka yang tampak frustrasi. "Aku tidak akan membiarkan kamu berbahagia semudah itu setelah apa yang telah kamu lakukan padaku, Ka."

Saka berbalik. "Kamu mengancamku?"

Rina bangkit perlahan meski sedikit kesusahan. "Terserah kamu mau mengatakan apa. Yang harus kamu tahu, tidak ada seorang perempuan pun yang menyukai pengkhianatan."

Saka berteriak. Kali ini pria itu yang pergi dari hadapan Rina. Menaiki tangga menuju kamarnya di rumah sang kakak pada lantai atas.

***

Ibu Susi melangkah ke rumah putrinya dengan keadaan tergesa-gesa. Setelah tadi dia mendatangi acara tetangganya—Pak Baron dan menyaksikan insiden di sana, dia ingin segera menemui putrinya.

"Fira, Safira," panggilnya dengan mengetuk pintu cokelat di hadapannya dengan keras. "Fir, cepet buka pintunya, Fir. Ada sesuatu yang mau Ibu bicarakan nih."

Perempuan dengan tubuh sedikit berisi itu mengetuk tanpa henti. Beberapa kali mengintip ke dalam rumah melalui kaca. "Fir. Buka pintunya."

"Iya." Jawaban dari dalam menerbitkan senyum Bu Susi. Dia semakin menjadi tidak sabar menemui Safira dan membicarakan hal yang telah dia dapati di rumah Pak Baron. Tidak lama pintu terbuka, menampilkan sosok putrinya dengan muka bantal.

"Ya Ampun. Kamu baru bangun?"

Safira menguap. "Apaan, Bu. Fira baru saja tidur setelah cuci baju Ibu malah bangunin. Nggak tahu apa aku masuk shif sore hari ini," gerutunya dengan menggaruk sudut bibirnya.

Ibu Susi berdecak. "Mana suamimu?"

"Ya kerjalah, Bu."

"Oh, iya." Detik selanjutnya Ibu Susi mengingat akan tujuannya datang ke kediaman sang anak. Tanpa kata dia menarik tangan Safira memasuki rumah.

"Ada apa, sih, Bu? Kenapa tarik-tarik gini?"

Ibu Susi duduk pada sofa dan mengajak anaknya turut serta. "Ibu ada berita."

Safira memutar bola matanya malas. "Jadi Ibu ke sini mau ngajakin aku bergosip? Nanti saja deh, Bu. Aku ngantuk. Nanti kerja masuk sore aku."

"Eh, ini penting. Ini berita mengenai Nada."

"Nada kenapa? Nada udah nikah? Udah resmi jadi istri bos?" tanyanya malas.

"Eh, Bukan. Boro-boro jadi istri, Bos. Pernikahannya gagal tahu."

Kening Safira terlipat. "Gagal? Maksudnya?"

"Ternyata yang kamu omongin itu benar mengenai status bosmu yang nggak jelas itu. Tadi waktu acara akad dimulai, tiba-tiba ada perempuan hadir yang menghentikan acaranya. Katanya sih dia istrinya Saka. Calon suami Nada itu."

Bola mata Safira melotot seketika. "Yang bener, Bu?"

Ibu Susi mengangguk semangat. "Ah senengnya," seru Safira dengan bahagia. "Biar mereka rasakan malu itu, Bu. Siapa suruh dulu kakaknya menolak cintaku. Sekarang akibatnya mereka terima."

"Kamu benar. Ibu nggak bisa bayangin bagaimana malunya dia."

"Eh, Bu. Sebenarnya ada gosip lagi sih di kantor."

"Apa?"

"Fira sempat mendengar kalau Nada itu sudah hamil, Bu."

Bola mata Ibu Susi melotot lebar. "Yang bener kamu, Fir?"

Fira mengedikkan bahu. "Yang Fira dengar sih begitu. Sekarang Ibu coba pikir. Dua orang berbeda jenis, sering liburan bareng sampai menginap. Menurut Ibu apa yang mereka lakukan kalau bukan itu," ucap Fira menjelaskan analisisnya dengan menekan kata itu.

"Salah satu OB kantor juga pernah diminta Pak Saka buat beliin tespack sebanyak lima buah. Terus ada salah satu karyawan juga pernah nggak sengaja lihat Nada masuk ke mobil Pak Saka sepulang kerja. Dan di hari yang sama karyawan lain melihat mobil itu memasuki area rumah sakit."

Senyum Bu Susi semakin mengembang. "Wah. Ini akan menjadi berita yang sangat menakjubkan di kalangan ibu-ibu besok, Fir." Jangan heran ya para pembaca kalau Ibu Susi terlihat antusias sekali. Karena nyatanya dia memang penggemar gosip. Tentu saja semangatnya akan menggebu ketika menemukan bahan gosipan baru.

"Pasti heboh ini." Perempuan itu sampai menangkup kedua tangannya di bawah dagu. Sebuah ide muncul membuat dia menganga lebar.

Satu tangan menjetikkan jari. "Nada si kembang desa yang diperebutkan banyak pria hamil di luar nikah dengan laki-laki yang masih berstatus suami orang. Wah, judulnya keren."

"Ibu mah emang paling jago bikin kampung kita ramai."

"Ya jelas dong. Apalagi kalau beritanya mengenai seseorang yang cukup terkenal. Pasti heboh. Seperti sebelumnya, di mana kakak Nada ditangkap polisi gara-gara—"

"Alah, Bu. Jangan bicarakan pria itu. Sakit hati aku mendengarnya," potong Safira ketika ibunya kembali membicarakan kakaknya Nada.

Tatapan Ibu Susi memicing pada putrinya. "Jangan bilang kamu masih menyukai kakaknya Nada."

Bola mata Safira melotot seketika, dia memandang ibunya tidak suka. "Apaan. Deh, Bu. Mana mungkin aku masih suka sama dia."

Tatapan Ibu Susi awas, jari telunjuknya terangkat mengarah pada putrinya. "Awas aja kamu masih menyimpan rasa sama dia. Ingat. Kamu sudah punya suami."

"Ye, Ibu. Siapa juga yang suka sama dia. Sekarang aja dia dipenjara. Nanti kalau keluar, kan dia mantan napi, Bu. Aku tuh hanya masih sakit hati sama dia yang udah nolak aku. Malah milih orang yang salah."

"Ibu pegang ya kata-kata kamu. Awas saja kalau sampai masih suka sama Kakaknya Nada."

"Iya, enggak."

"Ya udah kamu tidur lagi sana. Makasih buat infonya. Ibu jadi makin tidak sabar untuk belanja besok. Udah ah. Ibu pulang dulu." Setelah ibunya berlalu, Safira menutup pintu dan kembali melanjutkan tidurnya.

***

"Maafkan sikap adik Kakak, Rin." Aska berujar tanpa menatap lawan bicaranya. Dia hanya terfokus pada sosok gadis kecil yang tengah tak sadarkan diri di atas brankar.

Rina masih diam, tidak ingin menjawab ucapan Aska. "Sakit apa Zahra?" tanya Aska ketika Rina hanya diam saja.

"Tipes," jawab Rina pada Aska.

Aska mendekati Zahra, mengecup sayang kening keponakannya. "Semoga lekas sembuh, Sayang. Maafkan Paman yang tidak bisa menjagamu."

Kali ini Aska menghadap Rina. "Kakak pergi dulu, Rin." Perempuan itu hanya mengangguk.

Suara pintu tertutup menandakan kalau Aska telah pergi dari ruangan ini. Rina memandang sendu putrinya yang tengah terbaring lemah. Dia menggenggam erat tangan mungil itu. "Mama janji akan selalu menyayangi kamu dan menjaga kamu, Sayang."

Kepala Rina menoleh ke samping. Pandangannya jatuh pada pohon di luar ruangan yang terlihat dari jendela kaca bening berukuran setengah meter. Fokusnya pada pergerakan dedaunan yang menari karena angin.

Memejamkan mata, kilasan kejadian beberapa tahun silam berputar di otaknya. Air mata jatuh dari pelupuk mata yang tertutup kelopak. "Aku janji, Kak. Aku akan membalas sakit yang telah Kakak terima."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Bukan Pelakor   84. Akhir Dari Segalanya

    Aska dan Nada menyalami tangan Pak Baron dan Bu Mila. Setelah pernikahannya yang berjalan dua hari lalu, hari ini sesuai jadwal Aska akan mengajak Nada untuk bulan madu sebagai kado pernikahan mereka. "Hati-hati di jalan, ya. Ingat. Jangan bertengkar." Pak Baron memberi pesan pada anak dan menantunya.Aska dan Nada mengangguk bersama-sama. "Iya, Pak." Pasangan suami istri itu berjalan bersama menaiki mobil Aska. Keduanya duduk pada bangku belakang karena kali ini mobil dikemudikan oleh sopir.Nada merangkul lengan sang suami. "Memangnya kita mau ke mana sih? Kamu belum memberi tahu aku loh kita mau ke mana-mananya. Kamu cuma bilang kalau kita mau bulan madu."Aska tersenyum. "Namanya juga kerutan.""Ih kamu mah." Nada mencubit pelan lengan suaminya. Aska pun terkekeh. "Ciba tebak aja dong. Kalau benar, nanti aku tambahin hari dalam bulan madu kita," ujar Aska kemudian."Kalau itu sih maunya kamu." Keduanya pun tertawa.Namun, Nada tampak berpikir. Dia menidurkan kepala di pundak san

  • Aku Bukan Pelakor   83. Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

    Safira sedang berdiri di sudut tempat memerhatikan keluarga Pak Baron yang sedang mengadakan sesi foto dengan para pengantin. Bukan, bukan karena dia ingin ikut berfoto, tetapi karena dia sedang menunggu seorang perempuan yang kini juga sedang ikut berfoto. Kalian tentu tahu siapa.Safira mengentakkan kakinya karena kesal. "His. lama banget sih mereka foto-foto. Nggak penting banget deh." Dia melipat tangan dengan menunjukkan ekspresi kesalnya.Dia masih menunggu. Beberapa saat kemudian dia langsung menerbitkan senyum kala melihat seseorang yang dia tunggu berjalan ke arah dirinya. Entah mau ke mana yang jelas pasti perempuan itu akan melewati dirinya.Tepat ketika Rina. Orang yang sejak tadi dia tunggu melewati Safira, perempuan itu langsung meraih lengan Rina. Rina yang terkejut pun langsung menatap ke arah tanganya lalu menatap pelaku itu.Dia lagsung mengembuskan napas kasar kala melihat keberadaan Safia di sana. "Mau apa kamu?" tanyanya dengan malas."Kamu ikut aku sebentar," uja

  • Aku Bukan Pelakor   82. Sah

    Nada yang sedang menangis di pelukan kakaknya melihat keberadaan sang bapak dan ibunya di ambang pintu. Dia pun melepaskan pelukannya pada Reno. "Bapak? Ibu?" panggilnya yang membuat Tari dan Reno langsung mengalihkan pandangan. Mereka melihat kedua orang tua mereka di sana.Pak Baron dan Bu Mila tersenyum ke arah ketiga anaknya. Mereka berjalan mendekat, lebih tepatnya mendekati Nada. Reno dan Tari yang paham pun mulai menyingkir sebentar. Berdiri di depan Nada tepat, lalu menatap perempuan itu lekat-lekat.Pak Baron merasa terharu dengan keadaan ini. Keadaan yang pernah mereka lewati tetapi berakhir tragis. Pak Baron menangkup wajah Nada. "Maafkan untuk semua kesalahan yang pernah bapak perbuat sama kamu sehingga kamu melewati semua hal berat ini." Dia berujar lirih.Nada menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Nada yang harusnya meminta maaf karena Nada menyusahkan Bapak. Menyusahkan Ibu. Nada berterima kasih pada kalian atas semua yang pernah kalian beri untuk Nada," ujar perempuan itu den

  • Aku Bukan Pelakor   81. Pergi ke Makam

    "Aku akan menikah dengan Nada," ujar Aska. Ekspresinya datar dengan pandangan tajam mengarah ke depan. Tepatnya pada sosok pria yang memakai seragam tahanan. Siapa lagi kalau buka Saka?Saka yang mendengar itu hanya bisa diam tertunduk. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Kesalahannya di masa lalu benar-benar membuat Saka menyesal dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Dia telah menjadi penyebab kematian dari darah dagingnya sendiri dan membuat perempuan yang dia cintai kecewa juga marah padanya.Lantas, apakah ada hak untuk Saka meminta Aska untuk tak melanjutkan rencana yang baru saja dikatakan padanya itu?"Untuk apa kau mengatakannya padaku? Bukankah sejak lama kau memang ingin bersama dengan dia?" tanya Saka.Aska melipat tangan di depan dada. "Ya. Aku hanya ingin kau tahu saja." Tak banyak yang dikatakan oleh Aska. Pria itu hanya datang untuk memberitahu hal ini. Bukan untuk menjenguk sang adik. Bahkan sesuatu pun tidak dia bawakan untuk Saka."Aku harap ka

  • Aku Bukan Pelakor   80 Menemui Danu

    Harapan telah terkabul. Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya kini Nada sudah membuka matanya. Iris itu tampak bergerak memandangi keadaan sekitar dan mencari tahu keberadaan dirinya di mana saat ini. Yang Nada ingat adalah kali terakhir dia yang sedang disekap oleh seseorang yang tak lain adallah ayah dari sosok Alva.Nada menggerang kala merasakan sakit di kepala. "Aku di mana?" tanyanya kemudian.Aska yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat pergerakan dari atas brankar milik Nada. Dia menyadari kalau kekasihnya kini sudah sadarkan diri. "Nada," panggil Aska yang langsung berlari mendekati Nadda."Kak Aska," panggil Nada dengan suara yang sangat lirih."Kamu sudah sadar, Sayang? Kamu sudah bangun. Sebentar. Aku akan panggilkan dokter untuk kamu," ujar pria itu dengan menekan sebuah tombol yang ada di bagian belakang brankar dan menempel pada tembok.Aska mendengar desisan dari Nada. "Sabar, Sayang. Sabar. Dokter akan segera datang."Pria itu duduk di samping brank

  • Aku Bukan Pelakor   79. Perawatan Nada

    Sejak Nada memasuki rumah sakit dan tak sadarkan diri, Aska tak pernah sekalipun meninggalkan kekasihnya itu. Duduk pada kursi di samping brankar, Aska terus menggenggam tangan Nada dan menempelkan di pipinya. Pandangan Aska terus tertuju pada Nada seolah pria itu tak ingin lagi kehilangan kekasihnya."Bangun, Sayang. Bangun. Kamu harus segera sadar," ujar Aska. Salah satu tangan pria itu harus diperban karena luka akibat terlalu banyak memukul Danu sampai lepas kendali."Sayang. Setelah ini kita harus mengadakan pernikahan. Aku tidak mau ditunda lagi apa pun alasannya nanti," ujar Aska. Pria itu seperti sedang berbicara secara langsung pada Nada. Tatapannya penuh ancaman dan nada bicaranya penuh penekanan.Aska mencium tangan Nada dengan penuh cinta. "Bangun lah. Bukankah kau sudah mendapat perawatan? Kau pernah di posisi yang lebih berbahaya dari ini dan kau bisa melewatinya. Kau cepat bangun tapi kenapa rasanya lama sekali bangunnya. Kau tahu? Aku sampai mengantuk," ujar Aska sedik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status