Share

3. Kabar Burung

Saka bangkit lalu menatap Rina tajam. Dia mendesis penuh kemarahan. Dengan langkah lebar dia mendekati perempuan itu. Tanpa diduga, Saka mendorongnya sampai punggung membentur dinding, mencekik leher mantan istrinya.

Rina yang sudah menduga hal ini akan terjadi masih tampak tenang meksipun lehernya sudah terasa sakit. Bahkan sejak Saka memandang dirinya tajam, dia sudah siap dengan semua ini.

Saka berdesis di depan wajah Rina. "Kenapa? Kenapa kau menghancurkan acara pernikahanku?"

Tidak takut, Rina malah mendengus sinis. "Kamu pikir aku akan diam dengan apa yang kamu lakukan padaku, Ka? Tidak akan. Aku butuh keadilan akan sikap yang telah kamu perbuat padaku dan Zahra."

Rina melirik ruang kerja Aska di mana kakak suaminya ini tadi berlalu, berharap pria itu akan keluar dari sana. Sayangnya Rina lupa jika ruang kerja Aska kedap suara.

Oh, tidak. Kenapa dia bisa lupa? Baiklah. Sepertinya Rina harus mencari cara lain.

"Itu adalah salahmu sendiri karena tidak mengizinkan aku untuk menikah lagi. Kalau saja ... kalau saja kamu mengizinkan aku untuk menikah lagi, aku tidak akan mentalakmu."

"Kamu pikir aku mau dimadu? Tidak Sudi. Lebih baik aku membunuhmu daripada aku menerima madumu," ucap Rina berapi-api.

"Kurang ajar," desis Saka.

Rina tersenyum sinis. "Kamu memang hanya menuruti nafsumu, Ka. Buktinya kamu tidak mengatakan hal yang jujur mengenai statusmu yang masih beristri pada keluarga wanita itu. Bahkan pada wanita itu." Masih dalam keadaan tercekik, Rina berusaha bersikap tidak lemah di hadapan Saka.

"Seharusnya mereka tidak mempermasalahkan kedatanganku tadi bukan kalau kamu memang berniat untuk memaduku? Nyatanya, mereka pun kamu bohongi. Jangan mengatasnamakan Sunnah Rasul jika keinginan bejatmu hanya untuk calap-celup lobang sana sini."

"Ah. Sialan." Saka melepaskan tangannya dari cengkeraman di leher Rina, membuat perempuan itu jatuh terduduk dan terbatuk.

Rina mendongak menatap Saka yang tampak frustrasi. "Aku tidak akan membiarkan kamu berbahagia semudah itu setelah apa yang telah kamu lakukan padaku, Ka."

Saka berbalik. "Kamu mengancamku?"

Rina bangkit perlahan meski sedikit kesusahan. "Terserah kamu mau mengatakan apa. Yang harus kamu tahu, tidak ada seorang perempuan pun yang menyukai pengkhianatan."

Saka berteriak. Kali ini pria itu yang pergi dari hadapan Rina. Menaiki tangga menuju kamarnya di rumah sang kakak pada lantai atas.

***

Ibu Susi melangkah ke rumah putrinya dengan keadaan tergesa-gesa. Setelah tadi dia mendatangi acara tetangganya—Pak Baron dan menyaksikan insiden di sana, dia ingin segera menemui putrinya.

"Fira, Safira," panggilnya dengan mengetuk pintu cokelat di hadapannya dengan keras. "Fir, cepet buka pintunya, Fir. Ada sesuatu yang mau Ibu bicarakan nih."

Perempuan dengan tubuh sedikit berisi itu mengetuk tanpa henti. Beberapa kali mengintip ke dalam rumah melalui kaca. "Fir. Buka pintunya."

"Iya." Jawaban dari dalam menerbitkan senyum Bu Susi. Dia semakin menjadi tidak sabar menemui Safira dan membicarakan hal yang telah dia dapati di rumah Pak Baron. Tidak lama pintu terbuka, menampilkan sosok putrinya dengan muka bantal.

"Ya Ampun. Kamu baru bangun?"

Safira menguap. "Apaan, Bu. Fira baru saja tidur setelah cuci baju Ibu malah bangunin. Nggak tahu apa aku masuk shif sore hari ini," gerutunya dengan menggaruk sudut bibirnya.

Ibu Susi berdecak. "Mana suamimu?"

"Ya kerjalah, Bu."

"Oh, iya." Detik selanjutnya Ibu Susi mengingat akan tujuannya datang ke kediaman sang anak. Tanpa kata dia menarik tangan Safira memasuki rumah.

"Ada apa, sih, Bu? Kenapa tarik-tarik gini?"

Ibu Susi duduk pada sofa dan mengajak anaknya turut serta. "Ibu ada berita."

Safira memutar bola matanya malas. "Jadi Ibu ke sini mau ngajakin aku bergosip? Nanti saja deh, Bu. Aku ngantuk. Nanti kerja masuk sore aku."

"Eh, ini penting. Ini berita mengenai Nada."

"Nada kenapa? Nada udah nikah? Udah resmi jadi istri bos?" tanyanya malas.

"Eh, Bukan. Boro-boro jadi istri, Bos. Pernikahannya gagal tahu."

Kening Safira terlipat. "Gagal? Maksudnya?"

"Ternyata yang kamu omongin itu benar mengenai status bosmu yang nggak jelas itu. Tadi waktu acara akad dimulai, tiba-tiba ada perempuan hadir yang menghentikan acaranya. Katanya sih dia istrinya Saka. Calon suami Nada itu."

Bola mata Safira melotot seketika. "Yang bener, Bu?"

Ibu Susi mengangguk semangat. "Ah senengnya," seru Safira dengan bahagia. "Biar mereka rasakan malu itu, Bu. Siapa suruh dulu kakaknya menolak cintaku. Sekarang akibatnya mereka terima."

"Kamu benar. Ibu nggak bisa bayangin bagaimana malunya dia."

"Eh, Bu. Sebenarnya ada gosip lagi sih di kantor."

"Apa?"

"Fira sempat mendengar kalau Nada itu sudah hamil, Bu."

Bola mata Ibu Susi melotot lebar. "Yang bener kamu, Fir?"

Fira mengedikkan bahu. "Yang Fira dengar sih begitu. Sekarang Ibu coba pikir. Dua orang berbeda jenis, sering liburan bareng sampai menginap. Menurut Ibu apa yang mereka lakukan kalau bukan itu," ucap Fira menjelaskan analisisnya dengan menekan kata itu.

"Salah satu OB kantor juga pernah diminta Pak Saka buat beliin tespack sebanyak lima buah. Terus ada salah satu karyawan juga pernah nggak sengaja lihat Nada masuk ke mobil Pak Saka sepulang kerja. Dan di hari yang sama karyawan lain melihat mobil itu memasuki area rumah sakit."

Senyum Bu Susi semakin mengembang. "Wah. Ini akan menjadi berita yang sangat menakjubkan di kalangan ibu-ibu besok, Fir." Jangan heran ya para pembaca kalau Ibu Susi terlihat antusias sekali. Karena nyatanya dia memang penggemar gosip. Tentu saja semangatnya akan menggebu ketika menemukan bahan gosipan baru.

"Pasti heboh ini." Perempuan itu sampai menangkup kedua tangannya di bawah dagu. Sebuah ide muncul membuat dia menganga lebar.

Satu tangan menjetikkan jari. "Nada si kembang desa yang diperebutkan banyak pria hamil di luar nikah dengan laki-laki yang masih berstatus suami orang. Wah, judulnya keren."

"Ibu mah emang paling jago bikin kampung kita ramai."

"Ya jelas dong. Apalagi kalau beritanya mengenai seseorang yang cukup terkenal. Pasti heboh. Seperti sebelumnya, di mana kakak Nada ditangkap polisi gara-gara—"

"Alah, Bu. Jangan bicarakan pria itu. Sakit hati aku mendengarnya," potong Safira ketika ibunya kembali membicarakan kakaknya Nada.

Tatapan Ibu Susi memicing pada putrinya. "Jangan bilang kamu masih menyukai kakaknya Nada."

Bola mata Safira melotot seketika, dia memandang ibunya tidak suka. "Apaan. Deh, Bu. Mana mungkin aku masih suka sama dia."

Tatapan Ibu Susi awas, jari telunjuknya terangkat mengarah pada putrinya. "Awas aja kamu masih menyimpan rasa sama dia. Ingat. Kamu sudah punya suami."

"Ye, Ibu. Siapa juga yang suka sama dia. Sekarang aja dia dipenjara. Nanti kalau keluar, kan dia mantan napi, Bu. Aku tuh hanya masih sakit hati sama dia yang udah nolak aku. Malah milih orang yang salah."

"Ibu pegang ya kata-kata kamu. Awas saja kalau sampai masih suka sama Kakaknya Nada."

"Iya, enggak."

"Ya udah kamu tidur lagi sana. Makasih buat infonya. Ibu jadi makin tidak sabar untuk belanja besok. Udah ah. Ibu pulang dulu." Setelah ibunya berlalu, Safira menutup pintu dan kembali melanjutkan tidurnya.

***

"Maafkan sikap adik Kakak, Rin." Aska berujar tanpa menatap lawan bicaranya. Dia hanya terfokus pada sosok gadis kecil yang tengah tak sadarkan diri di atas brankar.

Rina masih diam, tidak ingin menjawab ucapan Aska. "Sakit apa Zahra?" tanya Aska ketika Rina hanya diam saja.

"Tipes," jawab Rina pada Aska.

Aska mendekati Zahra, mengecup sayang kening keponakannya. "Semoga lekas sembuh, Sayang. Maafkan Paman yang tidak bisa menjagamu."

Kali ini Aska menghadap Rina. "Kakak pergi dulu, Rin." Perempuan itu hanya mengangguk.

Suara pintu tertutup menandakan kalau Aska telah pergi dari ruangan ini. Rina memandang sendu putrinya yang tengah terbaring lemah. Dia menggenggam erat tangan mungil itu. "Mama janji akan selalu menyayangi kamu dan menjaga kamu, Sayang."

Kepala Rina menoleh ke samping. Pandangannya jatuh pada pohon di luar ruangan yang terlihat dari jendela kaca bening berukuran setengah meter. Fokusnya pada pergerakan dedaunan yang menari karena angin.

Memejamkan mata, kilasan kejadian beberapa tahun silam berputar di otaknya. Air mata jatuh dari pelupuk mata yang tertutup kelopak. "Aku janji, Kak. Aku akan membalas sakit yang telah Kakak terima."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status