Menurut pasal 459 UU 1/2023 mengenai pasal pembunuhan terencana yang didakwakan pada Saka dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, dengan kurun waktu paling lama dua puluh tahun."Om. Tolong saya, Om. Tolong bebaskan saya dari sini. Atau setidaknya mengurangi masa hukuman saya." Aska memohon pada sosok pria tambun berkacamata yang hari ini mengunjungi dirinya di penjara. Dia tak lain adalah pengacara keluarga Bagaska.Terdengar helaan napas dari pria yang berprofesi sebagai pengacara itu. Dia melepaskan kacamata yang dia kenakan dan menatap Saka dengan sendu. "Maaf, Saka. Untuk kali ini saya tidak bisa menolong kamu. Saya ada di pihak kakak kamu di mana dia melaporkan kamu dengan pasal pembunuhan berencana," ujarnya menjelaskan."Tapi aku tidak merencanakan pembunuhan itu, Om." Saka menyangkal dengan apa yang telah dia lakukan. "Aku tidak sengaja membunuh anakku. Nada datang untuk menyelamatkan Kakak sehin---""Itula
Saka hanya bisa duduk dengan menyandar pada dinding di belakangnya. Tatapannya tampak kosong, tetapi di balik benak sana dia memikirkan banyak hal. Saka bertanya-tanya, selama dia berada di dalam sini, dia tak lagi bisa mengetahui kabar Nada dan kondisi perempuan itu."Mungkin sekarang dia sudah sangat membenciku karena hal ini." Dia berbicara sendiri. Lagi.Suara bebenturan besi terdengar. Saka menoleh dan melihat seorang petugas yang datang. "Ada yang datang ingin menemui kamu," ujar pria berseragam itu.Satu kalimat itu hanya membuat Saka mengembuskan napasnya kasar. Pria itu terasa malas untuk bangkit dari tempat duduknya. Namun, dia tetap melakukannya. Dia berjalan pelan sembari menunduk ke arah ruang besuk.Tepat saat dia sampai di ruang besuk, Saka mendongak dan membuat matanya melotot lebar. "Kamu?" Suara teriakan itu membuat hatinya terasa nyeri. Dan dia adalah Nada. Dari suaranya yang terdengar jelas rasa terkejut itu, membuat Saka berta
Thomi terkejut tak kala Rina menanyakan hal itu pada dirinya. Dia bingung harus mengatakan apa saat ini. Sebelumnya tak pernah Thomi mengira kalau dirinya akan ketahuan mengenai hal ini. "Jelaskan!" teriak Rina sekali lagi. Beruntung kamar putrinya cukup jauh dari teras sehingga Zahra tidak akan mendengar teriakannya. Tampak Thomi yang memejamkan matanya rapat-rapat lalu mengembuskan napas kasar sekali. "Maaf." Itu adalah kata pertama yang dikatakan oleh Thomi.Bola mata Rina semakin melotot. Kata maaf itu sudah menunjukkan kalau Thomi bersalah. Dalam data itu mengatakan kalau selama ini Thomi memberikan sejumlah uang pada perempuan yang diduga adalah selingkuhan dari mendiang kakaknya setiap bulan."Katakan yang jelas!" Rina kembali berteriak."Aku diminta untuk memberikan uang pada perempuan itu sejak lama. Bahkan sebelum kakak kamu meninggal. Mereka saling menyukai dan tidak bisa bersama. Apalagi dengan kehadiran anak di antara merek
Lima bulan kemudian.***"Aduh. Pusing," ujar Tari. Perempuan itu tampak frustrasi dengan pekerjaan yang ada di hadapannya. Duduk pada bayang yang ada di depan kontrakan Nada, lalu menyandarkan punggung pada dinding dan kepala mendongak, mulutnya tampak terbuka dengan lebar.Reno yang kebetulan baru keluar melihat kelakuan adiknya itu mengulum senyum. Dia sedikit menyesap teh yang baru saja dibuatnya itu. Setelahnya dia melompati pagar dan ikut duduk di samping adiknya."Ngapin kamu?" tanya Reno yang berhasil mengejutkan Tari. Ingin sekali dia tertawa jika tidak sedang menikmati tehnya.Entah apa yang membuat Tari pikirannya penuh sampai kakaknya datang saja dia tidak tahu. Tari memukul pundak kakaknya dengan menggerutu. "Kakak mah ngagetin aja. Tari lagi pusing juga.""Kamu kenapa sih emang?" Reno mengangkat dagu menunggu jawaban sang adik."Ini nih." Tari menjawab dengan menunjuk ke arah laptop yang ada di hadapannya.
Kedatangan mobil ke rumah Pak Baron tentu saja mendapat perhatian dari beberapa warga yang ada di sekitar sana. Aduh. Kebetulan sekali ada si biang gosip lewat bersama anak dan cucunya. Pandangannya langsung tertuju pada mobil Aska dengan ekspresi yang sangat ingin tahu."Kayak kenal tuh mobil," ujarnya dengan senyum mengembang."Ada apa sih, Bu?" tanya Safira yang baru sadar kalau ibunya tak melanjutkan perjalanan.Pandangan Bu Susi masih mengarah pada mobil di halaman rumah Pak Baron. Dia berujar, "Itu tuh. Mobilnya kayak kenal. Kayak pernah lihat gitu." Tangannya menunjuk ke arah mobil di depan sana.Safira ikut menoleh dan memerhatikan apa yang dikatakan oleh ibunya. "Itu, kan mobilnya Pak Aska," ujarnya kemudian. Ya. Dia memang sering melihat jika pemilik perusahaan itu berkunjung ke perusahaannya."Aska? Atasan kamu?" Bu Susi melihat putrinya mengangguk."Berarti saudaranya pria yang dulu mau nikahi Nada tapi nggak jadi kar
Nada dan Salsa baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Mereka masih bekerja di tempat yang sama yaitu rumah makan. Tampak Salsa yang menaik turunkan alisnya beberapa kali ketika mereka hampir sampai di kontrakan. Pasalnya, mereka sudah melihat keberadaan mobil Aska yang terparkir di sana.Salsa menyenggol lengan Nada dengan wajah penuh ejekan. "Cie, udah diapelin aja tuh."Nada menyembunyikan wajah malunya. Entah kenapa akhir-akhir ini dia selalu malu sendiri kalau diejek mengenai Aska. "Apaan sih, Sal? Kak Aska datang itu karena kita mau ke rumah sakit sebab bapak aku hari ini, kan sudah boleh pulang." Nada menjelaskan pada sahabatnya.Tampak wajah bahagia Nada yang terlihat sangat jelas. "Aku seneng banget dengan kondisi keluarga aku sekarang. Akhirnya kita bisa kumpul lagi nggak terpisah kayak kemarin." Dia menggenggam kedua telapak tangan dan menempatkannya di bawah dagu.Tampak ekspresi Salsa yang kali ini berubah menjadi murung. Seperti ad
Suara tawa terdengar dari karyawan Reno yang sedang menangani mobil Rina. Pria itu merasa senang dan juga lucu dengan kalimat polos yang diucapkan oleh gadis kecil yang tak lain adalah anak dari perempuan yang bosnya sukai.Sedangkan Reno sendiri langsung merasa malu dan salah tingkah. Lagi, dia melempar lap kotor yang ada di sampingnya pada sang karyawan kala pegawainya itu terus menertawakannya. Tampak pria itu yang mengalihkan pandangan tak ingin menatap Rina.Sedangkan Rina sendiri mengerutkan kening kala mendengar kata-kata putrinya. Dia sedikit menoleh ke arah Reno dan melihat pria itu yang menggaruk belakang kepalanya sembari menghindari pandangan darinya.Rina menatap putrinya kembali. "Benar Om Reno bilang gitu?" tanyanya kemudin.Zahra mengangguk beberapa kali. "Iya. Om Reno tanya sama Zahra. Katanya, Om Reno pengen jadi papanya Zahra. Kira-kira boleh nggak kalau Om Reno jadi papanya Zahra? Gitu." Zahra menceritakannya dengan detail pada sang mama.Rina mengangguk. Dia pun me
"Rina! Zahra!" Belum juga berhenti motor yang dia kendarai, Reno sudah berteriak memanggil nama dua wanita yang kini masuk dalam kehidupannya. Pria itu menunjukkan ekspresi bahagia yang sangat kentara sekali.Sedang Rina dan Zahra yang baru saja dipanggil langsung menoleh. Mereka sama-sama merasa heran dengan sikap Reno. "Itu Papa, Ma." Ya. Zahra menyetujui keinginan Reno agar dia memanggil pria itu dengan sebutan papa."Kenapa itu?" Rina bertanya dengan penasaran. Mereka pun memutuskan untuk menunggu sebelum memasuki mobil. Memang, saat ini Rina baru saja menjemput putrinya pulang sekolah.Reno segera menurunkan standart motornya dan berlari mendekati Rina juga Zahra. Napasnya memburu seperti baru saja lari. Padahal, kan naik motoor. "Ada apa? Kenapa kamu seperti baru dikejar hantu begitu?" Rina bertanya dengan kerutan di kening yang sedikit terlihat.Reno masih tersenyum dan berusaha mengendalikan napasnya yang tidak beraturan. "Rina. Keluarga aku akan melamar kamu secepatnya. Jadi,