"Mas Tio!" teriakku.
Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar.
"Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil.
"Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir.
"Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.
Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.
Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.
Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio.
"Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.
Aku yang masih hanyut dalam pikiranku sendiri hanya mengangguk menjawab pertanyaan wanita yang sedang berdiri di depanku saat ini.
Namun, ketika aku akan bangkit untuk kembali ke kamarku, tiba-tiba terdengar suara bel rumah ini berbunyi.
"Biar saya yang membukanya, Mbak." Cegahku ketika melihat Mbak Ayu akan melangkah menuju arah pintu.
"Tapi, Bu—.“
"Tidak apa-apa, Mbak. Biar saya saja yang membukanya," selaku.
Aku kemudian melangkah menuju pintu dan mengabaikan Mbak Ayu yang terlihat binggung.
Karena aku yakin sekali yang datang adalah Mas Tio dan aku ingin menyambutnya sendiri.
"Andreas?" ucapku terkejut ketika melihat yang datang bukan Mas Tio pria yang aku cinta, melainkan orang suruhannya.
"Iya, Bu Andara. Saya Andreas, saya kemari karena diminta Pak Tio untuk memberikan ini kepada ibu," ucapnya sambil memberikan sebuah tas yang dia bawa kepadaku, "Dan Pak Tio tadi juga berpesan, untuk sementara waktu bapak belum bisa datang berkunjung," lanjut Andreas.
Terkejut, kecewa, marah, khawatir dan penasaran. Semua perasaan itu hinggap di hatiku ketika mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh pria yang berdiri di hadapanku saat ini. Karena Mas Tio tidak pernah seperti ini sebelumnya. Lagi pula mengapa dia tidak memberitahuku sendiri tentang hal ini, malah melalui orang suruhannya.
"Belum bisa datang? Apa maksudmu, Andreas? Memangnya Mas Tio pergi ke mana? Atau terjadi sesuatu padanya?" tanyaku panik sekaligus khawatir.
"Maaf, Bu Andara. Kalau masalah itu silahkan ibu tanya sendiri kepada bapak. Saya hanya menyampaikan apa yang bapak katakan," jelas Andreas dingin.
Mendengar penjelasan Andreas, aku merasa seperti ada yang disembunyikan pria itu. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku bukan istri sah Mas Tio, melainkan hanya wanita yang dicintai oleh Mas Tio.
"Maaf, Bu Andara. Apa saya boleh pergi?" tanya Andreas membubarkan lamunanku.
Aku mengangguk menjawab Andreas. Tapi sebelum dia pergi, aku meminta nomor ponsel pria itu, dan dia pun memberikannya.
"Mbak Ayu, ini nomor ponsel Andreas. Tolong mbak simpan," perintahku sambil memberikan secarik kertas yang tadi Andreas berikan yang berisi nomor ponselnya dan tas yang dia bawa untukku dari Mas Tio.
Mbak Ayu yang sepertinya sejak tadi berdiri menungguku menerima kertas dan tas yang aku berikan. Setelah itu aku lalu kembali ke kamarku untuk membersihkan diri dan mendinginkan pikiranku yang kacau.
Cukup lama aku mengguyur tubuhku dengan air pancuran. Sensasi hangat dari air pancuran yang membasahi tubuhku, aku harap bisa mendinginkan pikiran dan hatiku yang kecewa dan marah dengan Mas Tio, tapi nyatanya tidak.
Rasa khawatir dan takut akan mimpi burukku yang aku alami tadi, membuatku berpikir. Bagaimana bila mimpiku benar-benar terjadi dan aku kehilangan Mas Tio? Semua rasa itu benar-benar mengacaukan pikiranku dan membuatku frustasi.
Tok! Tok! Tok!
"Bu Andara, boleh saya masuk?"
"Masuk, Mbak Ayu." Jawabku ketika baru saja akan merebahkan tubuhkku di tempat tidur setelah mandi, "Ada apa, Mbak?" lanjutku begitu melihat Mbak Ayu muncul dari balik pintu.
Mbak Ayu memberitahuku bahwa dia sudah menyiapkan makan malam yang tadi aku berikan kepadanya, dan itu membuatku terkejut. Karena aku tidak merasa memberi wanita itu makanan yang dia maksud sejak kami datang.
Namun, setelah mendengar penjelasan dari wanita itu. Ternyata makanan itu berasal dari tas yang aku berikan kepadanya, atau lebih tepatnya tas yang diberikan Andreas kepadaku dari Mas Tio, dan isi dari tas itu adalah makanan kesukaanku.
Selain itu, Mbak Ayu juga memberiku sebuah amplop kecil yang berasal dari dalam tas pemberian Mas Tio.
"Amplop apa ini, Mbak?"
"Saya juga tidak tahu, Bu. Saya hanya menemukannya di dalam tas yang ibu berikan kepada saya."
Tanpa ingin memperpanjang masalah ini, aku lalu membuka amplop kecil itu. Ternyata di dalam amplop itu terdapat kertas kecil yang berisi permintaan maaf Mas Tio karena tidak bisa menemaniku beberapa hari ke depan. Selain itu, dia juga menuliskan bahwa dia akan menjelaskan alasan dia tidak bisa menemuiku dan menghubungiku untuk sementara waktu ini setelah dia kembali.
Setelah melihat tulisan dalam kertas itu, aku langsung membuangnya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari meja riasku.
Aku sengaja membuangnya karena aku muak dengan apa yang tertulis dalam kertas itu. Baru saja kecewa dan marahku mulai hilang, kini muncul lagi. Bahkan, aku juga ingin mengutuk Mas Tio. Tapi semua itu harus aku tahan karena Mbak Ayu masih ada di dalam di kamarku.
"Nanti saya akan turun, Mbak." Ujarku.
Setelah mendengar jawabanku, Mbak Ayu lalu pergi dari kamarku. Kini tinggal aku sendiri di kamar meratapi nasibku sambil mengusap perutku yang kini telah kosong. Hingga tanpa sadar rasa kantuk mulai menghampiriku.
***
Aku tidak tahu sejak kapan aku tertidur. Ketika aku bangun, waktu sudah menunjukkan tengah malam, dan perutku mulai berteriak.
Sehingga aku memutuskan untuk turun dan memberi makan cacing di perutku. Tapi sebelum turun, aku mengambil ponselku untuk melihat apakah Mas Tio menghubungiku. Tapi aku malah dikejutkan oleh sebuah pesan ketika aku baru saja membuka ponselku.
Sebuah pesan masuk dari orang yang tidak aku harapkan, dan orang itu ternyata benar-benar menghubungiku.
"Balas atau tidak ya," gumamku bimbang sambil menatap pesan dari Anton, atau lebih tepatnya Dokter Anton.
Anton pengirimiku pesan menanyakan keadaanku, dia juga memberitahuku bahwa teman-teman sekolah kami akan bertemu seminggu lagi dan dia mengundangku untuk datang.
Aku yang masih bimbang membalas pesan Anton, tanpa sadar menekan nomor Anton.
Menyadari hal itu, aku langsung memutuskan panggilanku dan meletakkan ponselku di atas meja di samping tempat tidurku.
"Apa yang sudah aku lakukan," sesalku.
Aku yang binggung harus memberi alasan apa pada Anton bila dia menghubungiku balik, akhirnya memutuskan untuk turun. Karena pikiranku benar-benar buntu, dan entah mengapa aku jadi ketakutan bila dia menghubungiku.
"Bu Andara," tanya Mbak Ayu terlihat terkejut melihatku turun.
Mbak Ayu yang tadinya seperti sedang menonton televisi, kini langsung bangkit begitu melihatku. Wanita itu menanyakan mengapa aku turun di tengah malam seperti ini.
Karena tidak mungkin memberitahu Mbak Ayu yang terjadi. Jadi aku mengatakan kepadanya bahwa aku turun ke bawah karena lapar.
Mendengar hal itu, Mbak Ayu segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan untukku, dan aku pun mengikutinya karena tidak ingin sendiri menunggu makananku siap.
"Mbak Ayu, bisakah mbak menemani saya? Saya tidak ingin makan sendiri," ajakku ketika wanita itu akan beranjak pergi setelah menyiapkan makanan untukku.
"Maaf, Bu Andara. Saya—.“
"Tolong temani saya, Mbak." Selaku.
Mbak Ayu yang tadinya terlihat enggan menerima ajakanku, akhirnya mau menemaniku. Walaupun terlihat sekali ada rasa canggung ketika Mbak Ayu duduk menemaniku. Bahkan ketika aku menawarinya untuk makan, dia menolak dengan alasan kenyang. Tapi dia kemudian meminta izin kepadaku untuk memakan buah saja selama menemaniku, dan aku pun mengizinkannya.
"Mbak Ayu, boleh saya tanya sesuatu?" tanyaku di sela-sela makan.
"Boleh, Bu."
"Apa mbak sudah menikah dan memiliki anak?"
Uhuk! Uhuk!
Melihat reaksi Mbak Ayu, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari wanita itu. Tapi aku tidak ingin langsung menilai, dan semoga saja apa yang aku pikirkan salah.
"Ini minum dulu, Mbak." Ucapku sambil memberikan segelas air kepada Mbak Ayu.
Wanita yang ada di depanku saat ini kemudian meneguk air yang aku berikan, tapi terlihat sekali di wajahnya seperti orang binggung.
"Maaf Mbak Ayu kalau pertanyaan saya menyinggung, Mbak. Tapi kalau mbak tidak ingin menjawabnya juga tidak apa-apa," ujarku menyairkan suasana.
"Tidak apa-apa, Bu Andara. Saya hanya, hanya ...," jawab Mbak Ayu dengan suara parau.
Wanita itu bukannya menyelesaikan apa yang dia ingin katakan, tapi malah langsung pergi meninggalkan meja makan dan itu membuatku terkejut.
Karena tidak ingin merasa bersalah dan terjadi apa-apa pada Mbak Ayu. Aku akhirnya tidak meneruskan makanku dan mencarinya. Ternyata wanita itu sedang duduk di taman belakang sambil menangis.
"Mbak Ayu," panggilku.
Wanita yang masih terisak itu kemudian menghapus air matanya dan berbalik menatapku.
"I –iya, Bu Andara. Apa ibu perlu sesuatu?" jawab Mbak Ayu dengan suara yang masih parau.
"Tidak ada, Mbak Ayu. Saya tidak perlu apa-apa," jawabku sambil duduk di samping Mbak Ayu, "Saya mencari mbak karena saya ingin minta maaf dan takut terjadi sesuatu kepada mbak," lanjutku.
Mbak Ayu yang terlihat lesu kemudian menatapku dan air matanya kini jatuh lagi, tapi segera dihapusnya lagi.
"Apa mbak mau berbagi cerita dengan saya? Mungkin dengan begitu bisa mengurangi beban di hati, Mbak." Ujarku berusaha menenangkan Mbak Ayu, "Tapi kalau mbak tidak ingin menceritakannya sekarang tidak apa-apa. Saya minta maaf karena sudah membuat Mbak Ayu menangis," lanjutku.
"Bukan begitu, Bu Andara. Sa –saya."
“Mas Utomo?” ucapku spontan.Melihat Mas Utomo datang ke rumahku membuatku terkejut. Karena aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Bukankah dia tadi mengatakan kepadaku bahwa dia sedang di luar kota? Dan sekarang?“Apa yang anda tunggu lagi Nyonya Clara? Bukankah Tuan Utomo sudah memerintahkan anda untuk pergi dari sini?” usir Alan.Clara yang masih terlihat marah menatap kami semua secara bergantian. Dia lalu pergi dari tempat ini dengan penuh amarah.“Mas Utomo,” sapa Anton ketika kakak tertuaku itu sudah berdiri di hadapan kami.“Apa kalian baik-baik saja?” tanya Mas Utomo sambil menatapku dari atas ke bawah.Aku yang kesal karena sudah dibohongi, memilih untuk masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan dari kakak tertuaku itu.Di dalam rumah aku lalu meminta Mbak Ayu untuk menyiapkan sarapan untuk kami semua, termasuk Alan. Sedangkan Anton dan Mas Utomo masih berada d
“Ternyata kamu kalau makan seperti anak kecil, Andara.” Ucap Anton ketika aku memejamkan mata.Mata yang tadinya terpejam langsung terbuka lebar begitu Anton mengusap ujung bibirku dengan tangannya, dan saat itu juga kedua mata kami saling menatap untuk beberapa detik.“Maaf,” ucapku ketika tersadar.Aku segera mengambil gelas yang berisi susu untuk mengalihkan rasa gugupku. Aku teguk perlahan sambil mengalihkan pandanganku ke arah lain untuk mengurangi rasa canggung yang aku rasakan saat ini.“Ehmmm … Andara, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Anton memecah keheningan di antara kami.“Hmmm.”“Maaf, kalau pertanyaanku ini akan menyinggungmu. Tapi aku hanya ingin tahu, alasan apa yang membuatmu mau menikah siri dengan Martio? Bukankah dulu kalian sama-sama saling menyintai, tapi mengapa kalian hanya menikah siri saja, bukan menikah resmi?”Pertanyaan Anton bagai belati yan
“Anton?” ucapku terkejut ketika melihat siapa yang baru saja berteriak menghentikan Mas Tio dari balik tirai jendela.Melihat dua pria yang saling membenci itu berhadapan, membuatku tidak tenang. Namun, aku juga binggung bagaimana menghentikan semua kekacauan ini.“Siapa kamu berani menghentikanku! Ini rumahku! Dan aku berhak melakukan apapun di rumahku sendiri!” teriak Mas Tio.“Aku tidak tahu ini rumah siapa. Tapi membuat keributan seperti ini sangat mengganggu warga,” ucap Anton.Dua pria yang saling berhadapan itu saling menatap tanpa berkedip, dan itu membuatku semakin khawatir akan terjadi sesuatu. Apalagi aku sangat hapal sekali sikap Mas Tio bila dia marah.“Mbak Ayu, hubungi keamanan lagi. Minta mereka untuk segera ke sini,” perintahku lagi.“Ba –baik, Bu Andara.”Mbak Ayu langsung menghubungi keamanan lagi sesuai apa yang aku perintahkan. Namun, panggilan itu justru tidak diangkat dan itu membuatku semakin panik. Apalagi di luar sana, dua pria yang saling membenci itu tidak
“Apa kamu yakin dengan berita itu, Johan?” tanyaku memastikan.Setelah mendengar jawaban dari Johan, aku segera bergegas mengganti pakaianku dan menuju ke tempat di mana aku akan menemui pria itu.“Mari, Bu Andara.” Ujar Johan begitu melihatku datang.Dari kejauhan aku bisa melihat Mas Tio sedang bertengkar dengan istrinya. Berkali-kali Clara terlihat memaki Mas Tio, dan pria itu hanya diam.“Apa kamu sudah merekam apa yang sedang mereka bicarakan, Johan?”“Sudah, Bu Andara. Saya sudah menyuruh anak buah saya untuk merekamnya.”“Dan, Tuan Peter?”“Tuan Peter ada di ruangannya, Bu Andara.”Aku yang tidak ingin membuang waktu lagi segera menuju ke ruangan orang yang Johan sebut. Dan, orang tersebut juga ternyata sudah menungguku.“Apa semua baik-baik saja, Bu Andara?” tanya Tuan Peter sambil menujuk ke arah leherku.Mengetahui orang lain melihat luka di leherku, rasanya sungguh tidak nyaman, dan aku segera merapikan kembali syal yang aku gunakan untuk menutupi luka itu.“Apa bisa kita l
“Dokter Ricci?” ucapku terkejut ketika melihat orang yang ada di depanku.Pria yang berdiri di depanku terlihat salah tingkah ketika aku menatapnya. Dia lalu pergi dengan tergesa-gesa tanpa mengatakan sepatah katapun kepadaku setelah menatapku beberapa saat.Tapi, mengapa dia tadi memanggilku hanya dengan memanggil namaku? Bukankah dia biasanya memanggilku dengan panggilan ‘Bu Andara’?Memikirkan Dokter Ricci membuatku lupa akan tujuanku datang ke tempat ini. Sehingga aku memilih mengabaikan tentang pria itu dan segera masuk ke dalam kafe.Di dalam kafe, aku mencoba mengirim pesan kepada Dita kembali. Kali ini pesanku dibalas olehnya. Dita memberitahuku bahwa Mas Tio baru saja pergi setelah mendapat telepon dari seseorang. Mengetahui hal itu, aku lalu menghubungi Dita dan memintanya untuk membawa mobil milikku ke kafe di mana aku menunggunya saat ini.“Bu Andara,” panggil Dita ketika aku masih fokus dengan ponselku.Aku yang masih membaca email, meminta Dita untuk duduk dan menungguku
“Pernah, bahkan sering.” Jawab ibu membuatku terkejut, “Dia juga orang yang merekomendasikan dokter untuk ayahmu ketika berobat keluar negeri kemarin,” lanjut ibu sambil menatap ke arah Anton.Aku yang berdiri di samping ibu hanya bisa membeku mendengar apa yang baru saja ibu katakan. Karena aku tidak menyangka pria yang sedang berbincang dengan ayah saat ini, ternyata sudah sangat dekat dengan keluargaku.“Andara,” panggil Anton membubarkan lamunanku, “Apa kamu mau pergi?” lanjutnya.Aku yang enggan untuk menanggapi pertanyaan Anton memilih mengabaikannya dan segera berpamitan dengan ibu dan ayah. Tapi baru saja aku keluar, wanita yang mengaku kakak iparku tiba-tiba mencegahku dan memintaku untuk menunggunya.“Bawa ini, Andara.” Ucap wanita yang mengaku kakak iparku sambil memberi papar bag kepadaku.“Apa ini, Mbak?”“Bawa saja, nanti kamu juga pasti akan membutuhkannya.”Aku yang terburu-buru akhirnya menerima paper bag yang sudah ada di tanganku. Setelah itu aku pamit, dan segera k