Share

Chapter 5

"Mas Tio!" teriakku.

Aku langsung membuka mataku dengan napas terengah-engah dan menatap sekitar.

"Bu Andara, ibu kenapa?" tanya Mbak Ayu yang tiba-tiba muncul sambil berlari kecil.

"Mbak Ayu," panggilku sambil menatap wanita yang sudah berdiri di depanku dengan wajah terlihat khawatir.

"Bu Andara, ada apa? Apa terjadi sesuatu pada ibu?" tanya Mbak Ayu sambil memperhatikanku dari atas hingga bawah.

Aku yang masih bingung dan ketakutan akan kehilangan Mas Tio kemudian bertanya kepada Mbak Ayu tentang keberadaan pria yang sudah aku tunggu sejak tadi. Tapi jawaban dari wanita itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa.

Karena sejak aku pulang hingga detik ini, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, dan semua yang aku alami tadi ternyata hanya mimpi.

Mimpi buruk yang tampak nyata sekali dan itu membuatku takut. Takut mimpi itu terjadi, dan aku akan benar-benar kehilangan Mas Tio.

"Bu Andara, apa ibu baik-baik saja?" tanya Mbak Ayu membubarkan lamunanku.

Aku yang masih hanyut dalam pikiranku sendiri hanya mengangguk menjawab pertanyaan wanita yang sedang berdiri di depanku saat ini.

Namun, ketika aku akan bangkit untuk kembali ke kamarku, tiba-tiba terdengar suara bel rumah ini berbunyi.

"Biar saya yang membukanya, Mbak." Cegahku ketika melihat Mbak Ayu akan melangkah menuju arah pintu.

"Tapi, Bu—.“

"Tidak apa-apa, Mbak. Biar saya saja yang membukanya," selaku.

Aku kemudian melangkah menuju pintu dan mengabaikan Mbak Ayu yang terlihat binggung.

Karena aku yakin sekali yang datang adalah Mas Tio dan aku ingin menyambutnya sendiri.

"Andreas?" ucapku terkejut ketika melihat yang datang bukan Mas Tio pria yang aku cinta, melainkan orang suruhannya.

"Iya, Bu Andara. Saya Andreas, saya kemari karena diminta Pak Tio untuk memberikan ini kepada ibu," ucapnya sambil memberikan sebuah tas yang dia bawa kepadaku, "Dan Pak Tio tadi juga berpesan, untuk sementara waktu bapak belum bisa datang berkunjung," lanjut Andreas.

Terkejut, kecewa, marah, khawatir dan penasaran. Semua perasaan itu hinggap di hatiku ketika mendengar kalimat terakhir yang dikatakan oleh pria yang berdiri di hadapanku saat ini. Karena Mas Tio tidak pernah seperti ini sebelumnya. Lagi pula mengapa dia tidak memberitahuku sendiri tentang hal ini, malah melalui orang suruhannya.

"Belum bisa datang? Apa maksudmu, Andreas? Memangnya Mas Tio pergi ke mana? Atau terjadi sesuatu padanya?" tanyaku panik sekaligus khawatir.

"Maaf, Bu Andara. Kalau masalah itu silahkan ibu tanya sendiri kepada bapak. Saya hanya menyampaikan apa yang bapak katakan," jelas Andreas dingin.

Mendengar penjelasan Andreas, aku merasa seperti ada yang disembunyikan pria itu. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku bukan istri sah Mas Tio, melainkan hanya wanita yang dicintai oleh Mas Tio.

"Maaf, Bu Andara. Apa saya boleh pergi?" tanya Andreas membubarkan lamunanku.

Aku mengangguk menjawab Andreas. Tapi sebelum dia pergi, aku meminta nomor ponsel pria itu, dan dia pun memberikannya.

"Mbak Ayu, ini nomor ponsel Andreas. Tolong mbak simpan," perintahku sambil memberikan secarik kertas yang tadi Andreas berikan yang berisi nomor ponselnya dan tas yang dia bawa untukku dari Mas Tio.

Mbak Ayu yang sepertinya sejak tadi berdiri menungguku menerima kertas dan tas yang aku berikan. Setelah itu aku lalu kembali ke kamarku untuk membersihkan diri dan mendinginkan pikiranku yang kacau.

Cukup lama aku mengguyur tubuhku dengan air pancuran. Sensasi hangat dari air pancuran yang membasahi tubuhku, aku harap bisa mendinginkan pikiran dan hatiku yang kecewa dan marah dengan Mas Tio, tapi nyatanya tidak.

Rasa khawatir dan takut akan mimpi burukku yang aku alami tadi, membuatku berpikir. Bagaimana bila mimpiku benar-benar terjadi dan aku kehilangan Mas Tio? Semua rasa itu benar-benar mengacaukan pikiranku dan membuatku frustasi.

Tok! Tok! Tok!

"Bu Andara, boleh saya masuk?"

"Masuk, Mbak Ayu." Jawabku ketika baru saja akan merebahkan tubuhkku di tempat tidur setelah mandi, "Ada apa, Mbak?" lanjutku begitu melihat Mbak Ayu muncul dari balik pintu.

Mbak Ayu memberitahuku bahwa dia sudah menyiapkan makan malam yang tadi aku berikan kepadanya, dan itu membuatku terkejut. Karena aku tidak merasa memberi wanita itu makanan yang dia maksud sejak kami datang.

Namun, setelah mendengar penjelasan dari wanita itu. Ternyata makanan itu berasal dari tas yang aku berikan kepadanya, atau lebih tepatnya tas  yang diberikan Andreas kepadaku dari Mas Tio, dan isi dari tas itu adalah makanan kesukaanku.

Selain itu, Mbak Ayu juga memberiku sebuah amplop kecil yang berasal dari dalam tas pemberian Mas Tio.

"Amplop apa ini, Mbak?"

"Saya juga tidak tahu, Bu. Saya hanya menemukannya di dalam tas yang ibu berikan kepada saya."

Tanpa  ingin memperpanjang masalah ini, aku lalu membuka amplop kecil itu. Ternyata di dalam amplop itu terdapat kertas kecil yang berisi permintaan maaf Mas Tio karena tidak bisa menemaniku beberapa hari ke depan. Selain itu, dia juga menuliskan bahwa dia akan menjelaskan alasan dia tidak bisa menemuiku dan menghubungiku untuk sementara waktu ini setelah dia kembali.

Setelah melihat tulisan dalam kertas itu, aku langsung membuangnya ke dalam tempat sampah yang tak jauh dari meja riasku.

Aku sengaja membuangnya karena aku muak dengan apa yang tertulis dalam kertas itu. Baru saja kecewa dan marahku mulai hilang, kini muncul lagi. Bahkan, aku juga ingin mengutuk Mas Tio. Tapi semua itu harus aku tahan karena Mbak Ayu masih ada di dalam di kamarku.

"Nanti saya akan turun, Mbak." Ujarku.

Setelah mendengar jawabanku, Mbak Ayu lalu pergi dari kamarku. Kini tinggal aku sendiri di kamar meratapi nasibku sambil mengusap perutku yang kini telah kosong. Hingga tanpa sadar rasa kantuk mulai menghampiriku.

***

Aku tidak tahu sejak kapan aku tertidur. Ketika aku bangun, waktu sudah menunjukkan tengah malam, dan perutku mulai berteriak.

Sehingga aku memutuskan untuk turun dan memberi makan cacing di perutku. Tapi sebelum turun, aku mengambil ponselku untuk melihat apakah Mas Tio menghubungiku. Tapi aku malah dikejutkan oleh sebuah pesan ketika aku baru saja membuka ponselku.

Sebuah pesan masuk dari orang yang tidak aku harapkan, dan orang itu ternyata benar-benar menghubungiku.

"Balas atau tidak ya," gumamku bimbang sambil menatap pesan dari Anton, atau lebih tepatnya Dokter Anton.

Anton pengirimiku pesan menanyakan keadaanku, dia juga memberitahuku bahwa teman-teman sekolah kami akan bertemu seminggu lagi dan dia mengundangku untuk datang.

Aku yang masih bimbang membalas pesan Anton, tanpa sadar menekan nomor Anton.

Menyadari hal itu, aku langsung memutuskan panggilanku dan meletakkan ponselku di atas meja di samping tempat tidurku.

"Apa yang sudah aku lakukan," sesalku.

Aku yang binggung harus memberi alasan apa pada Anton bila dia menghubungiku balik, akhirnya memutuskan untuk turun. Karena pikiranku benar-benar buntu, dan entah mengapa aku jadi ketakutan bila dia menghubungiku.

"Bu Andara," tanya Mbak Ayu terlihat terkejut melihatku turun.

Mbak Ayu yang tadinya seperti sedang menonton televisi, kini langsung bangkit begitu melihatku. Wanita itu menanyakan mengapa aku turun di tengah malam seperti ini.

Karena tidak mungkin memberitahu Mbak Ayu yang terjadi. Jadi aku mengatakan kepadanya bahwa aku turun ke bawah karena lapar.

Mendengar hal itu, Mbak Ayu segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan untukku, dan aku pun mengikutinya karena tidak ingin sendiri menunggu makananku siap.

"Mbak Ayu, bisakah mbak menemani saya? Saya tidak ingin makan sendiri," ajakku ketika wanita itu akan beranjak pergi setelah menyiapkan makanan untukku.

"Maaf, Bu Andara. Saya—.“

"Tolong temani saya, Mbak." Selaku.

Mbak Ayu yang tadinya terlihat enggan menerima ajakanku, akhirnya mau menemaniku. Walaupun terlihat sekali ada rasa canggung ketika Mbak Ayu duduk menemaniku. Bahkan ketika aku menawarinya untuk makan, dia menolak dengan alasan kenyang. Tapi dia kemudian meminta izin kepadaku untuk memakan buah saja selama menemaniku, dan aku pun mengizinkannya.

"Mbak Ayu, boleh saya tanya sesuatu?" tanyaku di sela-sela makan.

"Boleh, Bu."

"Apa mbak sudah menikah dan memiliki anak?"

Uhuk! Uhuk!

Melihat reaksi Mbak Ayu, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari wanita itu. Tapi aku tidak ingin langsung menilai, dan semoga saja apa yang aku pikirkan salah.

"Ini minum dulu, Mbak." Ucapku sambil memberikan segelas air kepada Mbak Ayu.

Wanita yang ada di depanku saat ini kemudian meneguk air yang aku berikan, tapi terlihat sekali di wajahnya seperti orang binggung.

"Maaf Mbak Ayu kalau pertanyaan saya menyinggung, Mbak. Tapi kalau mbak tidak ingin menjawabnya juga tidak apa-apa," ujarku menyairkan suasana.

"Tidak apa-apa, Bu Andara. Saya hanya, hanya ...," jawab Mbak Ayu dengan suara parau.

Wanita itu bukannya menyelesaikan apa yang dia ingin katakan, tapi malah langsung pergi meninggalkan meja makan dan itu membuatku terkejut.

Karena tidak ingin merasa bersalah dan terjadi apa-apa pada Mbak Ayu. Aku akhirnya tidak meneruskan makanku dan mencarinya. Ternyata wanita itu sedang duduk di taman belakang sambil menangis.

"Mbak Ayu," panggilku.

Wanita yang masih terisak itu kemudian menghapus air matanya dan berbalik menatapku.

"I –iya, Bu Andara. Apa ibu perlu sesuatu?" jawab Mbak Ayu dengan suara yang masih parau.

"Tidak ada, Mbak Ayu. Saya tidak perlu apa-apa," jawabku sambil duduk di samping Mbak Ayu, "Saya mencari mbak karena saya ingin minta maaf dan takut terjadi sesuatu kepada mbak," lanjutku.

Mbak Ayu yang terlihat lesu kemudian menatapku dan air matanya kini jatuh lagi, tapi segera dihapusnya lagi.

"Apa mbak mau berbagi cerita dengan saya? Mungkin dengan begitu bisa mengurangi beban di hati, Mbak." Ujarku berusaha menenangkan Mbak Ayu, "Tapi kalau mbak tidak ingin menceritakannya sekarang tidak apa-apa. Saya minta maaf karena sudah membuat Mbak Ayu menangis," lanjutku.

"Bukan begitu, Bu Andara. Sa –saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status